Pembicaraan soal hak kelompok gay tengah menjadi sorotan di India, karena kelompok agama dan sosial yang konservatif tengah berkampanye kepada Mahkamah Agung. Mereka menantang putusan Pengadilan Tinggi Delhi pada 2009 lalu yang menolak kriminalisasi hubungan seksual sesama jenis antara dua orang dewasa. Pemerintah berada dalam tekanan karena sebelumnya menolak putusan Pengadilan Tinggi lantas berbalik menarik sikap tersebut. Mahkamah Agung mempertanyakan pemerintah, meminta untuk bersikap tegas untuk isu ini. Laporan selengkapnya bersama Bismillah Geelani.
Bindumadhav Khire, 48 tahun, adalah salah satu penulis kenamaan India yang adalah seorang gay.
Dia menyadari orientasi seksualnya tersebut saat berusia 20 tahun.
“Saya tahu saya berbeda, karena saya tidak merasakan apa yang teman-teman saya rasakan soal perempuan. Saya lantas membaca sejumlah buku dan dari situ saya menyadari kalau ini adalah sebuah kelainan, sejak itu rasa percaya diri saya langsung hilang. Saya menjadi orang yang sangat buruk. Saya mencoba bunuh diri beberapa kali. Saya sangat membenci diri sendiri karena diri saya. Dan saya takut kalau ayah ibu saya mengatahui, ini akan menghancurkan keluarga saya.”
Khire tak mampu mengumpulkan keberanian untuk menyatakan dirinya gay di hadapan orangtuanya. Ia akhirnya menikah dengan seorang perempuan.
“Kami lantas bercerai setahun kemudian. Ini perceraian yang menyakitkan, menyebabkan begitu banyak luka bagi kedua orangtua saya. Mereka adalah keluarga tradisional dengan harapan-harapan tentang keluarga bahagia dan punya cucu, dan sebagainya.”
Khire kini memiliki sebuah yayasan yang memberikan dukungan kepada kelompok lesbian, gay, biseksual dan waria, LGBT, berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang alternatif seksual.
Ada sekitar 15 juta homoseksual di India. Kebanyakan dari mereka masih ‘tertutup’ seperti Khire beberapa tahun lalu.
Pada 2009 lalu sebuah putusan luar biasa dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi Delhi, menolak kriminalisasi terhadap hubungan homoseksual antara dua orang dewasa. Putusan ini membawa perubahan radikal.
Putusan ini menganulir aturan hukum di masa penjajahan dahulu yang menganggap hubungan seks antara gay adalah kriminal yang bisa dihukum sampai 10 tahun penjara. Pengadilan Tinggi menganggap undang-undang itu tidak konstitusional.
Wendle Rodricks adalah perancang busana yang juga seorang gay dari Mumbai.
Ia masih ingat menari dan bernyanyi bersama komunitas LGBT di jalanan merayakan putusan ini.
“Putusan ini disampaikan dengan kalimat yang sangat indah, bahkan memasukkan filosofi dari Nehru soal inklusivitas. Ini membuat saya merasa kalau saya adalah bagian dari masyarakat. Ini membawa rasa percaya diri yang begitu besar.”
Organisasi keagamaan dan sosial yang konservatif segera mengajukan petisi untuk mengubah putusan tersebut.
Mahkamah Agung mulai membuka pembahasan soal 15 petisi itu bulan lalu.
Salah satu orang yang mengajukan petisi adalah Rakesh Sinha, profesor bidang sejarah dari Universitas Delhi.
“Masyarakat India sangat toleran, memberi ruang untuk pandangan-pandangan yang berbeda. Tapi ini tak berarti kita bisa melakukan apa pun yang kita mau. Atas nama keterbukaan, modernitas dan demokrasi kita tak bisa menyerap semuanya. Moral publik tidak hanya berasal dari masyarakat, tapi juga dibentuk berdasarkan sejarah. Homoseksual sudah lama ada di India, seperti di tempat-tempat lain di seluruh dunia, tapi mereka adalah kelompok minoritas yang sangat kecil. Mereka selalu ada, dan tidak ada yang menolak kehadiran mereka. Tapi apa yang terjadi sekarang adalah perayaan atas perilaku homoseksual, ini tak bisa diterima.”
Dalam dua tahun belakangan, ada parade gay yang kerap digelar di sejumlah kota di India.
Tapi meski ada tekanan begitu kuat dari kelompok-kelompok konservatif, pemerintah baru-baru ini memutuskan untuk tidak menentang putusan Pengadilan Tinggi Delhi.
Pakar hukum seperti Justice Mukul Mudgal memuji langkah pemerintah ini.
“Ini menunjukkan kedewasaan dan keinginan untuk melangkah maju sesuai jaman. Demokrasi yang dewasa diperlihakan dengan adanya demokrasi yang mentolerir perbedaan, mentoleransi gaya hidup yang berbeda, dan mentoleransi gaya hidup yang tidak Anda suka. Ini adalah kehebatan dari konstitusi kami. Ini adalah inklusivitas dan ini mengembangkan konstitusi kami.”
Masa pembahasan Mahkamah Agung masih berlanjut – kedua belah pihak meneruskan kampanyenya demi meraup dukungan.
Kelompok konservatif yang membuat petisi ini yakin kalau putusan pengadilan akan sepaham dengan mereka.
Sementara aktivis LGBT seperti Gautam Bhan yakin, pengadilan bakal berpikiran terbuka.
“Yang kami inginkan adalah percakapan yang ramai, kami mau hak kami diperdebatkan sebagai warga negara yang punya hak setara. Pengadilan Tinggi memberi kami hak itu. Putusan itu tidak mengatur bagaimana Anda harus berpikir tentang kelompok gay. Ini memberi tahu kalau mereka adalah warga negara dan demokrasi konstitusional – tak peduli apa opini moral Anda – adalah moral konstitusi. Warga negara punya kesetaraan, ini yang membuat India sebagai negara demokrasi. Yang kami inginkan dari Mahkamah Agung adalah mari kita menjadi warga negara, dan mari memperjuangkan hak yang setara. Kami akan melangsungkan debat ini, kami akan sangat berisik soal ini. Karena di mana ada kericuhan, di situ ada inklusivitas.”
sumber berita : http://www.asiacalling.kbr68h.com
sumber gambar : http://www.zimbio.com