Jakarta.ourvoice.or.id – Waktu menunjukkan pukul 02.20 WIB, aku belum juga bisa tidur dengan tenang. Aku masih teringat dengan pernyataan seorang pemateri (fotografer) disesi workhsop Festival Jurnalisme Warga, yang diadakan oleh Tempo Institute Indonesia di Museum Nasional, Sabtu(14/4/2012).
Aku segera bangun dan menuliskan “ketidaktenanganku” terhadap sikap pemateri itu. Ketika aku tanya dengan teman yang duduk disebelahku, katanya si pemateri bernama Gunawan dari Tempo. Aku cari nama tersebut dideretan team redaksi di majalah Tempo, tapi tidak menemukan nama Gunawan.
Aku tidak mencari tahu siapa sebenarnya pemateri ini, yang aku kategorikan sebagai fotografer “transphobia” (ketakutan pada kelompok transgender). Dia beberapa kali menyatakan karya fotonya dipublikasikan Tempo dan menang dibeberapa festival foto. Tidak jelas yang dimaksud, apakah majalah tempo atau koran tempo.
Ketidaktenanganku disebabkan saat salah seorang pemateri sesi fotografi dengan “pede” nya menyatakan ketakutan dengan “Bencong”, sebutan yang dia berikan. Pernyataan itu dilontarkan, saat dia menampilan karya foto kehidupan prostitusi Waria di kawasan Taman Lawang, Jakarta Pusat. Dia bahkan menyatakan, dirinya lebih takut dengan “Bencong” daripada hunting foto untuk kasus “ilegal logging” di hutan. Tentunya pernyataan itu diikuti tawa sang peserta. Sesuatu yang dianggap lucu!
Aku tidak tahu apakah ada peserta lain, selain aku yang merasa sangat terganggu dengan pernyataannya itu. Walau diakhir sesi sang moderator (Sunudyantoro) yang juga jurnalis Tempo, menegaskan bahwa seorang jurnalis tidak dibenarkan memberikan “label” pada kelompok tertentu. Atas dasar apapun, termasuk keyakinan agama, orientasi seksual dan identitas gender. Pernyataan sang moderator sedikit “meredam” kekecewaanku.
Aku yang bekerja untuk isu keberagaman seksualitas dan identitas gender, kejadian ini tentu sangat menganggu sekali. Mengapa fotografer “sekelas” media Tempo mempunyai sikap seperti ini, pikirku saat itu.
Akupun langsung menuliskan kekecewaanku dalam akun twitterku @HartoyoMdn dengan isi :
” Payah nih wartawan,sekelas tempo masih homophobia dan gak sensitif pada orang-orang miskin”. Tidak beberapa lama, direspon oleh akun twitter @Kucing : “Banyak kan pak orang homophobia, saya dulu salah satunya”.
Selain persoalan transgender, si pemateri menurutku dari foto yang dipresentasikan masih ada beberapa masalah, khususnya dalam soal sensitifitas pada yang marginal. Misalnya karya fotonya kurang memperhatikan dampak “terburuk” pada kelompok marginal yang menjadi “objek” foto setelah karya dipublikasikan. Mungkin karya-karya fotonya sangat baik dari segi teknis dan pesan. Tetapi itu saja tidak cukup. Menurutku seorang jurnalis juga harus mempertimbangkan hal yang lain, misalnya apa dampak terburuk bagi “objek” setelah karya foto dipublikasikan? Terutama bagi kelompok yang lemah.
Contohnya, ketika kita mengambil angle foto pedagang asongan yang berjualan dikawasan larangan berjualan. Mungkin secara teknis foto dan pesan sangat kuat, tetapi apakah seorang jurnalis memikirkan bagaimana dampak ketika karya foto itu dipublikasikan? Menurutku sangat mungkin sekali para pedagang asongan ataupun orang-orang kecil akan “dibersihkan” dari kawasan tersebut oleh penguasa ketika foto dipublikasikan oleh media. Apakah sebagai seorang jurnalis (apapun medianya) yang baik tidak memperhatikan hal-hal tersebut?
Menurutku, seorang jurnalis memang dituntut untuk menghasilkan karya yang secara teknis baik dan mempunyai pesan yang kuat. Sehingga karya itu dapat memberikan perubahan cara pandang publik khususnya para pengambil kebijakan. Tetapi jauh dari itu, sensitifitas, keberpihakan pada yang terpinggirkan juga tidak kalah penting dalam menghasilkan karya jurnalis. Hal ini sesuai dengan apa yang ditulis oleh Bill Kovach & Tom Rosenstiel dalam buku The Elements of Journalism (2001), diantaranya elemen 2 dan 9, seorang jurnalis harus loyal pada warga (khususnya yang marginal) dan mendengarkan hati nurani bukan netral. Karena dengan perpaduan antara skill, rasa, cinta dan keberpihakan akan menghasilkan karya jurnalis yang “hidup dan bernyawa”. Tanpa perlu mengorbankan mereka yang sudah “kalah”. (Hartoyo)