Penolakan seseorang menjadi anggota Komnas HAM karena orientasi seksualnya: Diskriminasi secara terang-terangan kah?
Pada tanggal 12 September 2012 puluhan mahasiswa Aceh turun ke jalan dalam rangka aksi penolakan masuknya Dede Oetomo sebagai tokok gay ke dalam keanggotaan KOMNAS HAM. Alasan dari penolakan ini adalah pelecehan terhadap kewibawaan Negara. Lagipula, tambah Faisal Qasim, Ketua Kesatuan Aksi Aceh, kaum transgender itu tidak diakui dalam Undang-undang Indonesia.
Ada beberapa hal yang patut di bahas dari pernyataan-pernyataan maupun aksi ini. Pertama, saya jelas memberikan rasa hormat dan kesalutan saya terhadap pergerakan kesetaraan hak kaum gay di Indonesia yang ternyata sudah sekian progresifnya sehingga mampu melangkah ke posisi yang lebih strategis dan menentukan, yaitu akan terwakilinya kaum gay Indonesia dengan kesempatan untuk ikut sertanya Mas Dede Oetomo berkontribusi dalam KOMNAS HAM, institusi negara yang memperjuangan hak-hak azasi di Indonesia.
Kedua, lagi-lagi kaum gay sebagai kaum minoritas (tidak dalam segi kuantitas, namun eksistensi secara politik) tersangkut kesulitan dengan reaksi penolakan dari kelompok-kelompok yang membawa agama sebagai isu yang “legitimate” atau dapat digunakan untuk menolak keberagaman dan menoleransi diskriminasi terhadap kaum minoritas.
Kemudian, penyangkut-pautan isu penolakan terhadap Dede Oetomo, juga dikaitkan dengan kaum transjender. Hal ini merupakan pencerminan ketidaktahuan para penggagas demo maupun—tidak diragukan lagi—pendemonya tentang beda orientasi seksual dengan jenis kelamin atau “sex.”
Singkat kata, yang sangat menarik dari kasus aksi ini adalah pengetahuan mahasiswa-mahasiswa tersebut yang sangat terbatas, baik mengenai hak asasi manusia, toleransi, jenis kelamin dan orientasi seksual. Kurangnya pengetahuan tersebut ditambah dengan anggapan publik terhadap lembaga seperti KOMNAS HAM sebagai lembaga yang berwibawa dalam artian harus sesuai dan tidak menyimpang dari norma-norma agama dan norma lainnya yang dominan adalah isu yang menjadi motivasi di dalam aksi seperti ini.
Aksi ini sampai terjadi, jelas dikarenakan kepanikan. Kaum gay maupun transjender, sudah ada dan cukup mewarnai kehidupan di desa dan kota sejak masa lalu. Namun, ketika salah satu atau sebagian kecil dari kaum ini menjadi anggota dalam bidang-bidang yang strategis dan menentukan seperti bidang hukum dan politik, hal ini menimbulkan kepanikan bagi kaum yang biasanya dimanja dengan hak mereka sebagai mayoritas.
Kembali ke tema diatas, diskriminasi terang-terangan terhadap “yang lain” ini terlihat gencar belakangan ini. Bukan hanya pada kaum gay dan transjender, namun ini juga berlaku pada kelompok etnis dan agama minoritas. Jika alasannya adalah kewibawaan KOMNAS HAM yang akan tercemar, ini sangat mengkhawatirkan. Dan jika Komisi III DPR RI sampai setuju dengan tuntutan ini, maka bukan hanya kewibawaan DPR RI sebagai wakil rakyat yang tercemar di mata Internasional, namun badan ini akan dapat dinyatakan gagal dalam menjalankan tugasnya mewakili rakyat dan melindungi masyarakat Indonesia yang tidak hanya satu dan homogen.
*Antropolog lulusan Program Master Universiteit van Amsterdam.