Search
Close this search box.

Feminin, Makna dan hirarki dalam sistem masyarakat

Foto: google.com

Tanti Noorsaid*

Ketika menggeluti gender dan seksualitas, maka pendefinisian perempuan dan laki-laki dan apa yang menentukan definisi tersebut dalam konteks sex dan gender tidaklah dapat dilewatkan begitu saja. Selain dari perempuan dan laki-laki dan pendefinisiannya menurut biologi dan sosial, ternyata ada dua konsep lagi yang terkait erat, yang sifatnya (meminjam dasar teori struktural dari seorang filosof dan antropolog Lévi-Strauss) sangat biner atau berpasangan, yaitu maskulinitas dan femininitas.

Konsep-konsep yang telah saya sebutkan diatas, memiliki banyak pengertian dari berbagai ahli teori sosial yang telah tersosialisasi dengan luas. Tinggal bagaimana kita menggunakannya sesuai dengan yang kita yakini dan, tentu saja, harus diaplikasikan sesuai dengan konteks permasalahan. Dalam antropologi, kerap digunakan pendekatan emik, yaitu peneliti menggunakan konsep yang digunakan oleh orang atau kelompok yang menjadi subjek dalam sebuah kasus. Dengan menggunakan pendekatan emik, peneliti diharap mampu untuk menelaah sebuah gejala sosial dengan cara memahami cara subjek tersebut dalam memandang permasalahan.

Keinginan saya untuk mengajak teman-teman turut berfikir dan menganalisa konsep-konsep yang saya sebutkan diatas tidaklah terlepas dengan kejadian sehari-hari yang ada disekeliling kita. Contohnya saja, suatu hari, saya dikagetkan dengan sebuah artikel yang membahas mengenai pernyataan dari seorang VJ MTV Indonesia, Daniel Mananta, yang meminta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk membatasi adanya cowok yang keperempuan-perempuanan di TV.

Pernyataan Daniel Mananta ini, adalah sebuah reaksi terhadap laporan dari Aliansi Masyarakat Peduli Acara Televisi Indonesia (AMPATI) terhadap tindakan melecehkan yang dilakukan juri Indonesian idol, Anang Hermansyah dan Ahmad Dani. Selain itu pendapat dari seorang ahli, Professor Richard Ryan dari University of Rochester di New York juga digunakan. Pendapatnya yaitu, bahwa sebagian besar kaum homophobia tidak dapat menerima seksualitas mereka, maka mereka akan melakukan dorongan untuk menyerang kaum homoseksual karena rasa takut hasrat mereka yang tertindas itu akan muncul di permukaan.

Sebagai seorang individu dan anggota masyarakat yang sehari-harinya banyak berteman dengan gay, transgender maupun laki-laki atau perempuan yang tampil dengan beragam karakter, tentu saja saya sangat terganggu dengan pernyataan dari para selebritas ini, yang sebenarnya adalah tokoh panutan dari generasi muda dan cikal bakal pemimpin masyarakat di Indonesia. Namun, sebagai seorang antropolog seksual yang masih selalu bergumul dengan isu-isu gender dan seksualitas gay dan transgender, saya ingin mendiskusikan masalah ini dengan sangat hati-hati dan membelah permasalahan yang ada satu per satu.

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan karakter keperempuanan yang di kritik oleh para selebritas ini? Apakah yang dimaksud Daniel adalah karakter feminin? Perilaku dan penampilan seperti apa yang disebut dengan keperempuanan? Karena kita tidak dapat memandang konsep femininitas sebagai sesuatu yang seragam (universal) bagi semua individu, kelompok maupun masyarakat. Apakah secara alami laki-laki tidak boleh memiliki karakter feminin? Ataukah karakter feminin ini sendiri telah memiliki konotasi yang lebih rendah daripada maskulin dalam masyarakat.  Atau, kembali ke inti pernyataan Daniel Mananta, memangnya perempuan itu memiliki karakter tertentu yang sudah pasti tidak dimiliki oleh seseorang berjenis kelamin laki-laki. Lantas, mengapa karakter yang dianggap dimiliki oleh perempuan ini boleh dilecehkan jika laki-laki seperti kontestan Indonesian idol tadi memilikinya?

Jika banyak pemikir gender memandang dikotomi yang menimbulkan hirarki ini adalah dampak dari sebuah masyarakat yang menganut heteronormatif, maka, seorang feminis dari Amerika, Catherine MacKinnon dan seorang filosof, Judith Butler pendapat lain. Menurut mereka, heteronormatif bukanlah faktor yang membentuk ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan, namun hirarki yang telah ada dalam gender itu sendiri yang membentuk ketidaksetaraan dalam sebuah hubungan heterosexual (Butler, 1999). Namun inipun tidak menjawab apakah definisi dan batasan maskulin dan feminin tersebut.

Seorang antropolog yang juga guru seksualitas saya, Niko Besnier dari University of Amsterdam, mengeluhkan dilema serupa. Menurut hasil penelitiannya, laki-laki yang distereotipkan sebagai laki-laki feminin menurut orang-orang Belanda, dapat dianggap sebagai laki-laki maskulin bagi masyarakat Jepang. Akan tetapi, bahwa karakter feminin menempati peringkat yang lebih rendah dalam kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat Indonesia atau masyarakat-masyarakat lainnya, jelas terlihat dari ketidak engganan selebritas yang disebut diatas dalam melecehkan karakter feminin kontestan Indonesian Idol. Terutama dalam masyarakat yang menganggap hirarki, status dan kelas sosial sebagai sesuatu yang penting (ranked society).

Lalu saya beranjak kepada komentar dari Professor Richard Ryan yang dijadikan acuan untuk menganalisa perilaku dari para selebritas ini. Yang sangat menarik adalah bahwa perilaku ini dikaitkan dengan homophobia yang diekspresikan oleh pelaku pelecehan atas dasar ketidaknyamanan pada seksualitas dirinya. Artinya, femininitas, dalam hal ini, dianggap memiliki kaitan yang sangat erat dengan seksualitas seseorang. Pemahaman ini sangat menarik. Apakah gender dan karakter maskulin atau feminin harus selalu dikaitkan dengan seksualitas seseorang, yaitu heteroseksual atau homoseksual.

Dari penelitian yang telah saya lakukan terhadap gay dan transgender Indonesia yang berdomisili di Belanda dan Belgia, femininitas dan maskulinitas ini adalah sebuah pilihan, yang kadang diyakini oleh para gay dan transgender sebagai sesuatu yang alami (natural) dan terlepas dari jenis kelamin mereka. Namun terkait dengan kelas sosial dan bentuk tubuh (body regimes). Selain itu, gender bukanlah sesuatu begitu saja secara sederhana dapat dikaitkan dengan femininitas dan maskulinitas seseorang, namun ini merupakan sebuah praktek aktif seseorang atau dikenal dengan gender performativity (Butler, 1991). Femininitas dan maskulinitas merupakan tindakan aktif seseorang yang di perlihatkan kepada orang lainnya sebagai salah satu bentuk identitas diri, yang tidak secara langsung terkait dengan orientasi seksual individunya.

Jadi, orientasi seksual seseorang, baik heterosexual ataupun homosexual, tidak memiliki hubungan langsung terhadap sifat feminin dan maskulin yang ditampilkan oleh seseorang kepada publik dan sebaliknya.

*Antropolog seksual lulusan Program Master Antropologi, University of Amsterdam, Amsterdam, Belanda, dengan judul thesis: Transnational love, migration and kinship: gay and transgender Indonesians in the Netherlands and Belgium.