Search
Close this search box.

Transgender bisa hidup dan berintegrasi dengan masyarakat umum didalam sebuah pemukiman bernama Kampung Sidomulyo. Integrasi yang terjadi bisa dilihat dari sejarah Kampung Sidomulyo merupakan sebuah pemukiman yang mayoritas berisi masyarakat tersisihkan atau termarginalisasi. Demikian dikatakan oleh pendiri organisasi Ketjil Begerak, Invani Lela Herliana di sela-sela acara Seminar International dan Launching buku ”Towards a Sustainable Ecology Global Challenges and Local Responses in Africa and Asia, Selasa (29/5).

Berdasarkan sejarahnya, Kampung Sidomulyo bermula ketika pada masa pemerintahan Presiden Soeharto diberlakukan sebuah kebijakan Razia Gelandangan yang memindahkan sejumlah tunawisma jalanan ke sebuah institusi Bina Karya. Sepuluh tahun kemudian mereka pindah ke sebelah utara tepi sungai dan menjadi penyewa dari salah satu penghuni liar asli. Daerah tersebut kemudian dinamakan kembali Sidomulyo (yang secara harafiah berarti menjadi sejahtera).

Saat ini di Kampung Sidomulyo sendiri sudah terdapat 30 hingga 50 waria. Mereka juga terlibat dalam aktivitas sosial dan ekonomi dengan penduduk kampung, seperti berbagi toilet umum, berbelanja di warung, mencuci di sungai serta pada upacara pernikahan dan pemakaman.

Keberadaan waria di Kampung Sidomulyo bahkan meningkatkan pendapatan penduduk Kampung Sidomulyo melalui kios makanan, toko kelontong, dan rumah kos.

Dikatakan oleh Vani bahwa penduduk Kampung Sidomulyo yang tidak mempunyai pendidikan informal justru bisa memandang kaum transgender sama seperti masyarakat pada umumnya.

”Penduduk di Kampung Sidomulyo terdiri dari orang-orang yang justru tidak paham soal politik karena mereka tidak mempunyai kesempatan untuk memperoleh pendidikan formal. Namun, mereka justru bisa memanusiakan manusia dan tidak menganggap transgender sebagai penyakit namun sebagai manusia,” kata Invani menjelaskan.

Invani menjelaskan bahwa ditengah-tengah  pertentangan dari sejumlah kelompok ternyata keberadaan Transgender juga bisa diterima oleh pemerintah kota Yogyakarta.

”Pemerintah kota Yogyakarta pada umumnya bersifat terbuka terhadap para waria terutama di bidang seni dan bahkan mereka dibuatkan sebuah even-even khusus sebagai ajang kreasi waria di bidang seni,” kata Vani.

Sementara itu Darwis Khudori menambahkan bahwa di Indonesia sendiri keberadaan LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender) hingga saat ini masih dianggap sebagai sesuatu yang tidak normal dan merupakan penyakit sosial yang harus dimusnahkan

Kampung Sidomulyo merupakan sebuah kampung di pinggir sungai Winongo yang berada di Barat Laut Yogyakarta, kira-kira lima kilometer dari pusat kota. Mayoritas penduduk di Kampung Sidomulyo bekerja di sektor informal, seperti tukang becak, pedagang kaki lima, pengemis, buruh, pemulung, dan pengamen.

Integrasi Transgender ke dalam Kampung Sidomulyo merupakan salah satu paper yang disajikan oleh Darwis Khudori dan Invani Lela Herlina pada Seminar International dan Launchingbuku ”Towards a Sustainable Ecology Global Challenges and Local Responses in Africa and Asia. Paper berjudul ”Local Wisdom Bridging the Urban Divide: the Integration of a Transgender Community in a Kampung of Yogyakarta, Indonesia disajikan dalam durasi 30 menit.

Disamping itu dalam seminar internasional tersebut juga turut disajikan beberapa papers yang berjudul ”Ecosphere in Catasrophe : From Globalisation to Ethos for Planetary Life” oleh Yukio Kamino, ”From Urban Studies to Urban Architecture: Critiques on the Use of Eurocentric Theories in Shaping the Emerging Cities” oleh Eka Swadiansa, dan lain sebaginya. [Oky]

sumber : http://prasetya.ub.ac.id