Search
Close this search box.

Tak dapat disangkal, bahwa realitas kehidupan di dunia ini begitu plural dan beraneka ragam. Oleh karena itu, konsekuensi logis dari keberagaman adalah berbeda. Ya, menjadi berbeda merupakan sebuah hak, selama keberbedaannya itu dilandasi tanggung jawab dan tidak mengganggu orang lain. Namun selama ini, banyak orang menyikapi keberagaman hanya dalam soal-soal yang masih parsial, tidak universal. Sebut saja, jika dewasa ini orang hanya gencar membincangkan persoalan keberagaman seputar identitas-identitas tertentu, misalkan keberagaman dalam beragama dan berkeyakinan, suku, bahasa, adat-istiadat, dan lain sebagainya. Itu semua memang penting, namun nampaknya ada yang lekang dari perbincangan kita selama ini yakni tentang hak kedaulatan seksualitas, terutama wacana seksualitas yang berkait kelindan dengan komunitas LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender).

Bukanlah perkara mudah, ditengah masyarakat yang konstruksi sosialnya berpegang teguh pada heteronormavitas (norma-norma orientasi seksual hetero), berabad-abad lamanya komunitas LGBT dicap sebagai komunitas manusia yang bukan hanya telah menyalahi norma keumuman dalam masyarakat, melainkan pula dianggap telah menentang dan menyalahi kodrat Tuhan. Sehingga akibatnya, keberadaan komunitas LGBT ini selalu dipinggirkan dan direndahkan.

Melihat ketabuan dan kekeliruan seperti ini, saya merasa terpanggil untuk kemudian, berupaya menduduk-perkarakan persoalan seputar komunitas LGBT—sebagai manusia yang juga mempunyai kedudukan sederajat dengan manusia-manusia lainnya— secara dingin dan tidak emosional, tentu dengan perspektif kemanusiaan. Paling tidak, pertanyaannya adalah apakah Islam melegitimasi konstruksi sosial masyakat yang meminggirkan komunitas LGBT? Bagaimana pandangan Islam soal komunitas LGBT?.

 

Membongkar Ketabuan Seputar Seksualitas

Melihat masih mengakar kuatnya konstruksi heteronormavitas—dalam mewacanakan seksualitas—di masyarakat, maka langkah awal yang harus segera diupayakan, saya kira adalah membongkar segala bentuk ketabuan dan kekeliruan seputar diskursus seksualitas itu sendiri, secara ilmiah, dingin, dan tidak emosional.

Baiklah, disini saya harus memberikan pengertian seksualitas. Ya, seksualitas adalah proses sosial yang banyak dipengaruhi oleh banyak faktor, yang merujuk pada hasrat atau birahi yang ada pada diri manusia. Ada yang rancu diperedaran masyarakat dalam menyoal seksualitas. Seksualitas masih dipersepsikan sebagai kenyataan sosial yang tabu dan negatif jika dibincangkan secara terbuka. Nah, persepsi semacam ini yang harus segera diluruskan, bahwa seksualitas adalah suatu  hal yang justru positif, yang harus dikomunikasikan secara jujur dan terbuka, karena ia menyangkut jati dirinya masing-masing.

Sejauh amatan saya, tokoh yang peduli terhadap keberadaan komunitas LGBT dalam konteks Indonesia, adalah Siti Musdah Mulia. Beliau adalah Guru Besar di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Namun, dalam itikad baiknya itu, tak jarang beliau disumpah serapah sebagai tokoh yang hendak merusak ajaran agama, Islam. Pendapatnya ditentang, disalahpahami, bahkan dianggap kafir, hanya karena berbeda pendapat dengan arus utama. Benar. Salah satu dari sekian banyak gagasan beliau yang sering disalahpahami adalah soal prinsip kemanusiaan dalam kepeduliannya terhadap komunitas LGBT.

Menurut Musdah (2010), seksualitas mencakup aspek yang sangat luas, yaitu pembicaraan tentang jenis kelamin biologis, identitas gender (jenis kelamin sosial), orientasi seksual, dan perilaku seksual. Sehingga dengan begitu, dari setiap pembicaraan tentang seksualitas; jenis kelamin biologis, jenis kelamin sosial, orientasi seksual, dan perilaku seksual, mempunyai pengertian dan cakupan yang berbeda. Jenis kelamin biologis ini yang kemudian melahirkan pola laki-laki dan perempuan, sedangkan berkaitan dengan identitas gender (jenis kelamin sosial) terbagi menjadi tiga pola; perempuan dengan identitas feminimnya, laki-laki dengan identitas maskulinnya, dan transgender dengan identitas keduanya. Dan, transgender sendiri itu yang kemudian melahirkan; laki-laki keperempuanan (banci atau waria) dan perempuan kelaki-lakian.

Berkaitan dengan studi komunitas LGBT, kita juga harus dapat membedakan mana itu orientasi seksual dan mana itu perilaku seksual. Orientasi seksual merujuk pada kapasitas dan potensi seseorang—sebagaimana fitrahnya—yang memiliki orientasi tertentu berhubungan dengan ketertarikan emosi, rasa cinta, sayang, dan hubungan seksual. Dan, perlu ditegaskan bahwa orientasi seksual ini bersifat kodrati, artinya ia bukan sebuah kapasitas yang dapat dikonstruk secara sosial dan ia tidak dapat dirubah. Memahami bahasan tentang orientasi seksual ini, yang kemudian akan mengantarkan kita pada beberapa jenis atau variasi tentang berbagai macam orientasi seksual yang ada pada diri manusia, antara lain; Pertama, orientasi seksual yang bersifat heteroseksual (hetero); Kedua, orientasi seksual yang bersifat homoseksual (homo);Ketiga, orientasi seksual yang bersifat biseksual (bisek); dan Keempat, orientasi seksual yang bersifat aseksual (asek).

Sampai pada titik ini, kita juga harus memahami berbagai varian dari orientasi seksual yang ada. Sehingga, dari berbagai jenis orientasi seksual tersebut, heteroseksual mempunyai pengertian tatkala seseorang tertarik pada lain jenis (laki-laki tertarik pada perempuan ataupun sebaliknya). Dinamakan homoseksual tatkala seseorang tertarik pada sesama jenisnya (laki-laki tertarik pada laki-laki, atau sebaliknya perempuan tertarik pada perempuan [yang lazim disebut gay]). Sedangkan biseksual, tatkala seseorang mempunyai orientasi seksual ganda, dalam arti ia tidak hanya tertarik pada lawan jenis, melainkan pula (disaat yang bersamaan) tertarik pada sesama jenis. Adapun aseksual, yakni tatkala seseorang tidak mempunyai orientasi seksual, karena ia sama sekali tidak tertarik pada lawan maupun sesama jenisnya.

Memahami berbagai cakupan dalam diskurus seksualitas dan komunitas LGBT memang bukan perkara yang mudah. Sebab, selain konstruksi heteronormavitas begitu akut dikehidupan masyarakat, juga diakibatkan relasi gender yang sangat timpang, dimana relasi gender yang masih mengakar kuat ditengah masyarakat masih dihegemoni oleh ideology patriarkhi, dimana perspektif kelaki-lakian selalu menjadi perspektif.

Sebagai pertimbangan dalam memahami dan memanusiakan komunitas LGBT, saya mempunyai pengalaman menarik, yakni tatkala saya dapat berkomunikasi langsung dengan komunitas LGBT, ia menamakan komunitasnya dengan Institut Pelangi Perempuan (IPP). Saya memang tidak banyak tahu soal komunitas IPP ini, namun sedikit banyaknya pengalaman merekalah yang juga telah menguatkan saya bahwa mereka (komunitas LGBT) juga manusia, yang mempunyai perasaan dan hati nurani, untuk dapat berbaur secara normal dengan manusia-manusia dengan orientasi seksual lainnya.

Dalam kesempatan pertemuan itu, mereka memperkenalkan diri sebagai komunitas perempuan dari berbagai latarbelakang, yang mempunyai orientasi homo seksual, alias gay. Mereka mencintai sesama jenis (perempuan mencintai perempuan), menjalani kehidupan sehari-hari seperti layaknya manusia pada umumnya. Mulai dari pacaran, menikah, hingga berhubungan seksual. Awalnya saya memang merasa “jijik” dengan segala penuturan jujur mereka. Saya sendiri bisa memaklumi mengapa saat itu saya merasa risih, penyebab utamanya paling tidak bahwa saya ini terstigmatisasi dengan pola heteronormavitas yang akut. Namun, ada keterharuan saat saya melihat aktivitas-aktivitas lain yang mereka lakukan, yakni saat mereka getol melakukan kerja-kerja dan bhakti sosial. Mereka sangat peka terhadap lingkungan sekitar, memberikan penyuluhan, berbagi dengan masyarakat yang tidak mampu, dan kerja-kerja sosial lainnya.

Sejak saat itu, sayapun tersadarkan bahwa komunitas LGBT pun mempunyai kepedulian dan jiwa sosial yang tinggi, bahkan bisa jadi lebih tinggi daripada kepedulian dan jiwa sosial kita pada umumnya. Dengan demikian, saya berharap jika dewasa ini semakin banyak orang memahami betapa mereka (komunitas LGBT) juga memiliki hak-hak yang sama sebagai warga Negara Indonesia, yang harus diperlakukan sama dihadapan hukum apapun; hukum sosial, hukum positif maupun hukum agama.

Interpretasi Kemanusiaan untuk Komunitas LGBT

Boleh jadi, ketabuan dan kekeliruan pandangan arus utama masyarakat dalam melihat keberadaan adalah karena ketidakcermatan dalam membaca teks keagamaan, terutama al-Qur’an. Beberapa sitiran ayat al-Qur’an yang sering dijadikan sumber legitimasi untuk menyudutkan komunitas LGBT, diantaranya adalah QS. al-Naml [27]: 54-58; “Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya, “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah (keji), padahal kamu melihatnya (kekejian perbuatan maksiat itu)?. Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) syahwat (mu), bukan (mendatangi) perempuan? Sungguh, kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu). Maka Kami selamatkan dia dan keluarganya, kecuali istrinya. Kami telah menentukan dia termasuk orang-orang yang tertinggal. Dan Kami hujani mereka dengan hujan (batu), maka sangat buruklah hujan (yang ditimpakan) pada orang-orang yang diberi peringatan itu”.

Lalu, QS. al-‘Araf [7]: 80-81; “Dan (Kami telah mengutus) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya, “Mengapa kamu melakukan perbuatan keji, yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun sebelum kamu (di dunia ini). Sungguh, kamu telah melampiaskan syahwatmu kepada sesama lelaki bukan kepada perempuan. Kamu benar-benar kaum yang melampaui batas.”

Kemudian, QS. Hud [11]: 77-83; “Dan ketika para utusan Kami (para malaikat) itu datang kepada Luth, dia merasa curiga dan dadanya merasa sempit karena (kedatangan)nya. Dia (Luth) berkata, “Ini hari yang sangat sulit”. Dan kaumnya segera datang kepadanya. Dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan keji. Luth berkata, “Wahai kaumku! Inilah puteri-puteri (negeri)ku mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah diantaramu orang yang pandai?”. Mereka menjawab, “Sesungguhya engkau pasti tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan (syahwat) terhadap puteri-puterimu; dan engkau tentu mengetahui apa yang (sebenarnya) kamu kehendaki”. Dan (Luth) berkata, “Sekiranya aku mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan)”. Mereka (para mailkat) berkata, “Wahai Luth! Sesungguhnya kami adalah para utusan Tuhanmu, mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah bersama keluargamu pada akhir malam dan jangan ada seorangpun diantara kamu yang menoleh kebelakang, kecuali istrimu. Sesungguhnya dia akan (juga) ditimpa (siksaan) yang menimpa mereka. Sesungguhnya saat terjadinya siksaan bagi mereka itu pada waktu subuh. Bukankah Subuh itu sudah dekat?”. Maka ketika keputusan Kami datang, Kami menjungkirbalikkan negeri kaum Luth, dan Kami hujani mereka mereka bertubi-tubi dengan batu dari tanah yang terbakar. Yang diberi tanda oleh Tuhanmu. Dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang dholim”.

Dan, QS. al-Syu’ara [26]: 160-175; “Kaum Luth telah mendustakan para rasul. Ketika saudara mereka Luth berkata kepada mereka, “Mengapa kamu tidak bertakwa?”. Sungguh, aku adalah rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu. Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah padaku. Dan aku tidak meminta imbalan kepadamu atas ajakan itu; imbalanku hanyalah dari Tuhan seluruh alam. Mengapa kamu mendatangi jenis laki-laki diantara manusia”.

Sebelum menjelaskan lebih lanjut tentang beberapa ayat diatas, kiranya akan saya hadapkan dengan ayat dalam QS Al-Nur [24]: 35, dinyatakan bahwa Tuhan adalah cahaya langit dan bumi. Ayat ini dapat dipahami secara eksplisit, bahwa Al-Qur’an adalah manifestasi ajaran Tuhan yang mempunyai peranan sebagai dua cahaya, cahaya-Nya di langit dan di bumi. Berkenaan dengan cahaya-Nya di bumi, Al-Qur’an seyogianya dapat menjadi penerang bagi segala bentuk kegelapan, mengangkat harkat dan martabat manusia—apapun identitasnya, termasuk berbeda orientasi seksualnya—serta memberikan direksi perubahan-perubahan sosial. Dengan kata lain, umat Islam mempunyai tanggung jawab yang sangat besar untuk menerjemahkan pesan-pesan Tuhan, selain untuk terang langit juga terang bumi. Dan kaitannya dengan diskursus LGBT, menginsyaratkan bahwa manusia dalam melakukan interpretasi al-Qur’an harus dapat mengakomodir keberadaan mereka itu.

Makanya, Musdah berpendapat bahwa LGBT—sebagai manusia yang sama dan setara dihadapan Tuhan—merupakan sunnatullah (alamiah), sebagai ketentuan murni dari Tuhan, dan bukan konstruksi sosial. Penting juga dikemukakan, bukankah Islam iturahmatan lil’alamin (mengasihi seluruh penghuni semesta)? Kalau kita sepakat menyatakan bahwa Islam adalah agama rahmatan lil’alamin, maka rahmat bagi komunitas LGBTpun menjadi niscaya.

Berdasarkan beberapa ayat yang telah dikemukakan diatas, ada beberapa poin penting yang dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat tersebut berbicara seputar;  Nabi Allah Luth As dimandati sebagai utusan dan penyampai risalah sebagaimana peran Nabi-nabi selainnya; bersumber dari wahyu Tuhan bahwa Nabi Luth hendak menyerukan kepada seluruh umat manusia agar menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan (tauhid) dan nilai-nilai kemanusiaan (sosial), namun, betapapun ajaran-ajarannya itu luhur, Nabi Luth sama sekali tidak pernah memaksakan apalagi berbuat kekerasan; diayat itu juga diberitakan adanya sebuah pembangkangan serta kedholiman sehingga Tuhan menimpakan azabnya yang pedih (bukan hanya kepada kaum sodom, melainkan pula pada masyarakat lain pada umumnya, sebagai contoh yakni istrinya Nabi Luth yang tidak lesbian atau tidak melakukan sodomi); lebih lanjut, realitas sosial masyarakat saat itu mencerminkan fakta seputar seksualitas terutama menyangkut soal perilaku seksual (ingat, bukan orientasinya) yang amat menyimpang, mulai dari adanya unsur pemaksaan, penindasan, penganiayaan, dan perilaku-perilaku seksual yang sarat dengan kekerasan, dan diantara perilaku menyimpangnya itu adalah sodomi yang keterlaluan; sehingga penimpaan azab Tuhan itu tidak hanya berlaku pada kaum Nabi Luth saja, melainkan jauh sebelumnya, juga telah menimpa kaum Nabi-nabi lain sebelumnya seperti azab-azab yang menimpa kaum Nabi Hud, Nuh, Shalih, Syu’aib, dan lainnya yang menyimpang; dan terakhir, bahwa dalam ayat tersebut, tidak ada perintah Tuhan untuk meminggirkan dan merendahkan kaum homo (atau LGBT pada luasnya), apalagi perintah untuk memberontak atau sampai membunuhnya, sekali lagi saya tegaskan tidak ada.

Nah, dengan demikian, persepsi arus utama dalam menyoal kaum Nabi Luth yang sering disandingkan dengan azab pedihnya itu, substansinya bukan karena soal orientasi dan identitas gender, melainkan berlaku kepada siapapun umatnya (entah ia memiliki heteronormavitas atau lainnya) yang berbuat kerusakan di muka bumi, maka secara otomatis murka berupa azab Tuhan pasti berlaku. Karena Tuhan tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Penutup

Diperlukan penghayatan yang tekun dan dingin, dalam merekonstruksi pandangan diskriminatif arus utama selama ini, sebab, perkara semacam ini bukan hanya menjadi persoalan (yang dianggap) menyimpang bagi kelompok masyarakat awam, melainkan para cendikiawan-cerdaspun tak jarang masih terpengaruh oleh pandangan diskriminatif ini.

Oleh karena itu, dibutuhkan kajian-kajian ilmiah lebih lanjut dan kontinyu, agar dapat menciptakan sebuah paradigma baru dalam membaca setiap apapun problematika yang mendera, khususnya terkait dengan diskursus LGBT. Membaca ulang sumber-sumber otoritatif disini menjadi keharusan, sebagaimana spiritnya yang dapat menerangi segala bentuk kegelapan (dalam bentuk) pemahaman, menuju cerah dan mencerahkan. Karena, suatu hal yang mustahil jika al-Qur’an ataupun hadits melegitimasi tindak diskriminatif dan kekerasan, hanya karena mereka (komunitas LGBT) berbeda orientasi seksualnya dengan kebanyakan. Demikian. Wallahu ‘alam bi al-Shawab

Penulis : Mamang M. Haerudin (Koordinator ADIL (Arus Dialektika Islam non-Literal)

Sumber : http://jakarta.kompasiana.com