Jakarta, Ourvoice. Pada hari kamis 8 maret 2012, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) mengadakan Anugerah Swara Sarasvati 2012 (ASS). Suatu ajang yang memberikan penghargaan kepada media dan jurnalis yang turut menyuarakan isu-isu perempuan. Pada ASS tahun ini KPI memfokuskan pada isu Angka Kematian Ibu Melahirkan.
Di tengah acara, KPI mengadakan Talkshow bertema “Mengangkat Isu Perempuan di Media”. Talkshow yang di moderator oleh Mieke Verawati ini menghadirkan Luviana Jurnalis Metro TV dan Ignatius Harianto, pengamat mediayang juga aktif di lembaga studi kasus dan pembangunan.
Luviana di non pekerjakan dari metro TV karena memprotes tentang kesejahteraan karyawan. Menurut luvina memperjuangkan perempuan tidak hanya tentang konten. Tetapi juga tentang independensi media di redaksi.
Isu perempuan yang masuk di media adalah isu mainstream yang ramai diperbincangkan pada social media seperti twitter dan Facebook. Contohnya tentang rok mini. Namun di sisi lain, isu yang ada di social media jarang menyentuh masyarakat marginal, karena penggunanya adalah kalangan menengah keatas.
Isu yang jarang sekali terangkat antara lain perempuan adat, petani, difabel dan LGBT. Seharusnya isu marginal ini mendapatkan tempat di media. Karena salah satu pasal dalam kode etik jurnalistik menyatakan, media harus memberitakan isu-isu masyarakat yang tidak bisa bersuara.
Di Indonesia, media digunakan untuk pertarungan politik. Seperti peresmian kelompok pemuda yang merupakan bagian dari pemilik televisi tersebut. Perdebatan di redaksi mempertimbangkan berita yang diangkat harus seksi dan menjual. Jadi supaya isu ini bisa naik ke media, harus ada hal yang unik. Contohnya ada tangisan-tangisan keras, adanya simbol-simbol unik dalam kampanye dan sebagainya.
Saat ini menurut catatan Aliansi Jurnalis Indonesia, jumlah media di Indonesia sekitar 2100 sehingga isu perempuan terangkat. Hanya 31 media yang memiliki serikat pekerja. Hal ini memposisikan jurnalis sangat terhimpit tidak punya kekuatan dalam mengangkat beritanya.
Ignatius Hariyanto berpendapat, beberapa media masih sangat mendiskriminasi perempuan. Seperti halnya penggunaan kata di infotainment. Dalam membahas perempuan pertanyaannya sangat klasik dan mendomestifikasi. Seperti halnya pertanyaan ke selebriti perempuan yang masih sekolah yang menjadi pertanyaan adalah “siapa pacarnya” lalu “kapan menikah?” setelah dia menikah akan ditanya “mau punya anak berapa?” dan seterusnya.
Yang di khawatirkan media di Indonesia masih sangat sexiest dalam membahas perempuan. Banyak media di Indonesia yang gagal mengangkat isu-isu yang sensitive terhadap perempuan. Isu perempuan tidak selesai hanya oada angka di statistik. Seperti halnya kasus HIV, seharusnya pembahasannya tidak hanya sebatas pada prevalensi penularan yang terjadi pada perempuan. Tetapi harus membahas bagaimana stigmatisasi yang terjadi pada perempuan dan bagaimana banyak terjadi pada ibu rumah tangga.
Diharapkan para jurnalis memiliki sensitivitas pada isu perempuan. Karena masalah yang menyangkut dengan Negara ini pasti menyangkut tentang perempuan, seperti kemiskinan, kelaparan, pendidikan pasti melibatkan perempuan.
Luvina menyarankan, agar teman-teman menyuarakan isu-isunya di social media supaya masuk ke media. Selain itu diharapkan teman-teman marginal juga ikut masuk ke dalam ruang redaksi untuk ikut sharing isunya ke para jurnalis. Aspek yang lain yang bisa dilakukan adalah membuat teman-teman marginal menjadi media itu sendiri, menjadi penulis yang membuat wacana untuk masyarakat.