Search
Close this search box.

”Malu” dan ”Dukungan Sosial” Dalam Konteks Homoseksualitas

Foto: Facebook Wisnu

Wisnu Adihartono*

Saya pernah membaca sebuah catatan Dédé Oetomo tentang homoseksualitas, bahwa ”malu” adalah sebuah konteks yang menjadi masalah besar bagi kelompok homoseksual di Indonesia. Malu menjadi gay, lesbian, dan transgender, menurut saya adalah hal yang sangat wajar karena di Perancis pun, masih ada sebagian gay dan lesbian yang juga masih malu mengungkapkan diri mereka sendiri. Konsep ”malu” dalam konteks ini diakibatkan oleh norma heteroseksualitas yang men-stereotipkan maskulin dan feminin sehingga diluar dua hal itu, tidak ada ”kelompok” lain yang eksis.

Namun bagaimana melihat ”malu”/shame (bahasa inggris)/la honte (bahasa perancis) dalam konteks yang sebenarnya? Subyek emosi tidak hanya dipelajari oleh para psikolog, tetapi juga analisa oleh para sosiolog (terutama sosiolog yang mempelajari psikologi sosial), antropolog, teolog, linguis, sejarawan, penggiat naskah-naskah klasik, bahkan primatolog.

Malu sangat terkait erat dengan perasaan sakit, karena menjadi malu adalah keadaan dimana seseorang dihakimi di depan publik dalam bentuk fisik dan psikologis. Hasilnya adalah muncul tiga reaksi yang paling sering ada, ketakutan, penderitaan, dan kemarahan. Kemarahan adalah bentuk paling ekstrem untuk membentuk autoproteksi dalam diri manusia. Bedakan dengan rasa ”perasaan bersalah”/”guilty” yang hadir sebelum melakukan sesuatu setelah diberitahu berulang-ulang, misalnya sebelum A ingin mengaku dirinya gay/lesbian, banyak orang disekelilingnya yang memberitahu bahwa pengakuan akan membuat keluarga inti kecewa, sehingga A tidak jadi mengaku dan akhirnya A merasa bersalah menjadi seorang gay/lesbian. Menjadi malu hadir setelah melakukan sesuatu, misalnya setelah A mengaku, keluarga dan teman-teman menjadi sangat kecewa dan pada akhirnya A menjadi malu (Schneider: 1987, p. 198). Tetapi terkadang masyarakat selalu mencampuradukkan ”perasaan bersalah” dan ”malu” dalam satu garis lurus.

Dalam literatur ”malu”, dibedakan antara ”malu dari luar”/”external shame” dan ”malu dari dalam”/”internal shame”. ”Malu dari luar” berhubungan dengan pemikiran dan perasaan tentang bagaimana seseorang ada di dalam pikiran orang lain (Gilbert&Procter: 2006, p. 353-354). Sedangkan ”malu dari dalam” berhubungan dengan pemikiran dan perasaan menghakimi diri sendiri (Gilbert: 1997, p. 120 – 121). Perasaan ”malu dari luar” memiliki hubungan erat dengan konsep stigma oleh sosiolog Amerika, Erving Goffman.

Secara umum, ia menyebutkan bahwa stigma adalah atribut yang didiskreditkan kepada seseorang secara sosial. Seseorang yang terstigma adalah hasil dari penurunan/”reduce” pemikiran orang tentang mereka, sehingga orang yang terstigma menjadi orang yang tercemar dan tidak diperhitungkan (Goffman: 1963, p. 3). Perasaan ”malu dari dalam” selalu terkait erat dengan bagaimana pengalaman-pengalaman dirinya dapat merusak identitas diri. Pengalaman yang ada biasanya termasuk dalam perasaan menilai diri sendiri. ”Malu dari dalam” selalu berdampak kepada perasaan ”buruk dari dalam”/”inherently bad” dan ”cacat”/”flawed” (Kaufman: 1996, p. 17-18.).

Homoseksualitas sebagai hal yang distigmatisasi publik selalu membawa dampak malu yang ekstrem, karena ia di”sinyalir” sebagai kegiatan/”act” yang tidak diinginkan, anormal, dan lebih jauh lagi, sesuatu yang sangat tragis.

Pertanyaan selanjutnya, apa yang diperoleh seorang homoseksual ketika ia merasa malu?
Menurut pengamatan saya, ketika perasaan ”malu” itu ada, biasanya ada satu kekhawatiran sendiri bahwa mereka tidak akan lagi mendapatkan dukungan sosial/”social support” dari siapapun (keluarga, sahabat, rekan sekerja, dan lain-lain). Padahal dukungan sosial sangat diperlukan dalam konteks penguatan diri karena di dalam sebuah hubungan sosial terjadi interaksi-interaksi yang saling silang.

Sebuah dukungan sosial mensyaratkan adanya kekuatan antara pihak yang mendukung dan pihak yang didukung, sehingga tercipta kondisi timbal balik didalamnya. Banyaknya literatur Dukungan Sosial mencatat bahwa sebuah dukungan sosial dapat diberikan dalam bentuk materi, seperti pemberian bantuan uang, bentuk informasi, seperti pemberitahuan adanya sebuah lowongan kerja di sebuah perusahaan X, bentuk fisik, seperti pemberian bantuan sandang, pangan dan papan, dan bentuk mental, seperti pemberian semangat.

Bagi gay, lesbian, dan transgender, menurut saya, bentuk dukungan sosial yang pertama seharusnya dilakukan adalah bantuan dukungan mental. Malu menjadi seorang seorang homoseksual adalah sebuah keadaan berat dimana mereka harus mengakui keadaannya terhadap keluarga, teman, kerabat kantor, dan lain sebagainya. Menjadi seorang homoseksual, bagi sebagian orang, adalah aib. Aib bagi dirinya (malu dari dalam) dan aib bagi orang lain (malu dari luar).

Oleh karena itu, ”ada disana”/”being there” bagi seorang homoseksual, sejatinya perlu dilakukan. Konsep ”ada disana”/”being there” adalah sebuah keadaan dimana yanh mendukung memberikan dukungannya; juga ingin dan mampu untuk membantu seseorang yang memerlukan dukungan. Saya tidak menghakimi seorang homoseksual sebagai individu yang rentan dan rapuh. Tetapi menjadi seorang homoseksual ditengah-tengah dunia yang ditimbuni oleh konstruksi heteronormativitas, adalah berat.

Tidak ada salahnya berteman dengan seorang homoseksual dan memberikan bantuan dan dukungan secara mental untuk menjadikannya kuat luar dan dalam. Analogikan saja apabila ada kerabat yang sedang tertimpa musibah sangat berat. Pemberian dukungan apapun kepada kerabat, akan memberikan semangat baru untuk menjalankan kehidupannya sehari-hari.

Sejatinya saling mendukung dalam hal apapun adalah tugas yang sangat mulia!

Daftar bacaan :

Schneider, Carl D., ”A Mature Sense of Shame”. Dalam D. LNathanson (ed.), The Many Faces of Shame, New York, Guilford Press, 1987

Gilbert, Paul&Procter, Sue, ”Compassionate Mind Training for People with High Shame and Self-Criticism; Overvie and Pilot Study of a Group Therapy Approach”. Dalam jurnal Clinical Psychologu and Psychotherapy, Vol. 13, Issue 6, 2006

Gilbert, Paul, ”The Evolution of Social Attractiveness and Its Role in Shame, Humiliation, Guilt and Therapy”. Dalam jurnal British Journal of Medical Psychologu, Vol. 70, Issue 2, 1998

Goffman, Erving, Stigma: Notes on the Management of Spoiled Identity. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1963

Kaufman, Gershen, The Psychology of Shame: Theory and Treatment of Shame-Based Syndrome (2nd ed.), New York, Springer Publishinh Company, 1996

*Sedang studi di École des Hautes Études en Sciences Sociales (EHESS) Marseille