Jakarta. ourvoice.or.id – Tidak banyak orang yang mengenal pria bernama Alan Turing. Namun hampir semua mahasiswa elektro atau yang mempelajari ilmu komputer pasti mengenalnya. Ia adalah ilmuwan matematika, seorang jenius asal Inggris yang merupakan peletak dasar ilmu komputasi dan ilmu komputer modern. Turing, dengan keahlian yang dimiliki membantu pemerintah Inggris dalam memecahkan kode Enigma Nazi pada saat perang dunia kedua.
Pada 1952 ia melaporkan kejadian pencurian yang dilakukan teman kencannya ke kantor polisi. Alih-alih memeriksa kasus pencurian tersebut, Alan Turing justru dikriminalkan oleh kepolisian berdasarkan Criminal Law Amendment Act 1885 section 11 karena teman kencannya adalah laki-laki. Turing diminta untuk memilih antara dihukum penjara atau hukuman percobaan dengan kewajiban mengikuti terapi berupa penyuntikan hormon estrogen untuk mengurangi libido. Turing memilih ikut terapi.
Pada 7 Juni 1954 Turing ditemukan meninggal dunia di tempat tidurnya. Di samping tempat tidurnya ditemukan sebutir buah apel bekas gigitannya yang mengandung racun sianida. Penyelidik menyimpulkan bahwa Alan Turing meninggal dunia karena bunuh diri.
Logo apel tergigit diyakini sebagai penghormatan kepada Turing, tapi Steve Jobs dan Steve Wozniak menyangkalnya. Namun mereka mengakui Alan Turing berkontribusi besar terhadap kemajuan tehnologi komputer dan ponsel pintar.
Inggris menghapus hukum yang mengkriminalkan homoseksual tahun 1967.
Bullying
Sebuah studi pernah dilakukan oleh Brian Mustanski, peneliti dari Universitas Northwestern, Chicago, Illinois dan diterbitkan dalam American Journal of Preventive Medicine pada bulan Februari 2012. Terungkap bahwa 94 persen remaja LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) yang menjadi responden pernah mengalami setidaknya dicemooh, diludahi, dirusak barangnya, diancam atau bahkan diserang. 31,3 persen dari remaja ini pernah mencoba bunuh diri.
September 2011, James Rodemeyer, seorang remaja berusia 14 tahun memutuskan untuk mengakhiri hidupnya setelah tak sanggup menghadapi ejekan atau bully terus menerus karena preferensi seksualnya.
Di awal tahun ini, Eric James Borges, seorang remaja berusia 19 tahun, bunuh diri tepat sebulan setelah memfilmkan pengakuannya dan berkampanye untuk tidak berhenti menyerah yang ditujukan kepada kaum muda LGBT lainnya. Dalam video tersebut Borges secara terbuka menyatakan bahwa tiap hari ia diserang baik secara mental dan fisik karena orientasi seksualnya. Ia pun menceritakan bagaimana ibunya memanggil dukun pengusir setan untuk ‘menyembuhkannya’ sebelum kemudian mengusirnya dari rumah.
Meski belum ada dokumentasi yang lengkap, diskriminasi, persekusi dan kekerasan juga kerap dialami oleh remaja LGBT di Indonesia. Dalam sebuah studi yang dilakukan tahun 2010, Institut Ardhanary menemukan bahwa sembilan dari sepuluh LBT yang mereka wawancarai pernah mengalami kekerasan baik psikis maupun fisik. Pelakunya bisa berasal dari keluarga, aparat penegak hukum hingga masyarakat umum.
Penerimaan Diri
Secara psikologis, dampak yang paling sering dirasakan oleh korban kekerasan adalah depresi, stres, rendah diri dan bahkan keinginan untuk bunuh diri. Oleh karena itu, salah satu rekomendasi utama dari studi yang dilakukan oleh Mustanki adalah pentingnya membangun sebuah mekanisme pendukung bagi kaum remaja LGBT. Mekanisme untuk mengurangi kekerasan, diskriminasi dan angka bunuh diri. Selain dukungan dari keluarga dan lingkungan sekitar, juga penting untuk meningkatkan kepercayaan diri remaja LGBT.
Tak dapat dimungkiri, pada titik itulah Lady Gaga memiliki peran dan berkontribusi besar. Tahun lalu, Trevor Project, sebuah organisasi Internasional yang fokus pada kampanye advokasi LGBT dan anti bullying memberikan penghargaan buatnya. Bersama ibunya, ia pun mendirikan sebuah yayasan yang menargetkan pemberdayaan kaum remaja agar menjadi lebih percaya diri, berani, kuat dan penuh toleransi. Nama yayasan tersebut diambil dari salah satu judul lagunya yang juga kemudian dipakai sebagai judul tur keliling dunianya yakni “Born This Way”
Dalam lagu tersebut Lady Gaga menekankan pentingnya menjadi diri sendiri tanpa harus takut dan rendah diri. Lirik lagu tersebut juga mempromosikan toleransi serta penghargaan atas perbedaan.
Maka harap diingat, tatkala Anda mungkin merasa telah mengambil keputusan paling bijak dan benar dengan melarang Lady Gaga konser di Indonesia, bisa jadi Anda ikut andil “membunuh” semangat dan kepercayaan diri kaum remaja. Atau bisa jadi Anda telah secara tak langsung ‘membunuh’ Alan Turing masa depan.
Bagi saya, saat seorang remaja memutuskan bunuh diri atau menutup diri karena tak sanggup menghadapi diskriminasi dan kekerasan yang tinggi dari lingkungan sekitarnya, sesungguhnya kita semua berhutang kehidupan padanya.
Tunggal Pawestri
aktivis perempuan dan anggota klub Feminist Queer Menulis
Note: Tulisan ini telah dimuat di Koran Tempo – 24 Mei 2012