Jakarta. ourvoice.or.id – Di Indonesia kita mengenal tarian Ludruk dari Jawa Timur, dimana seorang lelaki “bersolek” atau berdandan mengenakan busana ala “perempuan” dalam pertunjukannya. Penari Didik Nini Thowok juga menari dengan pakaian dan tarian “ala” perempuan.
Ternyata apa yang ada di Indonesia juga ada dibeberapa daerah Asia lainnya. Menurut Dede Utomo, seorang antropolog, menyatakan budaya “cross-dressing” dalam seni pertunjukan juga dikenal di Asia Tenggara seperti di Burma, Malaysia. Misalnya Opera Beijing dan Kabuki (Jepang) terkenal akan peran perempuan yang dimainkan oleh laki-laki, jelas Dede.
Yatna, seorang aktivis memberikan contoh tarian yang ada dalam video youtube tentang sebuah tarian berasal dari Philipina, yang mana penarinya adalah perempuan menggunakan busana “lelaki” dengan sebutan tarian Pangalay.
Sebenarnya budaya keberagaman identitas gender dalam budaya sangat banyak kita jumpai di kawasan timur (Asia, termasuk Indonesia). Hal ini diungkapkan juga oleh Dr,Katrin Bandel, dosen Religius dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, kebudayaan Timur memang kaya akan keberagaman identitas gender dan keberagaman seksualitas. Tetapi sayangnya pasca kolonial (baca Eropa) ketika menguasai negeri jajahan di kawasan Timur termasuk Indonesia, keberagaman seksualitas dan identitas itu mengalami perubahan.
Misalnya kedekatan hubungan antara dua laki-laki atau dua perempuan selalu dikonotasi dengan homoseksual. Padahal dalam konteks Asia ataupun Indonesia, kedekatan antara dua orang laki-laki ataupun dua orang perempuan belum tentu hubungan homoseksual yang dipahami oleh konsep “Eropa”.
Didalam masyarakat Indonesia, dua orang laki-laki dan dua perempuan menjadi biasa tinggal bersama, “bermesraan dalam konteks pertemanan” bukan sebuah pasangan hubungan homoseksual. Misalnya budaya Arab juga menjadi biasa ketika dua laki-laki berpelukan dan berciuman pipi sebagai simbol kedekatan. Dijelaskan oleh Katrin juga, dua laki-laki tidur bersama dalam satu kasur di Indonesia menjadi sangat biasa sekali, ini menjadi aneh dalam masyarakat Eropa, kecuali pasangan homoseksual.
Budaya Bissu di Sulawesi, Warok-Gemblak di Jawa Timur. Kedua budaya itu tentu tidak bisa disamakan dengan konsep transgender (Waria) atau hubungan homoseksual dalam konsep Eropa. Bissu dan Warok-gemblak punya tempat sendiri dan ada nilai-nilai spritualitas yang diyakini oleh masyarakat setempat. Hal ini sangat berbeda sekali dengan konsep Eropa yang sebelumnya menganggap hubungan dua laki-laki ataupun cowok feminin sesuatu yang hina atau abnormal.
Misalnya kedekatan hubungan dua orang sejenis yang “sangat intim” dan mesra selalu dikonotasikan dengan pasangan homoseksual di Eropa. Minimal dua laki-laki atau perempuan yang bergandengan tangan ataupun berpelukan menjadi tidak lajim terjadi di Eropa,kecuali mereka pasangan homoseksual, ungkap Katrin.
Mungkin kita juga patut curiga, konsep homoseksual yang dibawa oleh kolonial memberikan efek “negatif” pada keberagaman seksualitas dan identitas gender di Indonesia. Sehingga ini memberikan pengaruh soal konsep perjuangan hak keberagaman seksualitas dan identitas gender di Indonesia. Alasannya karena Indonesia mempunyai modal kekayaan budaya keberagaman seksualitas tersebut. Penulis sendiri perlu curiga, mungkin juga konsep maskulin dan feminin yang sangat ketat dipisahkan sekarang ini,dipengaruhi oleh kolonial?
Berdasarkan urain diatas dan bukti sejarah di Indonesia ataupun kawasan Asia lainnya, bahwa identitas gender dan seksualitas sangat “cair” dalam konteks kebudayaan. Pakaian ataupun peran laki-laki dan perempuan menjadi sangat cair tanpa harus dipisahkan secara ketat seperti yang terjadi sekarang ini.
Kita jangan pernah lupa, sejarah Indonesia tidak pernah mempunyai kebijakan menghukum manusia karena orientasi seksual ataupun identitas gendernya. Ini berbeda dengan di Eropa seperti Belanda. Belanda ketika masa penjajahan menjadi salah satu negara yang mempunyai kebijakan menghukum seorang homoseksual. Ini terjadi bukan hanya di Belanda, tetapi dibanyak kawasan Eropa lainnya. Termasuk juga ketika seorang laki-laki harus memainkan peran gender yang dianggap tidak sesuai pandangan masyarakat maka dianggap sangat memalukan. Ironisnya masa di Belanda dulu hampir sama terjadi di Indonesia sekarang ini.
Sekarang, seorang keluarga di Indonesia akan sangat malu ketika mempunyai anak laki-laki feminin ataupun lemah gemulai. Bahkan sampai diusir ataupun dipaksa menjadi “macho”. Padahal kebudayaan nusantara ataupun Indonesia sebelumnya sangat menghormati keberagaman seksualitas dan identitas gender, mengapa sekarang menjadi kebalik? Kita punya tokoh wayang Srikandi dan patung Ardhanary, keduanya memiliki identitas gender yang tidak laki-laki maupun tidak perempuan. Tetapi mengapa sekarang menjadi aneh seorang laki-laki feminin atau perempuan maskulin?
Kita sering mengatakan bahwa Eropa seperti lebih “unggul dan maju” dalam konteks keberagaman seksualitas dan identitas gender. Padahal Indonesialah yang banyak mewariskan kebudayaan keberagaman seksualitas itu.
Seharusnya kita menggali kembali akar sejarah dan kebudayaan kita sendiri. Berdasarkan inspirasi penyataan Soekarno, salah satu pendiri bangsa ini. Akhir kata, Bangsa Yang Besar Adalah Bangsa Yang Selalu Ingat dan Mengali Sejarah Kebudayaan Sendiri” (Yatna Dan Hartoyo)