Berita tentang pembubaran diskusi dengan Irshad Manji, seorang feminis Islam dari Kanada, di Salihara (4/05) dan Universitas Gadjah Mada (9/05) tentu kita sesalkan. Terlepas dari pandangan kita secara pribadi terhadap isu yang diusung, kenyataan bahwa hak berbicara dan hak berpendapat diberangus dengan aksi represif perlu menjadi keprihatinan bersama. Di sini, peran media dalam memberitakan isu Lesbian, Gay, Bisexual,Transsexual (LGBT) yang melekat pada diri Irshad Manji kembali perlu disorot secara tajam.
Menurut Ardhanary Institute, dalam banyak kejadian, media justru sering kali mengambil peran sebagai pengadilan massa untuk kasus LGBT. Tidak jarang media menyorot isu LGBT sebagai bentuk penyimpangan dan turut memprovokasi publik dengan pemberitaan yang timpang. Sehingga, aksi represi yang dilakukan beberapa kelompok masyarakat seolah mendapat dukungan atau pembenaran.
Berangkat dari kondisi tersebut, kita perlu mempertanyakan kembali hakikat media: Sudahkah media menjalankan fungsinya untuk memediasi publik? Patutkah media mengambil sikap dalam hal ini? Ataukah mereka cukup mengambil peran sebagai penyampai pesan semata? Jika iya, sudahkah mereka memberitakan hal tersebut secara faktual?
Pertanyaan ini pula yang mendorong Ardhanary Institute untuk melakukan riset mengenai persepsi media terhadap isu LGBT. Asumsi yang diketengahkan adalah adanya kepentingan lain yang mendorong media untuk memberitakan isu LGBT secara parsial. Harapannya, riset ini dapat membuka tabir mengenai agenda media yang sesungguhnya dalam pemberitaan isu LGBT. Riset mengenai persepsi media terhadap isu LGBT sedang dijalankan oleh Ardhanary Institute bersama CIPG dan akan dipublikasikan dalam waktu dekat.
sumber : http://mediarights.or.id