Search
Close this search box.

Perbincangan mengenai homoseksualitas marak lagi setelah Dede Oetomo, Ph.D mencalonkan diri sebagai anggota Komnas HAM. Dalam pengumuman fit and proper test calon anggota Komnas HAM yang dirilis oleh Komisi III DPR, terdapat nama Dede Oetomo, Ph.D pada nomor urut 5. Dede Oetomo mewakili organisasi GAYa Nusantara yang didirikan olehnya dan telah memiliki cabang di berbagai daerah. Berita selengkapnya di sini

Banyak yang beranggapan bahwa orang dengan orientasi seksual pada sesama ini adalah orang yang ’sakit’, abnormal dan menderita gangguan jiwa. Namun dalam persepsi psikologi tidaklah seperti itu. Secara resmi homoseksual sudah tidak dianggap penyimpangan mental. Alasan utamanya adalah, menjadi seorang homoseksual tidak akan mengganggu kehidupan pribadi seorang individu. Dalam Diagnostic  and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) yang telah memasuki edisi ke IV sudah tidak masukdalam kategori gangguan kejiwaan manapun. Artinya, sebelum keluar DSM IV ini, sejarah mencatat bahwa homoseksualitas pernah masuk dalam klasifikasi gangguan kejiwaan.

Pada masa psikologi klasik yang diwakili oleh Freud, Jung, dan Adler menganggap homoseksualitas adalah sebuah bentuk fiksasi (berhentinya perkembangan mental) dari satu dimensi dari tahap perkembangan mental seseorang, sehingga orang normal adalah orang yang berhasil berkembang menjadi seorang heteroseksual.

DSM-I (DSM versi pertama) yang diterbitkan pada tahun 1952– menyatakan bahwa homoseksualitas adalah gangguan kepribadian sosiopathik. Artinya, orang yang memiliki orientasi seksual homoseksual memiliki kepribadian yang menyimpang dari norma sosial,dan penyimpangan ini harus diperbaiki.
DSM-II yang diterbitkan tahun 1968 – menghapus homoseksual dari daftar penyakit sosiopath dan memindahkannya ke daftar Sexual Deviation (penyimpangan seks).

DSM-III yang diterbitkan pada tahun 1973 – menyatakan bahwa homoseksualitas dinyatakan sebagai sebuah gangguan HANYA jika orientasi seksual homoseksual orang tersebut mengganggu dirinya (dia tak mau menjadi homoseksual). DSM-III kemudian mengalami revisi dan pada edisi revisi ini, homoseksualitas sudah tidak dianggap sebagai sebuah gangguan sama sekali. Alasannya adalah, karena para komite DSM menyatakan bahwa adalah normal bagi seorang homoseksual untuk merasa terganggu dengan orientasi seksualnya pada saat ia pertama kali menyadari bahwa ia seorang homoseksual. Oleh karena itu perasaan terganggu yang dirasakan seorang homoseksual bukanlah sebuah gangguan.

Robert L. Spitzer, ketua komite pembuatan DSM III menyatakan bahwa homoseksualitas tidak lebih dari sebuah variasi orientasi seksual. Tidak lebih.

DSM yang dibuat oleh Asosiasi Psikiatri Amerika  ini dipakai sebagai acuan oleh para Psikiater dan Psikolog di seluruh dunia.

Selain DSM, Indonesia juga mengacu pada PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia, Edisi III, 1993) yang diterbitkan oleh Direktorat Kesehatan Jiwa, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Departeman Kesehatan RI. Yang mana PPDGJ-III sendiri mengacu pada DSM IV.

Lalu, muncul anggapan bahwa homoseksualitas dikeluarkan dari klasifikasi gangguan jiwa tersebut karena yang membuatnya adalah negara sekuler liberal Amerika Serikat.

Dan masih ada sekelompok orang tetap beranggapan bahwa kaum homoseksualitas harus ‘disembuhkan’ padahal banyak kaum homoseksual yang merasa nyaman dengan keadaan dirinya dan mampu menjalani kehidupannya dengan normal sehingga tidak butuh penanganan dari psikiater atau psikolog. Yang merasa terganggu mungkin hanyalah orang orang yang tidak mampu menerima kaum ini ditengah mereka.

Bagaimana kaum homoseksual dalam pandangan agama? Sudah tentu kita akan ketahui bahwa agama apapun tidak membenarkan perilaku homoseksual kecuali pada sekte sekte tertentu. Pertanyaan berikutnya adalah,apakah kaum homoseksual ini bukan penganut agama atau keyakinan tertentu? jika mereka menganut suatu agama yang jelas jelas melarang perilaku tersebut, apakah mereka masih bisa merasa nyaman dengan dirinya juga menjalani kehidupan yang normal? Kalau sudah begitu, apakah hal tersebut tidak bertentangan dengan alasan dibuangnya homoseksualitas dalam DSM IV karena syarat bagi sebuah perilaku untuk diklasifikasikan sebagai gangguan jiwa dalam DSM adalah jika perilaku tersebut mengganggu kehidupan orang yang menderitanya.

Ada sebuah teori psikologi yang dapat dipakai untuk menjelaskan hal ini. Teori itu adalah teori Disonansi Kognitif (Cognitive Dissonance Theory). Teori Disonansi Kognitif yang membahas perasaan ketidaknyamanan seseorang yang diakibatkan oleh sikap, pemikiran, dan perilaku yang tidak konsisten.

Kaum Homoseksual, berdasarkan pandangan mereka pada perilakunya dapat dibagi menjadi dua, yaitu yang menerima perilaku homoseksual itu sendiri dan yang tidak menerima tapi tidak punya daya untuk mengatasi masalahnya. Untuk kaum homoseksual yang tidak menerima perilakunya sendiri karena adanya perbedaan dengan keyakinan agamanya disebut mengalami disonansi kognitif.

Kaum homoseksual yang mengalami disonansi kognitif,sebenarnya adalah sebuah penyimpangan tingkah laku! Sehingga bantuan psikologis bisa diberikan pada kaum homoseksual yang mengalami disonansi kognitif untuk membantu menyelaraskan antara keyakinan yang dimiliki, dan nilai nilai yang dianut dengan perilakunya yang abnormal.
Salam

Artikel ini saya masukkan dalam kanal Sosial Budaya, karena sesuai DSM IV dan PPDGJ-III, homoseksualitas bukanlah masalah kejiwaan

Dari berbagai sumber dan PPDGJ-III

Penulis : Anjani (www.kompasiana.com/metamorfosa)

Sumber berita : kompasiana.com