Oleh: Djohan Kraisler*
Dunia seperti berhenti berputar dan sang penguasa alam seakan tidak memberi restu akan pertemuan ini dengan menambahkan efek dramatis seperti film kartun jepang; serta merta daun-daun kering berguguran disekelilingku. Duh Gusti ono opo iki.
Tanganku mencengkram erat botol pere ocean dan memohon segenap kekuatan untuk menyokong kakiku agar tetap berdiri tegak. Setelah sekian lama kami berpisah dan kini dipertemukan kembali ditengah Raffles Square menuju esplanade pada sabtu sore dengan kondisi berkemeja rapi namun tubuh belum tersentuh air dan mulut beraroma naga, singkatnya hari itu aku tampil serupa gembel walau wangi seperti diguyur selusin parfum.
Sungguh dia sangat cantik, dengan gaun terusan kotak-kotak besar berwarna biru terkesan santai. Mereka datang menghampiriku pelan seperti yin yang, dia tersenyum dan kau cemas dengan sebaris lipatan pada dahimu. Itukah istrimu sang wanita yang kau pilih untuk menggantikan aku?
“Hi you must be Ellen, I’m Djohan” sapaku untuk memulai pembicaraan seraya menyodorkan sebentuk jabat tangan yang terpaksa.
“Honey, this is Mr. Kraisler, we used to work together” ucapnya memperkenalkan aku kepada istrinya. Ketegangan begitu terasa diudara seakan bisa diukur dengan skala richter. Tapi aku tertawa, menertawakan kegelisahannya yang tak beralasan, menertawakan sikapnya yang dingin dan cara dia menggunakan nama keluargaku agar terkesan formal.
“Faites vous me manquez?” ucapnya hampir berbisik dengan nada berhati-hati.
“Non!” jawabku singkat. “Well its been a pleasure meeting you again Mr. Poole, Ellen, but I have to go” pamitku kepada mereka berdua sambil menyumbangkan sebuah senyum imitasi dan menyeimbangkan formalitas absurd. Tak perlu kau gunakan bahasa alien untuk menutupi sesuatu yang telah berlalu karena aku bukan rahasia, yang kita lakukan bukanlah perselingkuhan, karena aku hadir sebelum cincin di jari manismu tapi kau memilih menutupinya seakan barang kotor yang tak akan bersih walau dicuci dengan kekuatan 10 tangan. Aku maklumi, Istri mana yang tak berang bila tahu penis suaminya pernah berlabuh dipantat orang.
Kami berpisah, atau lebih tepatnya memisahkan diri. Hilang sudah semangat 45 untuk menonton Giselle yang sudah datang jauh dari belahan bumi lain walau hari ini adalah hari terakhir pertunjukkannya. Aku berbelok ke Queen Elizabeth walk yang didominasi oleh ibu-ibu dengan kereta bayinya, menikmati tarian tupai yang berlarian bebas dari pohon ke pohon dan beberapa ekor gagak mengeluarkan suara menyeramkan diatas pohon saga yang bunyinya mengingatkan aku akan malam kematian.
Di air mancur Tan Kim Seng aku berteduh, kembali mengingat semua yang berawal dari sebuah perayaan tahun baru diatas sebuah gedung, kami berciuman diakhir countdown berlatar puluhan orang meniup terompet dan sobekan kertas warna-warni menghiasi udara.
“Andrew, did you just kiss me?” Tanyaku dengan nada girang seperti gadis belia,
“Yeah I know, its must’ve been the alcohol kicking in” ucapnya diikuti untaian alasan.
Malam itu kami tertawa, kami gembira, lalu kami bercinta dan hampir setahun sesudahnya berakhir dengan aku menangis. Andrew mengakhiri sepihak, yang katanya hubungan ini aneh dan tidak rasional serta segala sumpah serapah dan bilur biru di pundak kananku. Kalimat I’m not a f**king faggot masih terasa di kuping, terasa panas dan kebas. Ruang tamuku berantakan dan bantal-bantal di sofa sudah pindah entah kemana,
“You make me crazy, got my mind all messed up” ucapnya seraya membanting pintu.
Seperti inikah rasanya bila mental seseorang diperkosa? Perpisahan memang menyakitkan tapi dengan memporakporandai rumah seseorang adalah berlebihan walau dengan kalimat I met someone else menurutku sudah cukup.
Sore hari pada saat waktu bergeser dari terang menuju gelap, sebuah pesan singkat menghampiriku menginterupsi seorang ibu berambut pirang yang sedang menjelaskan bahwa Januari masih dingin di negara asalnya, si ibu terdiam memberiku kesempatan untuk membaca isi pesan tersebut . Nama Andrew Poole muncul dilayar, rupanya dia belum menghapus nomerku, dan entah karena alasan apa belum juga kuhapus nomernya.
“I’m not happy with my marriage” satu kalimat singkat.
Tak kubalas, tak kugubris, aku lebih memilih membantu si ibu mendorong kereta bayinya ke arah seafront, mobilnya diparkir disana begitu katanya dan segudang kalimat tak penting lain yang aku konsumsi dengan baik hanya untuk mengalihkan pikiranku. Lalu pesan singkat yang kedua pun datang.
Sepanjang perjalanan pulang tak henti-hentinya aku mengintip di layar, setiap beberapa menit, seakan memiliki ritme aku membacanya. Ada perasaan tenang, tak lagi amarah. Tak ada cinta namun juga tak ada benci, hatiku berhenti disebuah kehampaan.
D a m a i. Mungkin Tuhan memang sengaja mempertemukan, mungkin memang sengaja memberi pelajaran, agar aku belajar memaafkan.
Pesan singkat yang kedua “I miss you!” begitu katanya…
*Relawan Ourvoice