Search
Close this search box.

Homoerotika Dalam Konsep Pederastia

Jakarta.ourvoice.or.id – Mengikuti kursus filsafat setiap Senin malam di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta Pusat, tema Filsafat Estetika kali ini membahas tentang “kritik Platon terhadap seni” disampaikan oleh Romo A Setyo Wibowo (10/9/2012).  Didalam makalah tertulis istilah “Pederastia”, yaitu satu konsep hubungan laki-laki dewasa kepada laki-laki yang lebih muda.

Menurut Platon pola relasi keduanya bersifat pedagogi, misalnya memberikan “contoh” dalam konteks pendidikan dari yang “senior” kepada yang “junior”.  Platon menolak relasi keduanya dilihat dalam konteks hubungan seksual sebagai relasi homoseksual “an sich” yang meyangkut kebutuhan seksual (baca: ragawi) belaka.  Menurut Platon pola relasi seksual yang hanya mementingkan ragawi belaka, menunjukkan kurangnya “budaya dan pendidikan musik” atau sama artinya kurang pendidikan filsafat.
Terlepas dari perdebatan pemahaman filosof Platon tentang konsep seksualitas dan seni, seperti yang diutarakan diatas. Penulis dalam hal ini ingin mengungkapkan bahwa konsep relasi seksual sejenis sudah terjadi ribuan tahun yang lalu. Pola relasinya-pun beragam dan sangat bervariasi dari satu kelompok dengan kelompok lainnya. Tidak ada yang tabu dan kotor.
Pada jaman modern sekarang ini, pola relasi hubungan sejenis justru malah disempitkan pada hubungan homoseksual dalam konteks hubungan tubuh. Kedekatan atau keintiman antara manusia sejenis, maka langsung dikonotasikan sebagai hubungan homoseksual. Padahal pola relasi hubungan sejenis yang sangat intim (baik sesama laki-laki maupun sesama perempuan) dapat terjadi dalam spektrum yang lebih luas. Tidak hanya persoalan hubungan sex (baca: tubuh).

Kalau melihat kebudayaan Indonesia sendiri, budaya Warok-Gemblak di Jawa Timur, pola relasinya tidak dapat dikatakan pola relasi hubungan sejenis ala “gay” ataupun hubungan paedofil (hubungan sex antara orang dewasa dengan anak-anak) yang dipahami oleh masyarakat sekarang.  Menurut penulis, mungkin sekali pola relasi antara Warok-Gemblak seperti yang dikatakan oleh Platon bersifat Pedagogi (baca: pendidikan) dan lebih jauh lagi bersifat mistik/spiritual.  Walau prakteknya tentunya mengalami banyak pergeseran yang bersifat eksploitatif maupun pelecehan seksual pada anak.

Ada lagi hubungan raja-raja di Nusantara (termasuk di Aceh) mempunyai relasi “intim” dengan anak muda laki-laki.  Jika dilihat dalam konteks sekarang bisa dikategorikan dalam konteks  relasi homoseksual.  Kemudian syair-syair Abu Nawas yang memuja sesama laki-laki.  Hal-hal seperti ini menunjukkan ada relasi sejenis yang sangat intim. Hal ini juga pernah ditulis oleh Saskia Wieringa dalam buku Hasrat Perempuan tentang relasi sejenis (perempuan dengan perempuan) di Indonesia, yang tidak an sich hubungan persoalan seksual (hubungan badan).

Ini menunjukkan bahwa hubungan dua manusia ataupun lebih (baik pasangan yang berbeda jenis kelamin ataupun sejenis) tidak bisa dipahami hanya persoalan sex phisik belaka. Padahal pola-pola keintiman sejenis (baca: homo-erotika) sangat mungkin sekali terjadi di pesantren,kebudayaan masyarakat, kerajaan, kamp-kamp tentara, penjara, kepastoran dan tempat-tempat lainnya.  Menurut penulis, sangat mungkin terjadi pada masa Rasullah SAW terutama saat perang terjadi. Sayangnya tidak banyak buku-buku sejarang khususnya berbahasa Indonesia yang membahas soal fakta ini.  Semua itu dianggap sebagai suatu “kewajaran”  dari keberagaman seksualitas atau relasi manusia.

Hubungan intim sejenis (senior-junior) dibangun sebegitu sistematis dan tidak dapat dipahami sebagai praktek homoseksual yang dalam konteks kolonial.  Sesama manusia yang sejenis, memberikan perhatian, saling meyayangi, berbagi cerita, saling setia dalam berhubungan dan keduanya saling nyaman serta membutuhkan.  Misalnya dalam praktek-praktek perang, ada yang dinamakan dengan konsep brotherwood of war, hubungan yang sangat intim antara senior dan junior ataupun sesama tentara di medan berperang.

Ironisnya pola relasi intim baik  sejenis ataupun berbeda jenis kemudian disempitkan pemahamannya hanya pada persoalan hubungan sex (tubuh). Padahal manusia dapat mendapatkan kenyamanan dan ketenteraman dari manusia lainnya tidak selalu harus dalam relasi berbeda jenis kelamin maupun dalam konteks relasi seksual.

Jika kita berangkat dari fakta yang terjadi di Indonesia sekarang, sepertinya pola relasi seksual yang sempit khususnya hubungan sejenis menurut penulis ada pengaruh dari kolonial (baca penjajah).  Konsep “penjajah” saat masa kolonial menilai bahwa relasi sejenis sebagai sesuatu yang “kotor”. Situasi itu jelas memberikan dampak pada negeri jajahannya, termasuk Indonesia.  Kita tahu saat masa penjajahan Belanda ke Indonesia, negeri kincir angin saat itu memasukan relasi sejenis (baca: homoseksual) sebagai perbuatan melanggar hukum.  Sedangkan saat itu kebudayaan Indonesia merayakan keberagaman  itu. Tapi situasinya sekarang menjadi terbalik.

Kebudayaan Indonesia yang kaya akan relasi “homo-erotika” justru “dirusak” oleh konsep homo-erotika yang dibawa oleh konsep kolonial ala Victorian.  Sehingga dampaknya bisa kita lihat sekarang, semua pola relasi manusia yang sejenis ataupun berbeda jenis  diseragaman atas nama moral. Semua dilakukan oleh egara.  Yang benar heteroseksual, prokreasi dan disahkan dalam institusi agama ataupun negara. Diluar itu Haram dan kotor!

Tulisan refleksi ini mungkin menarik untuk dikaji lebih jauh, bagaimana mengupas sejarah seksualitas manusia secara lebih detail yang tidak berangkat dari cara berpikir  “jorok” sehingga menemukan pederastiapederastia yang kaya dalam kebudayaan manusia, khususnya di Indonesia. Salam Keberagaman!  (Hartoyo)