“Walaupun begini (tuna rungu-wicara) saya selalu berusaha untuk mengikuti pelajaran.”
VIVAnews — Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ini terbilang unik. Namanya, Chandra Setiyawan, akrab disapa Chacha. Terdaftar sebagai mahasiswi dengan jenis kelamin perempuan, ia satu-satunya mahasiswa transgender penyandang tuna rungu-wicara yang kuliah di universitas itu.
Walaupun memiliki keterbatasan fisik, Chacha selalu berjuang agar bisa mengikuti proses pembelajaran layaknya mahasiswa lain.
“Walaupun begini (tuna rungu-wicara) saya selalu berusaha untuk mengikuti pelajaran di kelas dan saya bisa,” kata Chacha diterjemahkan oleh Choiriana, relawan mahasiswa difabel dalam perbincangannya dengan VIVAnews.com di kantor Pusat Studi dan Layanan Difabel (PSLD), Selasa 17 Januari 2011.
Mahasiswi yang terlahir berjenis kelamin laki-laki pada 30 Juli 1982 silam itu tumbuh dari keluarga Kristiani di kota Blitar, Jawa Timur. Ibunya menjabat sebagai Kepala Sekolah SD di salah satu sekolah di Blitar dan Bapaknya berprofesi sebagai Guru Agama Kristen di salah satu sekolah SD di kota yang sama.
Demi bisa kuliah, anak sulung dari dua orang bersaudara itu berusaha menyesuaikan diri, memakai kerudung selama perkuliahan. “Di kampus ini perempuan wajib pakai kerudung, jadi saya otomatis menyesuaikan,” tuturnya.
Kerudung itu hanya ia pakai selama kuliah. “Awal-awalnya panas tapi lama-kelamaan sudah biasa, kalau di luar saya lepas jilbab,” imbuh Chacha.
Dia bersikukuh kuliah, sebab, menurut Chaca perempuan harus memiliki ilmu pengetahuan yang luas, salah satu caranya dengan kuliah di perguruan tinggi. Agar tak tergilas peradaban. “Saya juga banyak belajar agama Islam,” kata dia.
Sebelum akhirnya menempuh pendidikan di UIN Yogyakarta itu, Chacha sudah pernah mendaftar di beberapa Universitas, di antaranya Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, ISI Surakarta, Universitas Negeri Yogyakarta. Semua tak menerimanya. Alasannya, ia tuna rungu-wicara. “Semua menolak saya karena problem vokal, sewaktu wawancara,” ungkapnya.
Pada saat awal perkuliahan pun ia sempat mengalami kesulitan khususnya ketika berkomunikasi dengan teman-temannya sekelas. Namun, semangat Chacha tidak pernah surut. Ia selalu mencoba dan terus berinteraksi, meski rekannya sesama mahasiswa sering tak mengerti apa yang ia maksud. “Kalau dosen menerangkan di depan kelas saya paham, tapi yang menjadi kendala adalah ketika teman-teman di kelas berisik, itu mengganggu saya untuk memahami apa yang disampaikan dosen,” ujarnya.
Namun, Chacha juga terbantu uluran bantuan teman-temannya. Mereka sering membantu menuliskan materi yang diajarkan oleh dosen.
Selain kuliah, Chacha juga punya hobi menari tradisional dan merancang busana. Ia juga punya segudang prestasi, seperti merancang busana untuk iklan, ikut kontes Miss Waria dan masuk masuk 10 besar, mendapat gelar Miss Waria teladan 2007 di Jakarta, juga menari dibawah asuhan Didi Nini Thowok.
Tak hanya berjuang mengatasi keterbatasan fisik, Chacha juga berusaha agar diterima apa adanya, sebagai seorang transgender. Awalnya sungguh sulit, orang tuanya sendiri pun menentang. Namun prestasi dan semangat Chacha membuat ayah dan ibunya luluh. “Transgender itu tidak mesti asosial, dengan membuktikan sikap dan perilaku saya, akhirnya sekarang orangtua saya mendukung,” kisahnya.
Meski piawai merancang busana dan menari, jauh di lubuk hatinya, Chacha memimpikan sebuah cita-cita mulia: menjadi guru bahasa isyarat tuna rungu-wicara bagi orang yang tidak mampu. “Supaya mereka juga bisa bicara agar mereka bisa berkomunikasi dengan orang normal,” kata dia.
Kini pun ia sejatinya Chacha jadi guru. Memanfaatkan keahliannya berbahasa isyarat Inggris dan Jepang, ia mengajar kalangan penyandang tuna rungu-wicara. Chacha bahkan menjabat sebagai Ketua DAC (Deaf Art Community), komunitas seni tuna rungu di Yogyakarta.
Kisah Chacha tak hanya potret perjuangan dan keteguhan hati anak manusia, tapi juga menguak fakta, bahwa aksesibilitas pendidikan, terutama pendidikan tinggi masih sangat terbatas untuk para difabel. Bahkan, banyak universitas di Indonesia tidak memberi ruang kepada orang-orang yang berkebutuhan khusus, yang sejatinya memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya. (sj)
sumber : http://nasional.vivanews.com/news/read/280711-kisah-chacha–mahasiswi-transgender-difabel