Pada kesempatan kali ini, penulis akan menyajikan sebuah uraian tentang “percikan” perbandingan konsep antara Driyarkara dan Sartre. Pada bagian pertama, akan dijelaskan mengenai titik tolak pemikiran Driyarkara beserta konsep eksistensi manusianya. Pada bagian kedua, baru akan dijelaskan mengenai konsep La nausea, Etre pour soi, Etre en soi, La liberte, dan L’autrui sebagai konsep yang dibangun oleh Sartre dalam rangka menjelaskan eksistensi manusia.
BAGIAN PERTAMA
Titik tolak filsafatnya: beradanya manusia di dunia ini yang bersikap member arti pada ziarahnya menuju Tuhan, Driyarkara menyoroti eksistensi manusia dalam hubungannya dengan sesamanya sebagai Homo homini socius: manusia adalah kawan bagi sesamanya, kawan yang ikut menghantarnya menuju ke pusat hidup manusia yaitu Tuhan. Sosialitas manusia ini dicantumkan oleh Driyarkara sebagai koreksi dan kritik terhadap sosialitas yang semakin memakan, yang saling membenci, sebuah sosialitas Homo homini lupus: manusia adalah serigala bagi sesamanya.[1]
Driyarkara menyoroti eksistensi manusia dalam hubungannya dengan sesama sebagaihomo homini socius: manusia adalah kawan bagi sesamanya, kawan yang membantu menjadi semakin manusiawi dan kawan yang ikut menghantarnya menuju ke pusat hidup manusia yakni, Tuhan. Singkatnya, ia meng-kritik hubungan antar manusia yang semakin memakan, yang sering membenci, yang homo homini lupus: manusia adalah serigala bagi sesamanya.
“Manusia itu adalah apa yang bersiapa dan siapa yang berapa”. Ke-siapa-an manusia diuraikan dalam rumusannya “manusia adalah makluk yang berhadapan dengan diri sendiri dalam dunianya”. […] manusia sebagai subjek atau persona yang sadar. Tanpa kesadaran manusia tidak mampu berhadapan dengan dirinya sendiri, apalagi menyadari berada dalam dunia.[2]
Manusia adalah makluk yang berhadapan dengan diri sendiri dalam dunianya. Ia menunjukkan bahwa manusia sebagai subjek yang sadar. Tanpa kesadaran manusia tidak mampu berhadapan dengan dirinya sendiri, apalagi menyadari berada dalam dunia. Dari pengalaman manusia bereksistensi, Driyarkara melihat ada tiga pola hubungan yang saling terkait. Ketiga pola itu adalah: Pertama, eksistensi manusia yang dialami sedalam dalamnya dalam hubungannya dengan Tuhan merupakan sisi religiositas manusia.Kedua, Pengalaman keberadaannya dengan sesamanya merupakan sisi sosialitas manusia. Dan, ketiga, pengalaman manusia dalam mengolah alam merupakan sisi kebudayaan.[3]
Manusia hanya dapat berkembang dan mencapai kesempurnaannya: dalam dan dengan kesatuannya dengan alam. Artinya, manusia dalam mengolah alam (dunia) harus memegang prinsip kecukupan. Dalam dan dengan kesatuannya dengan manusia lain yang mencapai puncaknya dalam hubungan Ich-Du, dan liebendes miteinander sein.[4]Artinya, manusia memandang sesamanya haruslah sebagai subjek kehidupan tanpa mengobjekkannya. Hubungannya dialogis dan timbal balik. Jika manusia sudah sampai pada hubungan yang sedemikian rupa maka ia akan dapat mencintai satu sama lain dengan penuh kasih. Dan yang terakhir, manusia hanya dapat berkembang dan mencapai kesempurnaannya dalam pengakuan akan adanya kesatuan dengan sumber segala ada, Tuhan. Mengutip apa yang dikatakan oleh Schleirmacher bahwa manusia harus memilikifeeling of dependence. Bukan hanya perasaan tapi juga kesadaran penuh bahwa manusia adalah makluk ciptaan dan memiliki ketergantungan kepada sang penciptanya.
BAGIAN KEDUA
La Nausee atau dapat diterjemahkan muak/mual merupakan sebuah roman yang dibuat untuk menjelaskan proyek eksistensi Sartre. Dalam sebuah roman yang berjudul La nausea , Sartre melukiskan bagaimana seorang dengan sekonyong-konyong menghadapi hidupnya dan keadaan-keadaan di sekitarnya sebagai sesuatu yang menimbulkan nausea atau rasa mual. Digambarkan bahwa ada seseorang yang berada di sebuah taman kota. Tiba-tiba tak disangka terbukalah baginya realitas yang sebenarnya. Bangku yang diduduki, lapangan rumput yang hijau nan menarik, pohon-pohon, bunga-bunga, apa saja disekitarnya seakan-akan diliputi awan yang menghilangkan rupa dan bentuk. Semuanya hilang artinya. Manusia berhadapan dengan keadaan yang bercampur baur tanpa aturan dan tanpa arti. Untuk memperjelas maksud dari Sartre, Driyarkara member sebuah contoh. Digambarkan sebuah keadaan pesta yang riang gembira. Begitu indahnya hiasan-hiasan yang beraneka warna. Lampu lampu yang terang benderang, lagu lagu yang berkumandang, dan segala sesuatunya sangat beraroma kebahagiaan. Aalangkah bahagianya orang yang dirayakan dengan pesta yang serba mewah itu, ialah pengantin putrid yang menunggu datangnya pengantin laki-laki. Akan tetapi bayangkanlah…sedang bahagia dan rasa riang gembira itu memuncak, sekonyong-konyong datanglah telegram dengan kabar bahwa pengantin laki-laki tergilas kereta api dan mati. Maka, bagaimanakah mempelai putrid itu menghadapi pesta itu? Semua berbalik jadi kesedihan, sedih tak terhingga.
Semua keadaan dalam pesta itu merupakan sebuah konstruksi. Demikianlah menurut Sartre, yang dibuat konstruksi bukan hanya keadaan dalam pesta itu saja, melainkan semua keadaan yang kita alami memiliki tujuan dan arti tertentu. Semua ada karena dibuat sedemikian rupa. Inti dari konsep ini adalah kehidupan manusia sebagai yang memuakkan. Mengapa demikian? Karena realita manusia merupakan konstruksi artificial. Jika manusia mendobrak konstruksi yang dibuatnya sendiri maka manusia akan mengalami dirinya dalam suatu ketertindasan, dan itulah keadaan manusia yang sebenarnya. Hidup manusia tak ada tujuannya karena tanpa aturan (amorph).
Dapatkah dikatakan bahwa manusia tanpa ketentuan, tanpa aturan sama sekali? Jika demikian berarti Sartre tidak bisa berfikir, tidak bisa mengerti, dan tidak bisa menguraikan. Karena paling tidak, manusia dapat mengerti dan mencari arti tentang realita. Sebab, orang tidak akan mengatakan kegelapan jika ia tidak mencari tahu cahaya yang terang.[5]
Etre en soi merupakan ajaran tentang realitas. Etre berarti ada atau berada, atau sesuatu yang ada. Sedangkan en-soi berarti ada benda-benda, yang ada begitu saja, tanpa kesadaran, tanpa makna (à en-soi itu diterjemahkan sebagai thingness)[6]. Yang menjadi titik tolak dari semua filsafat adalah tangkapan kita, atau apa yang kita tangkap dari realitas. Kita mengetahui bumi yang kita injak, kita mngerti tumbuh-tumbuhan, kita mengerti bahwa Tuhan yang Mahakuasa itu ada. Semua itu kita sebut realitas. Kata realitas berasal dari bahasa latin res, artinya barang atau sesuatu yang ada. Kita mengerti pohon, kita mengerti hewan, kita mengerti manusia, dan sebagainya. Semua itu berbeda beda. Jika kita sedang memandang pohon, kita tidak akan berkata bahwa yang kita pandang itu kucing. Demikian juga, manusia tidak akan kita samakan dengan pohon atau hewan. Dengan demikian, Sartre ingin mengatakan bahwa ada atau sesuatu yang berada tersebut, ia namakan dengan etre.
Untuk mengetahui en soi kita harus terlebih dulu mengetahui yang kebalikannya dari itu, yakni etre pour soi. Etre pour soi adalah pengada yang sadar akan diri sendiri. Dalam kesadarannya termanifestasi subjek dan objek. Pengada yang sadar itu menjadi subjek tetapi juga sekaligus menjadi objek. Yang berupa subjek ialah pengada yang sadar dan yang berupa objek ialah dia sendiri, sifatnya hanya sekelibat saja, sekadar disadari. Sedangkan etre en soi tidak sadar akan diri sendiri. Jadi disitu tidak ada keduaan. Tidak ada subjek dan objek. Etre en soi adalah gelap bagi dirinya sendiri. Selain itu, etre en soi juga bersifat massif, tertutup, tanpa hubungan dengan apapun juga. Jika pengada yang sadar mempunyai hubungan dengan hal lain, itu disebabkan karena dia sadar akan hal hal lain. Misalnya saja sadar akan dunia luar, tentang sesame manusia, dan sebagainya. Maka bagi etre en soi hubungan itu tidak ada sama sekali. Timbulnya etre en soi hanyalah secara kebetulan, jadi tidak memerlukan keterangan sama sekali.
Sartre menolak paham tentang Tuhan sebagai pencipta dunia ini. Ia mengatakan bahwa jika etre en soi ini diciptakan oleh Tuhan, maka etre en soi ini berasal darimana? Apakah diluar pikiran Tuhan atau di dalamnya? Jika dari dalamnya, maka belum tercipta, jika diluarnya, maka bukan ciptaan, sebab berdiri sendiri. Sartre tidak membedakan realitas sebagai realitas dan realitas sebagai idea. Karena kita dapat berkata bahwa realitas sebagai idea ada di dalam pikiran Tuhan, realitas sebagai realitas di luar Tuhan, dan diluarpun tidak melulu berarti berdiri sendiri dengan sepenuhnya.[7]
Etre pour soi berarti pengada yang sadar. Pour-soi dapat dikatakan sebagai kesadaran manusia (à pour-soi itu diterjemahkan sebagai nothingness à no-thingness).[8] Dengan etre pour soi ini, haruslah dikatakan bahwa sadar berarti sadar tentang sesuatu. Sesuatu itu adalah hal yang di luar kesadaran itu sendiri. Sadar tentu berarti sadar akan sesuatu. Jadi, sadar berarti mempunyai hubungan, sadar berarti terhubung atau berhubungan dengan. Bagi Sartre, sadar tentang sesuatu berarti meniadakan diri sendiri. Pengada yang tidak sadar bagaikan peluru yang besar, padat sama sekali. Dengan kata lain dia identik sama sekali dengan diri sendiri.
Diatas dikemukakan bahwa sadar tentang sesuatu berarti meniadakan diri sendiri, mengapa demikian? Menurut Sartre, sesuatu yang tertentu karena sadar tentang dirinya sendiri, maka bukanlah sesuatu yang tertentu itu. Dengan kata lain cara berada manusia selalu berupa peniadaan. Dalam pandangan yang demikian itu, maka kita bisa mengerti mengapa ada bagi Sartre berupa nausea atau memuakkan. Dalam pikiran Sartre kata harapan tidaklah memiliki arti. Manusia selalu meniada, dan tidak bisa tidak meniada. Jadi, tidak ada sesuatu yang bisa memberi ketetapan. Manusia sebetulnya tidak bisa membangun, demikianlah pikiran Sartre jika mau digariskan. Sartre hanya memandang satu aspek saja, yakni aspek negative. Dengan sadar, memang manusia seolah-olah menjadi dua, yakni subjek yang sadar dan objek yang disadari. Akan tetapi itu tidak hanya negatif. Dengan sadarnya manusia bahkan menjadi utuh, menjadi diri sendiri. Sartre lupa bahwa dalam berbuat itu manusia juga dapat membangun. Memang perbuatan berarti peralihan, berarti gerak. Akan tetapi, hal itu tidak berarti bahwa berbuat tidak bisa membangun[9].
La Liberte atau dapat dikatakan sebagai kemerdekaan manusia. Kemerdekaan dalam hidup manusia memiliki peran yang utama. Tanpa kemerdekaannya, manusia bukanlah manusia lagi. Dalam hal ini harus diingat bahwa Sartre menolak determinisme.[10] Sartre mengatakan bahwa jika aku menjerumuskan kesusilaanku, itu karena kemauanku. Karena jika aku tidak mau, tak berdayalah dorongan-dorongan yang ada pada badanku. Dalam hal ini Sartre juga menolak pandangan Freud. Freud mengatakan bahwa manusia tanpa diketahuinya, dapat tumbuh suatu kompleks. Sartre menanggapi pandangan Freud itu dengan mengatakan bahwa jika ada kompleks, maka manusia yang berkompleks itu bertanggung jawab atas tumbuhnya kompleks itu. Ke-apa-an manusia itu tergantung dari kemauannya, dan dari kemerdekaannya. Dengan kemauannya, dan dengan kemerdekaannya, manusia itu selalu membuat dirinya. Sebab manusia merupakan pengada yang tidak pernah identik dengan dirinya sendiri. Dia selalu membukankan dirinya. Namun Sartre menekankan bahwa manusia tidak bisa mau apa saja, seenaknya sendiri. Sebab kemerdekaan manusia terikat oleh dan dalam situasi yang tertentu. Seorang yang pincang tidak bisa menghilangkan kepincangannya. Akan tetapi, dia merdeka untuk menerima dengan sabar atau memberontak terhadap kepincangannya itu. Secara mutlak, pendirian dan sikapnya tergantung dari dia sendiri. Kesadaran akan tanggung jawab kadang-kadang menyebabkan rasa takut. Mengapa demikian? Sebab manusia dalam dan oleh kemerdekaannya itu menentukan; dia menentukan sendirian sama sekali, tanpa kawan yang dapat menolongnya. Merdeka berarti tinggal diri sendiri, kesepian yang mutlak, tanpa sesama manusia.
Sartre mengatakan bahwa tanggung jawab menyebabkan takut. Tidak mungkinkah di samping itu orang juga berani dan gembira karena dia boleh bertanggung jawab? Dalam pandangan Sartre, hidup dan kemerdekaan pada dasarnya adalah sia-sia belaka. Namun apakah pandangan ini sungguh sudah sampai ke akar-akar terdalam dari hati dan jiwa manusia?[11]
L’autrui merupakan buah pikir Sartre tentang sesama manusia. Sartre mengajarkan bahwa hubungan dengan sesame merupakan unsur yang mutlak dalam hidup kita. Ada bersama dengan yang lain merupakan suatu keniscayaan. Manusia hanya dapat mengalami dirinya sebagai manusia dengan dan dalam mengalami kebersamaannya dengan sesame manusia. Sartre berpendapat bahwa bergaul dan ada bersama itu berupa konflik yang terus menerus, karena hal itu pada dasarnya merupakan hakekat hidup kita bersama. Semua perjumpaan manusia pada dasarnya merupakan kegiatan merendahkan orang lain untuk dijadikan objeknya. Menjadikan objek artinya menjadikan barang untuk kepentingannya, untuk kepuasannya sendiri. Jadi, hidup bersama pada hakikatnya adalah mencoba memandang tanpa dipandang, mencoba makan tanpa dimakan. Dalam hubungan antar manusia, menurut Sartre, manusia hanya mempunyai dua kemungkinan, yakni menjadi subjek atau menjadi objek. Hell is other people, neraka adalah sesama manusia.
Sartre merasa bahwa pandangannya itu bertentangan dengan perikemanusiaan. Perikemanusiaan mewajibkan kita memandang sesama betul-betul sebagai sesama. Itulah kebenaran yang menentang pikiran Sartre. Untuk mengatasi hal itu, Sartre mengatakan bahwa janganlah selalu melihat kedalam, lihat saja keluar. Lihatlah tugas kita bersama. Lihatlah hari depan yang harus kita bangun. Namun jika hidup bersama itu merupakan permusuhan, bagaimanakah pernah akan mungkin saling percaya? Bagaimanakah pernah akan mungkin persahabatan? Bagaimanapun juga tampaklah dalam uraian ini bahwa filsafat Sartre berbentrokan dengan realitas.[12]
PENUTUP
Untuk mengakiri uraian tentang perbandingan konsep eksistensi antara Driyarkara dan Sartre, penulis sengaja membuatkan sebuah skema perbandingan untuk melihat sekali lagi bagaimana ciri khas dan perbedaan diantara kedua tokoh dan pemikirannya masing-masing.
[————————————————————————————————————–]
Dari skema diatas, dapat kita lihat bahwa Sartre merupakan filsuf eksistensial yang cenderung mereduksi manusia sebagai makluk yang saling mengobjekkan satu sama lain. Yang satu memangsa yang lain, mengintip tapi tak mau diintip dan sebagainya. Dari pemikiran Sartre, kita dapat menarik sebuah benang merah bahwa pandangan Sartre bernuansa negatif. Ia tidak memikirkan aspek lain dari manusia, bahwa manusia mempunyai sisi terang. Hubungan antar manusia tidaklah hanya berarti hell is other people melainkan liebendes miteinander sein. Bukan benci dan saling mengobjekkan namun sebaliknya hubungan antar manusia bisa berupa mencintai yang lain dengan penuh kasih. Hal itu tidak dilihat oleh Sartre.
Berbeda dengan Sartre, Driyarkara lebih melihat manusia sebagai makluk yang saling mengasihi satu sama lain. Ia melihat bahwa hubungan antar manusia tidaklah melulu berupa pengobjekan tapi manusia adalah kawan bagi sesamanya. Dari situ Nampak bahwa Driyarkara memiliki sisi integratif. Ia melihat manusia dari banyak segi dan dimensi. Itulah yang tidak dimiliki Sartre namun ada dalam diri Driyarkara. Sebab Driyarkara tidak hanya melihat ke dalam dirinya, namun juga ke atas, ke kanan-kiri, dan keluar dirinya. Dan semuanya itu termanifestasi dalam semua tulisannya.
DAFTAR PUSTAKA
Sudiarja, A.,eds. Karya Lengkap Driyarkara. 2006. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Hamersma, Harry. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. 1983. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Sartre, Jean-Paul. Being and Nothingness: An Essay on Phenomenological Ontology. 1965. New York:
Philosophical Library.
[1] Lih. Prof. Dr. N. Drijarkara, Percikan Filsafat, hal. 1-2.
[2] Ibid., hal 2-3.
[3] Ibid., hal 29.
[4] Ibid., hal. 48.
[5] Lih. Prof. Dr. N Driyarkara, Karya Lengkap Driyarkara, hal. 1300-1303.
[6] Lih. Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, hal. 109.
[7] Lih. Driyarkara, ibid., hal. 1303-1306.
[8] Lih. Hamersma, ibid., hal 109.
[9] Lih. Driyarkara, ibid., hal 1307-1310.
[10] Lih. Sartre, Being and Nothingness, hal. 33.
[11] Lih. Driyarkara, ibid., hal 1310-1315.
[12] Ibid., hal 1315-1318.
sumber : http://filsafat.kompasiana.com
penulis : Othinx
(Saat ini penulis sedang menempuh studi di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara…. Aktif di beberapa gerakan sosial khususnya yang berbasis Feminism and Gender equility)