Search
Close this search box.

Prayers For Bobby: Sebuah Refleksi

Menonton dan mendiskusikan film “Prayers for Bobby” yang diadakan dalam rangka kampanye #BedaIsMe memberikan pemahaman dan pengertian baru dalam hidup saya. Selama ini, saya cenderung memandang wacana homoseksualitas sebagai sebuah wacana HAM semata. Bahwa teman-teman homoseksual selayaknya mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum, dan tidak boleh mendapatkan diskriminasi. Bahwa pembelaan terhadap mereka adalah amanah yang harus dilaksanakan.

Tapi film ini memberikan sisi yang sama sekali lain dari yang saya pahami selama ini. Film ini menggambarkan betapa penderitaan seorang homoseksual ternyata sangat berat. Tekanan dari keluarga yang semula mencintai tanpa syarat dan lalu kemudian berubah 180 derajat, belum lagi cibiran dari masyarakat sekitar yang seringkali disertai kekerasan verbal dan juga tak jarang non-verbal. Dan yang paling menyedihkan tentunya adalah “jaminan” untuk masuk neraka. Dengan dalil agama (di hampir semua agama), teman-teman homoseksual selalu dihakimi neraka!

Yang sering tidak kita selidiki adalah apa efek dan dampak yang ditimbulkan oleh pelabelan buruk kita kepada orang-orang yang berbeda dari kita. Seringkali, kita berdalih bahwa apa yang kita katakan adalah kenyataan dan kita ingin agar orang yang menjadi objek perkataan kita dapat “sadar”. Yang seringkali tidak kita renungkan adalah; kita sedang mengkerdilkan jiwa orang yang kita caci-maki itu, kita sedang menghancurkan kepribadiannya, kita sedang meruntuhkan harga diri dan kepercayaan dirinya; kita sedang merampas masa depan dan juga imaji kehidupannya! Padahal, siapa kah kita sehingga berhak menghakimi dan menghancurkan orang lain?

Sebagian kita mengambil otoritas agama sebagai pembenar. Untuk yang beragama Islam akan mengutip ayat-ayat Al-Qur’an yang ditafsirkan bahwa kaum Sodom dan Gomorrah diazab semata karena perilaku homoseksualnya. Padahal dalam ayat-ayat itu juga diungkapkan betapa masyarakat Luth sudah sangat rusak secara sosial; menyamun, merampok, memperkosa, mengganggu tamu, bahkan mengusir Nabi Luth dan keluarganya – semua dilakukan dengan bekerjasama. Bahkan mereka menantang agar Tuhan Nabi Luth menurunkan azab buat mereka; kesombongan – dosa yang paling purba dan pengingkaran paling dasar atas penciptaan.

Saya ingat kisah yang sering diulang oleh kakek saya, tentang penciptaan manusia yang merupakan bukti kebesaran Tuhan. Tuhan telah menggariskan sunnah-Nya bahwa manusia diciptakan dari percampuran antara laki-laki dan perempuan. Tapi, sebagai bukti kebesaranNya, Dia juga mencipta manusia diluar sunnah yang telah tetap itu. Tuhan menciptakan Adam tanpa percampuran ayah dan ibu, dan Isa dengan Ibu tunggal tanpa ayah. Untuk manusia dengan ayah tapi tanpa ibu, mungkin hawa bisa jadi contoh, atau jika menurut kisah kakek saya, Nabi Adam pernah punya anak yang lahir sendirian (tidak berpasangan sebagaimana biasa) yang lahir dengan mani Nabi Adam saja. Penciptaan-penciptaan ini tentu saja adalah penyimpangan dari sunnah-Nya sendiri.

Saya jadi berpikir, apakah penciptaan manusia dengan orientasi seksual yang berbeda juga merupakan bukti kebesaran Tuhan? Bahwa Tuhan mampu menciptakan apapun, tidak selalu sama dengan sunnah-Nya yang menurut kita tetap? Lalu kenapa kita tidak menyerahkan semua ini kepada Tuhan saja, kepada-Nya yang telah mencipta tubuh beserta bakat dan orientasi kita? Bukankah dengan begitu, kita akan menjadi muslim (orang-orang yang berserah diri pada ketentuan-Nya)? (Nh Rifai Daeng Massuro)