Search
Close this search box.

PERCINTAAN minoritas yang terjadi pada kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender/transeksual (LGBT) tidak semata karena urusan orientasi seksual. Kemiskinan, kebudayaan, dan faktor lain membuat seseorang kemudian merasakan cinta yang benar-benar universal.

’’Jodoh itu di tangan Tuhan, bukan di tangan orang tua”. Demikian kutipan salah satu dialog dalam film Terhubung yang disutradarai Alfrits John Robert yang menjadi salah satu antologi film Sanubari Jakarta yang diputar di gedung Pascasarjana IBI Darmajaya kemarin.

Kalimat itu keluar dari bibir seorang biseksual yang terpaksa putus cinta dengan pasangannya seorang perempuan. Karena perjodohan orang tua, ia diharuskan menikah dengan laki-laki. Kalimat serupa juga keluar dalam film Malam Ini Aku Cantik karya Dinda Kayadewi. ’’Sabar ya, jodoh, takdir itu di tangan Tuhan,” kata seorang transgender menor kepada rekannya yang sedang menunggu ’’langganan” di pinggir jalan.

Adegan lumayan mengejutkan bahkan tergambar di film yang disutradarai Adriyanto Waskito Dewo, Menunggu Warna. Satu adegan ’’menikah” sesama lelaki membuat penonton menahan senyum. Dalam perannya, dua lelaki berada dalam sesi pemotretan pernikahan. Keduanya menggunakan jas dengan kain batik dan menunjukkan cincin kawin di depan kamera dalam posisi siap dipotret.

’Mereka (LGBT) ada. Ini realita,” kata koordinator roadshow Sanubari Jakarta Dimas Hary sebelum pertunjukan film yang berdurasi 100 menit itu.

Sepuluh cerita dalam antologi film Sanubari Jakarta ini diproduseri Lola Amaria. Idenya simpel. Ia ingin membawa kehidupan LGBT secara lebih dekat kepada penonton. Bahwa bukan hanya nafsu yang dipertontonkan. Tetapi juga ada cinta di antara mereka. Mulai jatuh cinta, hubungan asmara dengan jatuh bangunnya, patah hati, hingga protes terhadap ketidakadilan gender.

Latar yang disampaikan pun beragam. Mulai kelas sosial, keluarga, usia, sampai kebudayaan. Misalnya dalam film Topeng Srikandi karya Kirana Larasati. Seorang karyawan perempuan terpaksa menjadi transgender akibat perbedaan perlakuan yang dialaminya karena jenis kelamin. Di kantornya, ia selalu dilecehkan, baik secara seksual maupun dalam karya. Perempuan kerap didiskriminasikan.

Saat ia berjuang menuntut hak, ia justru dipecat. Sang Srikandi kemudian ’’membalas dendam” dengan masuk kembali ke kantor tersebut dengan penampilan laki-laki, sangat maskulin. Ia mendapat pujian karena berhasil mempresentasikan karyanya untuk pengembangan perusahaan. Saat tepukan tangan menggema di seluruh ruangan, dia mengungkapkan identitasnya.

’’Perempuan itu kini berwujud, dan sempurna tanpa topeng, bukan laki-laki,” kata Srikandi sambil membuka wig, kacamata, dan pakaiannya. Si bos yang diperankan oleh Deddy Corbuzier pun merasa malu dan meninggalkan ruang rapat. Film ini dikemas dalam kebudayaan Jawa dengan menampilkan wayang Srikandi lengkap dengan celotehan dalang berbahasa Jawa di awal dan akhir cerita.

Tak hanya soal kebudayaan. Sepuluh film drama ini juga dikemas komedi satir melalui film Malam Ini Aku Cantik. Tidak hanya membuat penonton terbawa terbahak-bahak dengan tingkah polah seorang waria tua yang sudah tidak laku lagi. Penonton sekaligus diajak untuk merasakan kepedihan karena waria tersebut terpaksa menjual harga dirinya demi anak dan istrinya yang miskin.

“Peduli setan tatapan mereka yang tak kubutuhkan. Toh mereka juga pendosa,” kata waria yang diperankan oleh Dimas Hary di awal cerita. Menjelang akhir cerita, sindiran terhadap kemiskinan yang menjalari kolong-kolong jembatan Jakarta sangat terasa. Bahwa ia terpaksa menjadi waria untuk mencari nafkah.

“Cantik ini hanyalah topeng kerjaku. Buah dada ini pun sumpalan kaos kaki. Tapi cinta ini masih murni, layaknya cinta suami terhadap istrinya. Kasih sayang ini juga masih terjaga, layaknya papa pada buah hatinya,” batin waria sambil menghapus riasan di wajahnya di subuh hari.

Pencarian jati diri seseorang terhadap orientasi seksualnya juga diungkap melalui film pembuka berjudul ½. Sang sutradara Tika Pramesti menggambarkan alter ego atau kepribadian ganda yang dimiliki seorang remaja bernama Bian. Karena ia jatuh cinta kepada sahabatnya yang juga lelaki, maka Bian tidak dapat memilih. Menurut dia, semuanya akan berjalan lancar jika ia seorang perempuan.

Yang menarik adalah Kentang dengan sutradara Aline Justia dengan adegan-adegan eksotis namun tidak vulgar antara sesama mahasiswa, yang keduanya laki-laki. Sejak awal hingga akhir cerita, penonton disuguhkan akting lucu Gia Partawinata—yang merupakan pria asal Punggur, Metro—sebagai seorang gay yang baru saja bertemu kekasihnya.

Film ini ditutup oleh kisah yang manis antara Reuben dengan Mia dalam cerita Kotak Cokelat karya Sim F. Setelah sekian lama mereka menjalin hubungan, Reuben menemukan sebuah kotak cokelat yang menguak kenyataan pada masa lalu bahwa Mia adalah teman kecil Reuben yang tadinya seorang pria. Tanpa diduga, Reuben akhirnya menerima Mia yang merupakan seorang transseksual.

Kisah-kisah lain juga disampaikan apik melalui film lainnya seperti Lumba-Lumba, Pembalut, dan Untuk A. “Dan cerita yang disampaikan adalah based true event (berdasarkan kisah nyata),” ujar Dimas usai pemutaran film.

Sementara itu, dari sisi produksi, naskah film ini ditulis oleh Laila Nur Azizah, mahasiswa Kriminologi Universitas Indonesia. Observasi hingga pengambilan gambar sepulu film memakan waktu setahun. Observasi dilakukan ketika sudah naskah diterima masing-masing sutradara yang kemudian dikonsultasikan oleh aktifis LGBT di Jakarta. Setelah mencari pemain, observasi kembali dilakukan bersama.  “Mereka terjuan langsung dan ngobrol (dengan LGBT),” kata Harry.

Bahkan, Gesata Stella dalam film Pembalut yang memainkan tiga karakter sekaligus melakukan observasi hampir tiga bulan. Ia mengobrol dan bergaul dengan lesbian femme (yang berperan sebagai perempuan) dan lesbian butchie (yang berperan sebagai laki-laki). Gesata yang merupakan aktor teater ini juga menonton 20 film terkait LGBT untuk mendapatkan karakter dalam perannya. (dna/c1/dna)

sumber : radarlampung.co.id