Tanti Noorsaid*
Baru-baru ini, Menteri agama, Surya Dharma Ali, menyatakan bahwa dirinya tidak akan mengabulkan usul untuk melegalisasi pernikahan sesama jenis di Indonesia. Beliau juga menyatakan bahwa akan tetap mempertahankan definisi pernikahan yang diambil dari hukum pernikahan No.1 tahun 1974 yang menyatakan bahwa pernikahan hanyalah bagi pasangan laki-laki dan perempuan. Pernyataan ini jelas mendiskriminasi keinginan pasangan sesama jenis yang ingin mensahkan hubungannya ke jenjang pernikahan. Dalam hal ini dapat disinyalir dengan jelas adanya keengganan dari Bapak menteri untuk menawarkan diskusi dan negosiasi terhadap kelompok-kelompok yang mengajukan usul ini.
Kelompok yang menginginkan adanya perubahan dalam undang-undang pernikahan sehingga ada peluang kesetaraan bagi kelompok homoseksual ini antaranya adalah Komnas Perempuan, dan beberapa ormas lainnya. Kelompok ini tidak melakukan kekerasan, merusak fasilitas umum atau membuat kerusuhan-kerusuhan. Justru, kelompok ini memperjuangkan kesamaan hak yaitu memiliki hubungan yang lebih stabil dengan jalan menikah seperti juga pasangan heteroseksual. Tetapi mengapa bahkan ruang untuk bertanya, mendiskusikan atau mencari tau lebih dalam tidak dilakukan oleh Bapak Menteri agama? Dan mengapa kementerian agama harus menangangi masalah gender dan seksualitas seperti ini?
Tindakan yang dilakukan oleh Bapak Suryadharma, bukannya mendiskusikan hal ini terhadap kelompok terkait yang berkepentingan, namun beliau justru mengunjungi para ulama untuk menyamakan persepsi. Pertanyaan saya, kapan demokrasi di Indonesia akan terjadi, jika penguasa, yang dalam hal ini menganut heteronormatif (pandangan bahwa yang benar hanya heteroseksual), malah berkonsolidasi dengan para pemuka agama Islam yang setuju bahwa pernikahan itu hanya haknya kelompok heteroseksual saja. Selain itu Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga memperkuat tindakan menteri agama ini dengan menyatakan dan saya mengutip, “Kami menolak diskusi tentang pernikahan gay, bahkan jika itu hanya wacana.”
Oleh sebab itu, ini adalah saat yang sangat tepat untuk mendiskusikan fungsi, maupun bahayanya sebuah kekuasaan yang absolut didalam masyarakat. Bukan hanya heteronormatif-nya saja yang menjadi isu. Namun agama sendiri menduduki posisi “holy” atau sakral di Indonesia, sehingga tidak dapat dibantah. Sampai di posisi bahwa agama itu sakral, sebagai seorang yang dilahirkan dan dibesarkan oleh tradisi NU dan Muhammadiyah yang sangat kental, saya masih sangat dapat mengerti.
Namun kementerian agama maupun MUI, itu hanyalah buatan manusia saja, yang kebetulan menganut agama Islam dan nilai-nilai heteronormatif. Lalu karena mayoritas masyarakat Indonesia adalah Islam, apakah lantas kementerian agama menjadi kementerian agama Islam? Apakah jika mayoritas masyarakat mengaku heteroseksual, lantas kelompok yang tidak heteroseksual tidak memiliki kepentingan yang patut didengar dan diakomodasi? Apakah masyarakat tidak selayaknya mempertanyakan keabsolutan peran dan posisi organisasi agama dalam masyarakat?
Hampir disetiap masalah tarik menarik kekuasaan dalam kancah politik Indonesia, yang kita tentu saja tidak surprise, selalu di menangkan oleh kaum mayoritas. Ini saat yang tepat untuk melirik ke teori dari Foucault. Menurut Foucault, kekuasaan (power) ini bukan hanya didukung oleh wacana budaya yang disakralkan, namun juga praktek-praktek sosial yang memiliki kekuasaan tersembunyi (Bernauer, 2004). Dalam hal ini, akumulasi ataupun kultivasi kekuasaan sebuah departemen atau MUI telah mencapai kesakralannya dalam masyarakat yang mempraktekkan hanya diperbolehkannya pernikahan heteroseksual.
Lantas, dimana ruang untuk pasangan sesama jenis. Apakah mereka kemudian hanya dapat bersembunyi dibalik kamar dan menuruti penguasa dan mayoritas penganut hubungan heteroseksual lainnya. Atau mereka harus menikah secara heteroseksual juga seperti banyak kasus yang ada dan kemudia diam-diam menjalin hubungan diluar nikah dengan sesama jenis? Atau berimigrasi ke negara-negara seperti Eropa sehingga mereka akhirnya dapat diakui sebagai manusia yang memiliki hak untuk membina rumah tangga juga?
Jika seperti itu adanya, mengapa Bhinneka Tunggal Ika itu ada? Mengapa kita menggembar-gemborkan toleransi? Ataukah toleransi itu juga mengundang pengecualian untuk kelompok-kelompok yang kita tidak suka dan hanya merangkul kelompok yang kita suka? Maka toleransi ini pun adalah sebuah power yang tersembunyi tapi kuat menggigit yang tidak disukainya.
Sumber
• Bernauer, James, 2004. Michel Foucault and Theology. The Politics of religious experience. Ashgate Publishing group.
• Tempo.co, April, 2012. Suryadharma: Ada upaya melegalkan pernikahan sesame jenis.
• The Jakarta Post, April 12, 2012. Minister says no to same-sex marriage
*Antropolog seksual, lulusan Program Master Antropologi, University of Amsterdam, Belanda.
Hereby, link to my picture in Facebook. https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10150578156437732&set=a.10150578155432732.394062.768822731&type=3&theater