Search
Close this search box.

 

Oleh : @SenyumDunia

Pembatalan konser Lady Gaga akhirnya diumumkan secara resmi oleh promotor yang bersangkutan. Dan dasar dari pembatalan ini adalah pertimbangan keamanan. Dengan sangat berat hati saya mengerti keputusan ini dan harus diakui, dengan melihat perkembangan yang ada, keputusan dari pihak Lady Gaga ini adalah bukan keputusan yang buruk, sekaligus pukulan telak bagi citra negara kita yang jauh dari sikap tegas.

Ada yang menarik dari alasan pembatalan konser ini. Tidak berlebihan agaknya jika yang dijadikan dasar adalah keamanan. Tentu saja keamanan yang dimaksud bukan gangguan sekaliber terorisme namun imbas yang diberikan tidak berbeda jauh dari terorisme. Bukan rahasia umum, penolakan yang dilontarkan sejumlah ormas “pengawal moral” juga disertai ancaman pembubaran konser. Ancaman ini, seperti halnya terorisme juga menimbulkan keresahan masyarakat. Jika konser dilaksanakan dan pembubaran benar-benar terjadi, yang terjadi adalah kekacauan yang tidak saja mengganggu jalannya konser tetapi juga mengganggu aktifitas warga sekitar yang tidak ada hubungannya dengan konser. Apalagi sejauh ini ormas yang kerap mengancam itu tidak jarang menggunakan kekerasan dalam aksi yang sering diidentikkan sebagai “upaya penegakan moral”. Penulis sengaja memberikan tanda kutip, karena dalam pandangan umum saja menggunakan kekerasan adalah perbuatan yang sangat tidak bermoral dan tidak akan menuai simpati masyarakat. Jika ini terjadi, citra buruk yang sudah terlanjur akibat polemik ini saja, akan semakin terpuruk jika kekacauan dalam arena konser juga terjadi dan menjadi buah bibir dunia.

Kalau kita cermati ada nuansa lain sebenarnya di balik pembatalan ini yang juga dapat dijadikan pelajaran untuk menghindari masalah yang sama. Suka tidak suka, ada makna tersirat dari pembatalan ini. Secara pribadi saya menangkap kesan pihak Lady Gaga memberikan isyarat bahwa Indonesia, melalui institusi kepolisian tidak mampu memberikan jaminan keamanan. Kesan tersirat inilah yang sangat disayangkan, walaupun isyarat ini beralasan. Berkilas balik sejenak, berita ini mencuat ke permukaan ketika sejumlah ormas menolak konser ini. Sayangnya sikap ini langsung dicap kepolisian sebagai rekomendasi dan masukan untuk tidak memberikan izin. Yang cukup ajaib, polisi juga yang mementahkan penolakan izin ini dan sejenak memberikan harapan, kalau konser masih ada kemungkinan digelar. Tidak tanggung-tanggung polisi juga dengan sangat sabar dan rajin menenangkan masyarakat dalam setiap keterangan media dengan berbagai alasan dari mulai “sedang mempelajari masukan dari elemen masyarakat” hingga soal perijinan yang katanya belum sepenuhnya beres. Sikap ini menjadi indikasi pertama jika polisi bertele-tele. Hal ini juga dinilai sebagai sikap yang sengaja untuk mengulur-ulur waktu dan tidak terlihat niatan polisi untuk menuntaskan kasus ini dengan segera. Sikap bertele-tele ini mencerminkan seolah-olah baru kali ini Polisi berurusan dengan izin keramaian. Mestinya melalui koordinasi dengan pihak penyelenggara dan pihak lainnya yang terkait seperti dinas pariwisata, polisi dapat bertindak lebih cepat untuk memperpendek  masa tunggu pengeluaran izin ini. Jika perlu, koordinasi ini sudah harus dimulai ketika visa sudah resmi dikeluarkan keimigrasian dan langsung dikomunikasikan kepada pihak penyelenggara. Dengan mekanisme seperti ini bukan tidak mungkin izin keluar atau tidak sudah bisa diputuskan jauh lebih awal dari pada H-1 yang selama ini ditetapkan dan terlalu berdekatan dengan hari H.

Tidak kalah serunya ada artikel menarik yang dilansir sebuah harian berbahasa Inggris yang memuat pernyataan tur manager Lady Gaga yang menyatakan pihaknya tidak akan tunduk kepada tekanan sejumlah ormas dan lebih memilih untuk membatalkan konser. Walaupun sempat dibantah promotor konser, akhirnya pembatalan ini terjadi juga. Apa yang dapat kita maknai dari pernyataan ini. Lagi-lagi kita mempertanyakan di mana polisi. Di awal saja polisi sudah dengan lantang mengatakan tidak akan memberikan izin dan mengatasnamakan rekomendasi ormas yang masuk. Bagaimana dengan rekomendasi lain yang juga disuarakan melalui media maupun jaringan sosial yang menyarankan agar konser digelar bersyarat? Apakah karena suara seperti ini dilontarkan dengan cara kondusif dinilai “kurang sensasional” hingga tidak laik dipertimbangkan? Mudah-mudahan saja tidak. Pada gilirannya polisi bisa saja mempertemukan pihak-pihak yang pro dan yang kontra untuk menemukan titik tengah. Atau bisa saja, jika langkah ini dianggap tidak perlu, polisi tidak langsung menurunkan vonis “tidak akan memberikan izin” tetapi lebih menyiratkan sedang mempelajari rekomendasi yang masuk baik yang pro maupun yang kontra. Jika ini terjadi, masyarakat akan melihat sikap netral kepolisian. Tetapi keberpihakan kepada ormas juga menyiratkan bahwa polisi takut dan cenderung “mendengarkan” aspirasi dari ormas-ormas ini.  Secara umum masyarakat berharap dan menunggu pernyataan yang lebih tegas namun menyejukkan seperti kesediaan polisi untuk mengamankan jalannya konser, jika jadi digelar. Jika hal ini yang ditempuh, pesimisme masyarakat akan menipis. Musisi Ahmad Dhani pernah mengalami kasus serupa namun ia menjempoli ketegasan dan keberanian kepolisian Yogyakarta yang memilih sikap menjalankan tanggung jawabnya untuk menjamin keamanan ketimbang tunduk kepada ancaman ormas kala itu. Jadi, kesimpulannya jika kepolisian mau, bisa. Kita tinggalkan panggung kepolisian dengan pujian sekaligus dukungan atas kesediaan mereka untuk mengamankan jalannya proses pengembalian tiket. Setidaknya harus kita akui, polisi menyikapinya dengan sigap dan cepat. Sikap ini memberikan kepastian baik  kepada promotor maupun calon penonton yang hendak mengembalikan tiket.

Tidak lengkap rasanya jika kita hanya membicarakan polisi tanpa membicarakan “pasangan koalisi-nya” yang tak lain dan tidak bukan adalah ormas-ormas garis keras. Selama ini kesan yang mereka tunjukan adalah perjuangan akan penegakan moral. Tetapi bagaimana kami dapat memberikan simpati atau memberikan dukungan kepada ormas seperti ini jika yang mereka kerjakan juga tidak mencerminkan apa yang mereka perjuangkan. Contohnya, kasus pengerusakan masjid Ahmadiyah, pengerusakan atau sweeping tempat hiburan, pemusnahan miras atau yang terakhir ancaman pembubaran konser Lady Gaga. Khusus untuk yang terakhir, yang lucu adalah ada masa ormas yang membeli tiket dengan maksud mengawasi dan melakukan pembubaran jika perlu. Kalau konsernya saja ditolak dan dianggap merusak moral mengapa ada massa ormas yang menonton? Sikap ini tidak mencerminkan kekompakan dalam tubuh ormas itu sendiri, dalam tayangan Indonesia Lawyers Club seorang habib mengatakan pihaknya tidak mengadakan ancaman, dalam kenyataannya massa mereka yang berada di Bekasi malah memperlihatkan tiket konser yang sudah mereka beli, dan memastikan bahwa mereka siap melakukan pembubaran konser. Masih dalam tayangan Indonesia Lawyer Club seorang habib dari ormas garis keras ini mengatakan bahwa organisasinya patuh kepada undang-undang. Penolakan memang disampaikan dengan tertib melalui surat, yang mematuhi undang-undang  tetapi ancaman pembubaran adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan undang-undang, karena kebebasan berserikat dan berkumpul juga dijamin undang-undang. Masih bicara mengenai Undang-Undang, mereka juga mengklaim bahwa penolakan konser juga karena mereka mendasarkan diri kepada Undang-undang pornografi. Ada dualisme dalam sikap mereka, ketika mereka mengulang-ngulang masalah erotisme, sulit rasanya untuk kita mendefinisikan erotisme yang dapat disepakati semua pihak. Definisi ini dapat berbeda untuk saya dan anda. Dalam hal penampilan seorang penyanyi di atas panggung misalnya, yang menurut saya tidak laik dan mengarah kepada erotisme adalah ketika sang penampil mengenakan bikini atau mempertontonkan gerakan tari yang tidak laik berulang-ulang. Tetapi banyak di antara kita yang mungkin mendefinisikan kalau seseorang dinilai berpakaian erotis ketika mengenakan pakaian yang menunjukan bagian perut. Perbedaan interpretasi ini juga menunjukan betapa sulitnya mendefinisikan erotisme itu. UU ini pelaksanaannya juga tidak jelas dan UU ini cenderung menyerang perempuan. Tidak ada salahnya jika UU ini dibatalkan. Jangan sampai, Indonesia yang selama ini menjadi negara terbuka akan berubah menjadi negara yang opresif terhadap kaum perempuan seperti halnya Afganistan dan negara-negara tertentu di timur tengah. Di samping itu, akan lebih baik jika yang dibahas adalah UU yang melindungi kaum perempuan, misalnya dengan mengajukan rekomendasi pembuatan UU yang menjerat pelaku pelecehan seksual atau pelaku kekerasan terhadap perempuan dengan hukuman yang berat. Lebih dari itu, Indonesia adalah negara pluralis yang terdiri dari berbagai macam suku dan agama. Kaum mayoritas, apapun alasannya tidak bisa memaksakan kehendak sepihak, melainkan bersama-sama dengan kelompok yang lain untuk menjadikan Indonesia sebagai contoh demokrasi yang baik bagi negara-negara lain.

Keberadaan ormas memang bagian dari dinamika demokrasi, namun ormas yang baik adalah ormas yang mampu menjalankan peranannya dengan menghormati koridor hukum, dan menghindari main hakim sendiri. Ketika wacana Lady Gaga mencuat misalnya ramai-ramai ormas ini berdemo untuk menentang dengan segala macam alasan yang berkutat pada masalah moral. Ketika kita bicara moral, penulis mengusulkan jika demo ini bisa dialihkan dengan agenda pemberantasan korupsi, karena korupsi merupakan perbuatan yang tidak bermoral. Ormas juga dapat membantu program-program pemerintah. Hal lain yang dapat dilakukan ormas adalah berada di garis depan untuk melakukan upaya-upaya memperbaiki dan menjaga kerukunan antar umat beragama, misalnya dengan mengadakan dialog berkala dengan tokoh-tokoh agama atau dengan meneruskan inisiatif untuk menjaga rumah-rumah ibadah atau dengan turun langsung untuk membantu pembangunan rumah ibadah. Dan masih banyak lagi yang dapat dikerjakan sebuah ormas untuk menjadi ormas progresif daripada sekedar mengurusi moral dan keimanan orang lain. Sederhananya lebih baik mengurusi dulu iman dan moral diri sendiri, sebelum mengurusi moral dan keimanan orang lain yang sejatinya merupakan urusan pribadi antara sebuah individu dengan Maha Pencipta.

Akhirnya penulis berharap jika negara mampu menjalankan peranannya untuk menegakkan hukum dan memberikan rasa aman. Polisi diharapkan mampu menempatkan diri dan menjalankan aturan hukum dengan jelas. Negara juga diharapkan mampu bertindak tegas kepada ormas anarkis dan membubarkan ormas anarkis agar Indonesia kembali menjadi negara yang aman, damai dan tentram.