Ourvoice. Jakarta – Indonesia gempar, tepatnya di bumi Sampang, Madura, Hari Minggu 26 Agustus 2012, peristiwa kekerasan brutal terhadap Muslim Syiah kembali terjadi. Kali ini memakan satu korban yang tewas, tujuh orang mengalami luka kritis dan puluhan orang luka-luka. Termasuk diantaranya puluhan rumah warga Syiah yang tak luput dari aksi pembakaran. Dampak dari itu, akses untuk melakukan evakuasi dan pengiriman bantuan terhambat karena posisinya terkepung oleh sekelompok penyerang.
Aksi Kamisan
Menggenapi tragedi-tragedi kemanusiaan yang sudah terjadi: tragedi Peristiwa 65, tragedi Talangsari, tragedi Tanjungpriok, tragedi 27 Juli 1996, tragedi Penculikan, tragedi Trisakti, tragedi Mei 1998, tragedi Semanggi I, tragedi Semanggi II, dan pamungkasnya pembunuhan Munir, seorang yang selama ini bergiat mengadvokasi kasus-kasus tersebut. Di luar itu, tentu saja masih begitu banyak pelanggaran HAM yang tak tersentuh. Tragedi sampang ini menambah daftar panjang peristiwa kekerasan yang terjadi akibat tidak adanya keberpihakan pada penegakan HAM, dan keadilan bagi korban. Dari Sekian banyak tragedi Kemanusiaan yang terjadi, Semuanya menggelap karena digelapkan, Negara terus menggelapkan pelakunya, menggelapkan penanggungjawabnya, bahkan Negara menjadi pelaku impunitas terhadap kasus tersebut, dengan terus mengabaikan penuntasannya. Kemauan dan keberanian SBY mestinya mampu menjawab semua soal di atas, sebab peran kunci saat ini ada pada genggamannya. Delapan tahun para korban dan keluarga korban, dengan segala upaya dan daya telah diartikulasikan segala asa, rasa, dan tuntutan pada setiap mereka yang berkuasa. Namun kebebalan Negara tak jua tersembuhkan. Terinspirasi dari aksi “Plaza De Mayo” tentang aksi tiap hari selasa, yang di lakukan ibu-ibu yang anaknya menjadi korban penculikan rezim. Aksi kamisan adalah bentuk jawaban atas semua itu.
Dan tanggal 30 Agustus 2012, hari Kamis, sekumpulan aktivis dan orang-orang yang peduli dengan pelanggaran HAM dan bentuk penindasan yang lain berkumpul untuk menggelar aksi kamisan. Peristiwa di Sampang menjadi sorotan utama. Tragedi yang memakan korban jiwa ini adalah spiral kekerasan sistematis yang dilakukan oleh pihak-pihak anti-Syiah yang kini dikategorikan mencapai level mengancam dan terus meningkat dan mengeras, kejadian ini sebelumnya adalah pengulangan dari beberapa bulan yang lalu, dimana massa pelaku (yang sama dengan yang dilakukan tanggal 26 Agustus 2012) pernah membakar dan menteror pada 29 Desember 2011.
Ada salah seorang sumber mengungkapkan, kekerasan yang terjadi di Sampang akibat kepolisian merespon dengan lambat aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh oknum umat Islam Sunni mayoritas yang berseberangan dengan Syiah. Aksi kekerasan tersebut karena adanya fatwa MUI Sampang, bahwa Syiah sesat dan menyesatkan.
Ia mengatakan, fatwa MUI Sampang tersebut justru semakin melegalkan tindak kekerasan, baik secara lisan maupun perbuatan yang ditujukan pada kalangan pemeluk Islam Syiah di Sampang. Hal tersebut diperparah dengan kehadiran polisi yang tidak tegas, sehingga aksi kekerasan bukan malah mereda, tetapi malah semakin berbuntut panjang.
Waria peduli
Di tengah-tengah para aktivis yang sedang menyuarakan penolakan atas kekerasan terhadap apa yang telah terjadi di Sampang, terdapat pemandangan yang tidak biasa. Seorang Transjender (Waria) asal Bogor, Jen Kattleya tampak menggelar “dagangan”nya. Tumpukan kaos warna hitam yang bertuliskan INDONESIA TANPA KEKERASAN dengan simbol “hati motif merah putih.”
“Tujuan saya disini adalah untuk berpartisipasi atas korban Syiah yang di Sampang, modalnya sendiri dari teman-teman LSM, adapun keuntungannya nanti akan disumbangkan untuk para korban yang di Sampang,” tutur waria yang sering disapa dengan Ibu Jen ini.
Semoga bentuk solidaritas yang ditunjukkan oleh Jen Kattleya dan kawan-kawan yang lain bisa membuka mata hati orang-orang yang sampai saat ini tertutup oleh kebencian dan sikap anti-keberagaman.
source: kontras.org dan dari berbagai sumber.