JAKARTA: Pengusiran paksa dan pembungkaman oleh negara maupun pihak non-negara terhadap pegiat advokasi perlindungan hak-hak lahan serta lingkungan dilaporkan ke mekanisme periodik internasional PBB yakni The Universal Periodic Review (UPR), yang akan digelar pada Mei hingga Juni nanti.
Hal itu disampaikan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Pembela HAM dalam laporan alternatif mengenai masalah-masalah para pembela HAM di Indonesia.
Laporan itu disampaikan untuk The UN Universal Periodic Review for Indonesia sesi ke-13 yang akan berlangsung pada 21 Mei-4 Juni 2012.
UPR merupakan mekanisme unik dari PBB yang dimulai sejak 2008 untuk melihat sejauh mana praktik-praktik HAM di seluruh negara yang dilakukan setiap 4 tahun.
Indonesia adalah salah satu dari 14 negara yang akan dilihat melalui mekanisme tersebut, selain sejumlah negara lainnya macam Brasil, Filipina dan Tunisia.
Laporan alternatif itu menyampaikan sedikitnya tujuh situasi tentang masalah yang dihadapi pegiat advokasi HAM berdasarkan kasus maupun kategorinya.
Salah satunya adalah mengenai pembungkaman dan pengusiran paksa terhadap pembela hak-hak tanah serta lingkungan.
Masalah lainnya adalah impunitas pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib; kriminalisasi dan pembunuhan wartawan Indonesia; penyerangan terhadap aktivis yang membela hak-hak Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender dan Interseks (LGBTI).
Kemudian ancaman terhadap pembela anti-korupsi; stigmatisasi serta ancaman terhadap pembela kebebasan beragama dan keyakinan; dan stigmatisasi sebagai separatis terhadap masalah Papua.
“Ancaman terhadap pembela masalah hak-hak lahan dan lingkungan terus berlanjut, terutama dilakukannya penangkapan yang sewenang-wenang dan tuduhan defamasi,” ujar Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar di Jakarta, Rabu 25 April 2012.
“Pelakunya diduga dilakukan oleh aktor negara maupun non-negara, biasanya yang dibayar untuk melindungi kepentingan korporasi.”
Laporan tersebut bertajuk Shadow Report on the Situation of Human Rights Defenders in Indonesia for the 13th Session of the UN Universal Periodic Review for Indonesia.
Koalisi itu sendiri terdari dari 14 organisasi sipil, di antaranya adalah Indonesia Corruption Watch (ICW), Human Rights Watch Group (HRWG), dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Kepentingan perusahaan
Menurutnya, para pembela HAM yang bekerja untuk mendampingi masyarakat lokal itu seringkali melihat bagaimana pelanggaran dilakukan melalui pencaplokan lahan serta polusi terhadap lingkungan.
Namun, sambung Haris, justru para penegak hukum melindungi kepentingan perusahaan daripada memproteksi kelompok sipil yang yang mempertahankan hak ekonomi, sosial dan budaya mereka.
Laporan itu menyebutkan sejumlah contoh di antaranya adalah aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Berry Nahdian Forqan dan Erwin Usman yang ditahan kepolisian karena melakukan demonstrasi dalam acara The World Oceans Conference-Coral Triangle Initiative di Manado, Sulawesi Utara. Kejadian itu berlangsung pada 9 Mei 2009.
Selain itu, pada November 2010, aktivis Eva Bande, yang mendampingi para petani di Sulawesi Tengah untuk meminta kembali lahan mereka dari perusahaan, ditahan dan dihukum karena dianggap melakukan penghasutan.
Haris memaparkan para pembela HAM dalam kasus pendampingan petani maupun komunitas seringkali mendapatkan intimidasi, tuduhan pidana dalam upaya melawan sejumlah perusahaan perkebunan maupun pertambangan.
Laporan alternatif tersebut juga memaparkan sejumlah upaya untuk membungkam para pembela HAM adalah defamasi, penangkapan sewenang-wenang, intimidasi melalui telepon, SMS maupun verbal, kekerasan fisik.
Selain itu ada pula macam penghancuran properti, pencurian data, stigmatisasi, restriksi atau pemberangusan serikat.
“Kami merekemondasikan agar dilakukan kembali investigasi secara efektif atas terjadinya pelanggaran HAM terhadap pegiat hak asasi serta pelakunya di bawa ke pengadilan,” kata Haris. (bsi)
sumber : www.bisnis.com