Foto ini adalah karya Diego Verges. Seorang fotografer lulusan Universidad Complutense de Madrid. Verges cukup setia pada gaya fotografi jurnalistik. Pendekatan ini jugalah yang membawanya ke tempat-tempat terpencil di dunia. Mulai dari Gabon hingga ke pulau Siberut.
Pada foto terpampang, dia menampilkan seniman Ludruk asal Surabaya. Bagi Verges, ada satu pertanyaan yang cukup mengusik dirinya, secara keseluruhan pemain ludruk adalah diperankan oleh pria. Termasuk untuk tokoh perempuan (Ibu-ibu atau Nenek-nenek) juga dilakoni oleh pria. dan yang menjadi pertanyaannya, mengapa bukan perempuan saja yang memainkan karakter perempuan? Jawabannya kembali ke masa lalu, awal dari terciptanya ludruk itu sendiri. Di saat Ludruk pertama kali dipentaskan, masyarakat masih menilai tabu bila ada wanita/perempuan tampil di atas panggung. Sehingga untuk menyiasati hal itu, diciptakanlah tokoh “perempuan” yang diperankan oleh laki-laki. Dan seiring dengan berjalannya waktu, posisi laki-laki yang memerankan tokoh perempuan diminati oleh waria. Selain sebagai mata pencaharian, para waria ini juga mendalami Ludruk sebagai media penyaluran bakat yang tidak semua orang mampu membawakannya.
Akan menjadi memprihatinkan kalau seni Ludruk, yang banyak orang bilang disetarakan dengan seni KABUKI asal jepang ini, luntur dan tidak tersentuh oleh pihak-pihak yang seharusnya menjaga dan melestarikan kesenian tradisional ini. Apakah masih juga menunggu pihak asing untuk mempopulerkannya? Kalau bukan kita, siapa lagi?
Tulisan ini diambil dari sumber: http://www.diegoverges.com dengan penyuntingan tulisan seperlunya.