Jakarta.ourvoice.or.id – Ketika Menteri Agama Suryadharma Ali (SDA) menuduh lembaga Komnas Perempuan dan kelompok feminis sebagai gerakan yang ingin melegalkan pernikahan sejenis dalam Undang-Undang Perkawinan. Disaat bersamaan di studio 21 sedang ditayangkan sebuah film yang bercerita tentang kehidupan kelompok Lesbian,Gay,Biseksual,Transgender dan Transeksual (LGBT) di Jakarta. Film ini berjudul Sanubari Jakarta. Film yang diproduseri oleh artis Lola Amaria merupakan gabungan 10 film pendek.
Dalam film Sanubari Jakarta, digambarkan tentang pergulatan bathin seorang LGBT yang tinggal di Jakarta. Dari mulai ketidakjujuran pada diri sendiri, takut mengungkapkan rasa cinta, pergantian alat kelamin, sampai soal pernikahan heteroseksual yang penuh dengan kebohongan. Film itu menampilkan bagaimana sulitnya pasangan sejenis yang tidak diakui di Indonesia, sehingga tidak tahu harus bagaimana kedepannya. Hidup dalam kebingungan dan ketakutan sebagai identitas dirinya sendiri.
Sanubari Jakarta, walau masih terkesan lambat dan datar alur ceritanya, tetapi umumnya berhasil menampilkan fakta yang terjadi yang dialami oleh kelompok LGBT di Indonesia. Gambaran seorang LGBT yang takut dan harus berbohong pada diri sendiri maupun keluarga. Berangkat dari pernyataan Menag, padahal kelompok LGBT bisa saja orang-orang terdekat dari Menag SDA sendiri, orang tuanya, anaknya, adiknya maupun cucunya. Bahkan mungkin saja SDA sendiri. Seperti yang dituduhkan pada seorang Habib di Jakarta.
Dalam konteks pelarangan perkawinan sejenis, Menag sedang memaksa kelompok LGBT harus mengikuti apa yang diinginkan oleh negara, salah satunya keinginan SDA. SDA sebagai muslim sekaligus pejabat publik seolah-olah punya otoritas penuh untuk memaksa setiap orang mengikuti hasrat dan praktek seksual sesuai apa yang dia inginkan. Dan ironisnya semua itu atas nama ajaran agama dan Tuhan. Kalau dilihat lebih jauh sikap SDA sebagai seorang manusia, sudah melebihi tindakan Rasulllah SAW dan menempatkan diri sebagai Tuhan. Punya hak untuk mengatur tubuh (baca: seksualitas) orang lain.
Padahal argumentasi Menag menolak perkawinan sejenis, jelas pandangan subjektif dirinya sebagai seorang muslim. Tentu kita sebagai seorang muslim boleh sependapat dengan Menag tetapi juga bisa berbeda pandangan. Karena berbeda pandangan dalam ajaran Islam bukan sesuatu yang “haram”, termasuk persoalan perkawinan homoseksual. Dan yang penting Indonesia bukan negara Islam dan tidak berdasarkan pada pandangan keagamaan ala Menag.
Jika berangkat dari kerangka hak asasi manusia (HAM), perkawinan sejenis merupakan bagian dari HAM. Bahkan menjadi hak yang paling hakiki dari manusia, seperti hak beragama. Semestinya Menag, SDA memikirkan bagaimana menghentikan praktek poligami dan perkosaan anak atas nama perkawinan, yang jelas tindakan kekerasan dan diskriminatif pada perempuan. Daripada Menag “usil” melarang kelompok homoseksual untuk menaburkan cinta dan kasih pada orang yang dicintai. (Hartoyo)