Oleh: Sebastian Partogi*
Meskipun badan kesehatan dunia WHO (World Health Organization) telah mencabut homoseksualitas dari daftar gangguan kejiwaan 22 tahun yang lalu menyusul kebijakan yang sebelumnya diambil oleh Asosiasi Psikiatri Amerika, gejala homofobia merupakan suatu hal yang masih menghinggapi berbagai tempat yang ada di dunia ini, termasuk Indonesia.
Definisi homofobia adalah rasa takut pada kaum homoseksual yang disebabkan oleh kepercayaan yang meskipun salah tetapi sangat populer bahwa homoseksualitas adalah sebuah penyakit yang ditandai oleh kebobrokan mental. Rasa takut ini dapat memicu tindak kekerasan terhadap kaum homoseksual, seperti penderaan verbal, kejahatan berbasis kebencian hingga pembunuhan atau penganiayaan fisik.
Meskipun data tentang jumlah kasus homofobia di Indonesia tidak tersedia, namun gejala homofobia di Indonesia tidak dapat dipungkiri, seperti yang telah dinyatakan ahli sosiologi dan aktivis gay Dede Oetomo.
Sayangnya para praktisi psikiatri dan psikologi tidak bisa mengklarifikasi dikeluarkannya homoseksualitas dari daftar gangguan kejiwaan. Ada beberapa psikolog yang bahkan masih percaya bahwa homoseksualitas adalah sebuah penyakit yang disebabkan oleh sosialisasi gender yang tidak sesuai dengan jenis kelamin individu.
Sementara praktisi di bidang kesehatan mental yakin bahwa homoseksualitas disebabkan oleh gangguan kejiwaan, pemimpin agama menyebut homoseksual sebagai pendosa. Baru-baru ini, Hartoyo, yang merupakan sekretaris jenderal organisasi LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) memprotes ungkapan pemimpin sayap perempuan Nahdhatul Ulama, Khofifah Indar Parawansa, bahwa homoseksualitas adalah sebuah dosa. Ungkapan tersebut dianggap bermasalah karena dapat memicu homofobia di masyarakat yang menyebabkan terjadinya kekerasan dan dehumanisasi terhadap kaum homoseksual.
Protes ini menuai serangan balik dari organisasi religius garis keras, FPI. Mereka mengancam Hartoyo dan memintanya untuk berhenti melakukan advokasi terhadap kaum LGBT yang dianggap haram. Situasi semacam ini mempertontonkan ancaman yang nyata bagi kaum homoseksual di Indonesia. Meskipun beberapa praktisi psikiatri dan psikologi telah menyatakan bahwa homoseksualitas bukanlah penyakit melainkan preferensi seksual yang berada di luar kontrol individu, kebanyakan orang memilih untuk percaya pada prasangka mereka dan memilih untuk mengabaikan hasil penelitian ilmiah. Itulah sebabnya homofobia masih sangat kuat terasa di Indonesia.
Konsekuensi homofobia tentu saja tidak kecil. Penelitian Williams dkk (2005) menunjukkan bahwa kaum homoseksual memiliki kerentanan yang lebih tinggi untuk mengalami depresi karena prasangka yang mereka alami di masyarakat. Penelitian McDaniels (2001) menunjukkan bahwa kaum homoseksual memiliki tendensi bunuh diri tujuh kali lebih besar daripada kaum heteroseksual. Tendensi bunuh diri yang besar ini konon dipicu oleh pengucilan sosial dan penghinaan.
Sedihnya, di kala Indonesia sedang dalam proses menjadi negara totalitarian-religius, homofobia semakin kuat. Kali ini, homofobia dibalut oleh kesalehan religius. Tendensi ini sangatlah berbahaya karena begitu seseorang menggunakan agama sebagai pembenaran tindak kekerasan, mereka tidak lagi melihat korban kekerasan mereka sebagai manusia. Korban dilihat sebagai objek yang cacat, yang layak dihancurkan karena ia berdosa, kotor, dan memicu kemurkaan Tuhan.
Tidak ada yang bisa menghentikan gejala totalitarianisme Islam yang melanda Indonesia saat ini. Di satu sisi, simbol religius superfisial dimasukkan ke dalam kesadaran publik sementara organisasi Islam garis keras kerap bertindak sebagai polisi moral yang memiliki otoritas untuk menghukum pihak-pihak yang tidak menyesuaikan diri dengan versi moralitas mereka.
Di sisi lain, penindasan dan intoleransi menjadi semakin kuat: homofobia, anti-liberalisme (yang dikaitkan dengan homofobia, yang diatribusikan kepada ideologi liberal Barat nan bobrok) dan fasisme mulai mendapat tempat di masyarakat.
Kelompok religius sayap kanan menebarkan rasa takut untuk mengontrol keberagaman dan kelompok minoritas. Mereka mengeksploitasi status sebagai mayoritas untuk bertindak melawan minoritas dan menyebut perbuatan tersebut sebagai manifestasi demokrasi.
Mereka bukan penganut ide demokrasi pluralistik yang menjanjikan keadilan untuk semua orang, termasuk kelompok minoritas. Justru, mereka membenci pluralisme dan menggolongkannya ke dalam rangkaian ideologi yang tidak disukai, bersama dengan sekularisme dan liberalisme.
Homoseksual bersama dengan kaum minoritas lainnya berada dalam ancaman di bawah totalitarianisme yang melanda Indonesia. Kaum homoseksual harus berjuang mengatasi homofobia dan intoleransi yang merupakan akar dari sikap homofobik.
Untuk berjuang, kaum homoseksual perlu menciptakan narasi tandingan dan diskursus tandingan untuk melawan monopoli “moralitas” dan “kebenaran” oleh kelompok garis keras. Upaya ini bisa dituangkan dalam bentuk esai, cerita pendek, film atau diskusi.
Penulis merasa senang saat melihat beberapa film tentang homoseksualitas yang diproduksi pada tahun 2012 ini, seperti Sanubari Jakarta (yang juga dipublikasikan dalam format cerita pendek), Parts of the Heart, serta Children of Srikandi. Belakangan ini juga, organisasi pluralis Bhinneka mengadakan lomba cerita pendek tentang kehidupan LGBT.
Semoga dengan menciptakan narasi tandingan khas mereka, kaum homoseksual bisa menjadi antibodi terhadap “virus” fundamentalisme dan totalitarianisme yang melanda Indonesia dan membuktikan bahwa keadilan adalah hak yang dimiliki semua orang.
Sumber : The Jakarta Post
*Alumni Fakultas Psikologi Universitas Atmajaya Jakarta