Jakarta. OurVoice – Lipstik, sebuah film independen produksi tahun 2012 yang dibuat oleh rekan rekan mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Film ini menceritakan Kekah, seorang anak laki-laki yang diadopsi oleh Afy, seorang waria pekerja seks yang berusaha merawat Kekah seperti anak kandungnya sendiri. Konflik semakin meruncing ketika Kekah beranjak remaja dan bergaul dengan kelompok fundamentalis agama. Percekcokkan pun terjadi antara ibu dan anak ini. Hingga pada akhirnya penonton dapat melihat bahwa kebaikan tidak melihat siapa. Ourvoice Indonesia, pada tanggal 4 Agustus 2012, mengadakan nonton bareng film “Lipstik” ini dan juga film dokumenter berjudul “Cinta Itu Budi”, film dokumenter pendek berdurasi tak lebih dari 15 menit yang juga bercerita tentang waria. Dalam nonton bareng kali ini, Ourvoice Indonesia mengundang tiga orang pembicara. Pembicara pertama adalah Jen Katleya, seorang waria asal kota Bogor, Jen berbagi kisah pengalaman hidupnya sebagai waria kota Bogor. Ada pun pembicara kedua adalah Dewi Nova, seorang penulis dan aktivis kemanusiaan yang kali ini mencoba untuk memaparkan materi tentang seksualitas. Dan pembicara ketiga sekaligus terakhir adalah Lia Toriana, aktivis perempuan yang vokal menyuarakan anti korupsi, tertantang untuk lebih mengupas tuntas tentang politisasi tubuh.
Setelah pemutaran film, Lutfi (23) menanyakan apakah waria itu menular, karena di awal film digambarkan dengan jelas, Kekah (berjenis kelamin pria) sedang asyik bermain dengan lipstik dan mencoba memakai pakaian perempuan. ”Bukan ketularan, tetapi memang ekspresi dirinya tersalurkan, Saya sudah 15 tahun hidup bersama dengan suami saya tetapi suami saya tetap laki laki, berpenampilan laki laki, itu membuktikan jika waria itu tidak menular.” jawab Jen Katleya dengan senyum khasnya.
Dalam pemaparannya, Jen Katleya menegaskan bahwa manusia dinilai secara individu, waria yang mengadopsi anak dan merawatnya dengan kasih sayang lebih mulia daripada seorang kiyai yang melakukan provokasi massa untuk merusak dan menyakiti orang lain. Apa yang dilakukan kiyai itu tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin, kasih bagi seluruh alam. ”Apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi berikut isinya adalah ciptaan Allah. Waria pun ciptaan Allah. Orang sering bilang bahwa Allah hanya menciptakan laki-laki dan perempuan, siang dan malam, hitam dan putih. Tetapi mereka lupa bahwa di antara siang dan malam ada pagi dan sore, di antara hitam dan putih, ada abu-abu dan di antara laki-laki dan perempuan ada Saya, waria.” lanjut Jen yang disambut kelakar tawa dari para peserta diskusi.
Jen pun mejelaskan bahwa sering kali waria dicap menyalahi kodrat, hanya karena secara fisik memiliki penis namun berpakaian perempuan, lalu bagaimana dengan seseorang yang memakai lipstik? Allah telah memberi dia kodrat warna bibirnya pucat namun dia mengubah kodrat Tuhan dengan memoleskan lipstik agar warna bibirnya merah menyala?. ”Allah menciptakan manusia tidak hanya jasad tetapi juga ruh, kuasa Allah yang menciptakan manusia dengan jasad laki-laki namun ruh perempuan. Manusia diberi akal dan pikiran untuk memperbaiki diri,” terang Jen.
”Mengapa Ibu Jen memakai jilbab? Bagaimana Ibu Jen sholat? Apakah memakai mukenah? Adakah niat untuk pergi haji atau umrah?” tanya Kamel, salah satu peserta diskusi yang kebetulan seorang aktivis lesbian.
Jen menceritakan kembali awalnya dia memakai jilbab karena dia sering bergaul dengan ibu-ibu pengajian, lalu ada seorang ibu haji yang menyarankan Jen memakai jilbab, dan Jen pun mencoba mengikuti sarannya, sampai pada akhirnya malah keadaan berubah, dia bisa jadi tidak percaya diri jika keluar rumah tidak mengenakan jilbab. ”Kalau menghadap orang lain saja saya memakai pakaian perempuan, apalagi ketika saya bertemu Tuhan saya, yang Maha Tahu segala isi hati saya. Tentu saja ketika sholat saya mengenakan mukenah,” jawab Jen.
”Saya ingin pergi haji atau umrah, tetapi permasalahannya, boleh tidak saya pergi umrah atau haji dengan berpakaian muslimah? Lagi pula jika saya punya uang 35 juta kemudian saya pergi umrah yang menikmati hanya diri saya sendiri, saya pikir lebih baik uang itu saya belikan tanah untuk membangun panti jompo khusus waria.” jelas Jen.
Diskusi pun berlanjut. Dalam film dokumenter “Cinta Itu Budi” sang sutradara bertanya pada masyarakat umum dan dosen filsafat Universitas Indonesia, menanggapi itu Dewi Nova menantang peserta dengan satu pertanyaan,”Untuk apa Kita bertanya? Mengapa Kita bertanya pada sang ahli?”
“ Kita terbiasa dengan jawaban yang terberi, sehingga jika ada yang tidak bisa dijawab Kita pun bertanya pada sang ahli.” Jawab Diana.
Manusia sudah dibangun, dikonstruksi, untuk mengkotak-kotakkan diri, pengkotakan yang paling tua adalah tentang laki laki dan perempuan. “Jadi kalau ada waria, manusia pun gelisah dan berusaha mencari jawaban, ada yang bingung, ada yang takut sehingga perlu bertanya pada seorang ahli, perlu sebuah legitimasi,” papar Dewi Nova. Dia pun mempertanyakan sikap orang pada umumnya terhadap manusia, mengapa harus bertanya pada sang ahli, tidak cukupkah jawaban itu berasal dari waria itu sendiri?
“Hal ini membuktikan bahwa Seksualitas itu adalah Konstruksi dan hirarkis. Kontruksi seksualitas ini tidak tunggal, namun saling terkait. Ada faktor Agama, Ekonomi dan Politik. Kita memang butuh legitimasi tetapi jangan diletakkan sebagai satu-satunya pondasi,” terang Dewi. ”Sehingga dapat disimpulkan bahwa seksualitas itu cair.” lanjutnya.
Dewi Nova pun menegaskan bahwa seksualitas dan agama adalah kendaraan yang paling mudah untuk mengatur warga negara. Di Indonesia, fundamentalis agama semakin menguat. Hal ini dapat dilihat setidaknya pada tiga gelombang; gelombang pertama adalah ketika terjadi perang agama, di Ambon, di Ketapang, di Kupang. Gelombang kedua adalah dikeluarkannya Peraturan Daerah-Peraturan Daerah (Perda) yang berbau agama, perda syariat Islam di Tasikmalaya, perda Kristen di Manokwari. Dan gelombang ketiga, yang terjadi di Indonesia saat ini, adalah kekerasan langsung serta kontrak-kontrak politik. ”Karena itulah, politik identitas menjadi penting untuk mengklaim hak-hak kita sebagai warga negara, dan supaya negara tahu apa kebutuhan kita.” kata Dewi.
Politik Atau Politisasi Tubuh? Lia Toriana memaparkan bagaimana Negara memiliki kendali terhadap tubuh warganya. ”Pada hakikatnya politik adalah usaha bersama untuk melakukan sesuatu yang baik,” ujar Lia. Kemudian dia menampilkan foto kaki menggunakan sepatu hak tinggi dan bertanya pada peserta, ”Apa itu Cantik?”
”Cantik adalah indah dilihat.” Jawab Dodo. “Cantik ada di dalam masing masing orang.” Djohan menambahkan. Menurut Lia, kecantikan adalah bentuk klasifikasi masyarakat terhadap perempuan, klasifikasi ini yang terkadang menyiksa perempuan.
Lia lantas memaparkan pergerakan perempuan di Amerika Serikat (AS). Pada Agustus 2010, aktivis perempuan AS melakukan gerakan yang diberi nama ”GoTopless”. Gerakan perempuan ini menuntut persamaan hak dalam konstitusi di AS. Aksinya adalah demonstrasi dengan telanjang dada sebagai wujud penolakan terhadap kendali negara atas tubuh perempuan. Di tahun 90an, Madonna, Ratu Pop dunia pun sempat mengalami sensor negara karena dinilai terlalu vulgar, namun Madonna menolak mengubah penampilannya karena Madonna menilai ini adalah bentuk perlawannya. Di era 2000-an pun kini Lady Gaga melawan kendali negara atas tubuh, ”Banyak yang bilang Lady Gaga adalah Old School Madonna,” ujar Lia.
”Kontestasi politik hanya dilakukan negara, masyarakat sipil hanya bisa ditaraf diskusi namun mau sampai kapan diskusi? Untuk itu kita perlu merebut ruang publik,” kata Lia. Dia pun bertanya kepada peserta mengenai pengalaman pribadi akan politik tubuh. ”Perempuan yang mau melahirkan mesti menunggu suaminya pulang, padahal ’kan saat melahirkan adalah saat-saat rawan yang membutuhkan pertolongan medis segera,” jawab Diana.
”Waktu itu saya kerja sebagai Lip Singer, Saya berpakaian perempuan dan ketika saya mau buang air kecil saya pun pergi ke toilet laki laki. Ketika Saya mau masuk ke toilet saya dihadang oleh satpam, Saya gak boleh masuk toilet laki laki, Saya disuruh ke toilet perempuan, di toilet perempuan pun saya dipandang sinis oleh perempuan.” terang Dodo.
Pemerintah kita telah berubah dari pemerintah yang ideologis menjadi pemerintah yang imagologis. Pemerintah imagologis sendiri definisinya adalah pemerintahan yang hanya menjual pencitraan saja di depan publik. ”Daya dorong di pemerintah itu tidak ada tetapi ada di masyarakat, untuk itu kita harus mendorong pemerintah untuk mensejahterakan masyarakatnya. Karena tujuan kesejahteraan masyarakat lebih penting dari pada pencitraan ke publik.” ujar Lia menutup diskusi. (Teguh)