Iran masuk media internasional karena pemerintah negara Islam Syiah itu menyediakan dana khusus untuk operasi kaum transgender. Menurut para ulama Iran, Allah tidak menganggap transgender dosa. Indonesia adalah negara berpenduduk Islam terbesar di dunia. Pengalaman kelompok transgendernya berbeda.
Hartoyo, aktivis Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender LGBT Indonesia, mengkritik sikap Iran ini. Baginya yang terjadi adalah negara memaksa para transgender untuk dioperasi, menjadi wanita atau pria. “Negara masuk ranah pribadi, rakyatnya dipaksa memilih jenis kelamin laki-laki atau perempuan,” demikian Hartoyo.
Ada unsur paksaan, karena tidak semua waria mau ganti kelamin. Hartoyo menganggap ini pelanggaran hak asasi manusia.
Menyalahi kodrat
“Sebenarnya kami diterima secara kultural dalam masyarakat, tapi posisi kami semakin hari semakin rentan oleh ulah polisi moral yang dengan doktrin agama mereka melakukan tindakan kekerasan terhadap komunitas waria,” demikian Luluk Azyra yang aktif dalam Sanggar Waria Remaja.
Ia setuju dengan kritik terhadap negara yang mewajibkan ganti kelamin, ini adalah pelanggaran hak asasi yang bersangkutan.
Seharusnya Islam toleran terhadap transgender. Tapi dengan penafsiran yang berbeda dan salah, serta fundamentalisme yang semakin tinggi, teman-teman waria semakin dianggap salah karena menyalahi kodrat. Mereka harus dibinasakan.
“Itulah ucapan-ucapan kasar yang digembar-gemborkan oleh ormas-ormas Islam fundamentalis, padahal Islam adalah agama yang melindungi kami,” demikian Luluk.
Show off
Di Indonesia tidak ada dana khusus pemerintah, jadi tidak ada paksaan. Memang kalau dibandingkan dengan kaum gay atau lesbian, waria lebih bisa diterima masyarakat di Indonesia. “Mereka lebih show off,” tutur Hartoyo. Namun para transgender paling didiskriminasi, karena penampilannya tidak bisa menutupi identitasnya.
“Kalau gay masih bisa menutup diri dengan penampilan seperti laki-laki, para transgender terbuka, mereka sering mendapat diskriminasi. Padahal di Indonesia kita jumpai keragaman seksualitas, gay, lesbian dan transgender diakui keberadaannya dalam masyarakat tradisional, misalnya Bugis, yang mengenal fenomenabissu.
Bissu
Sirtjo Koolhof adalah peneliti Belanda yang mendalami posisi kaum bissu dalam masyarakat Bugis. “Bissuadalah semacam imam. Mereka laki-laki yang berperan sebagai wanita. Tugas mereka penting dalam masyarakat tradisional Bugis. Mereka bertanggung jawab atas harta pusaka para raja Bugis.”
Para bissu menjadi perantara antara surga dan dunia. Mereka memiliki posisi terhormat. Itulah sebabnya para transgender dalam masyarakat Bugis menamakan diri mereka bissu, padahal mereka tidak memiliki jabatan ritual ini.
Dengan posisi terhormat para bissu, tidaklah berarti mereka bebas diskriminasi. Para pejabat agama dan pemerintah kadang kala mengadakan razzia di kalangan para bissu kalau mereka merasa didesak oleh kelompok agama, yang menganggap transgender melanggar moral.
Dimanfaatkan parpol
Sesepuh pergerakan LGBT Indonesia, Dédé Oetomo, melihat sikap kalangan Islam terhadap transgender di Indonesia lebih bervariasi. Ada pesantren waria, pengajian waria, tapi ada juga transgender yang dimanfaatkan oleh partai politik untuk berkampanye.
“Waria diterima terbatas, dalam praktek sehari-hari sikap ini berarti asalkan jangan anak sendiri yang transgender,” demikian Dédé.
“Kalau ormas fundamentalis berkuasa dan Indonesia bukan negara bhineka lagi, karena dijadikan seperti negara Arab, maka saya khawatir kami akan dibumihanguskan dan tidak ada lagi,” ujar Luluk Azyra dari Swara.
“Diskriminasi dan kekerasan akan dilegalkan,” jelasnya lagi. Karena itu dia bertekad berjuang menentangnya.
sumber : http://www.rnw.nl