Search
Close this search box.

Yogyakarta, Tidak sedikit kaum transgender atau waria yang mendapatkan perlakuan diskriminasi di masyarakat, terlebih bila mereka adalah penderita HIV/AIDS. Tapi di Yogyakarta, Kebaya (Keluarga Besar Waria Yogyakarta) menjadi rumah nyaman bagi waria dengan HIV/AIDS.

Kebaya (Keluarga Besar Waria Yogyakarta) yang beralamat di Jl. Gowongan Lor III/148 Yogyakarta ini merupakan LSM yang menangani waria, khususnya bagi waria yang HIV/AIDS.

Vinolia Wakijo adalah sosok di balik Kebaya. Waria usia 53 tahun ini dianggap ‘si mbok’ yang bijaksana dan dapat memberi kenyamanan bagi para waria di Yogyakarta bahkan bagi waria pendatang di luar Yogyakarta.

Waria yang akrab dipanggil Mami Vin ini bahkan sudah tidak dianggap waria oleh warga sekitar, karena pembawaannya yang mudah bergaul dengan masyarakat dan aktif menjadi ibu PKK.

“Sejak tahun 1993 saya sudah aktif sebagai aktivis HIV dan jadi relawan di PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) DIY sampai tahun 2005. Lalu saya fokus di HIV waria karena prevalensi HIV di kalangan waria cukup tinggi, bahkan waktu itu beberapa waria meninggal dalam waktu 1 bulan. Saya akhirnya mundur dari PKBI,” ujar Vinolia Wakijo, Direktur Kebaya, saat ditemui di kantor Kebaya, Yogyakarta, seperti ditulis Senin (24/10/2011).

Mami Vin menyatakan, saat itu ia hanya aktif menangani ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) waria tanpa ada lembaga khusus atau bantuan dana. Namun tahun 2006, Mamih Vin mendapatkan bantuan dari UNAIDS (United Nations Programme on HIV/AIDS) untuk membuat sebuah lembaga sosial dan mendapatkan bantuan dana.

“Waktu itu tanpa ada dukungan dana, cuma kita sebatas kumpul-kumpul saja. Kemudian tahun 2006 itu ada perwakilan dari UNAIDS datang ke Yogyakarta dan kebetulan mencari saya waktu itu. Mungkin sudah baca lewat media tentang apa yang saya lakukan waktu itu kemudian menawarkan diri dan menyarankan Mami seharusnya sudah punya LSM. Dulu saya sempat ragu juga, karena kalau dari background saya kan bukan dari pendidikan tinggi. Saya hanya bisa melakukan apa yang saya bisa. Tapi berkat dukungan dari UNAIDS dengan 5 teman waria dan kemudian ikut pelatihan capacity building, terbentuklah LSM Kebaya. Itu kita dibantu selama 1 tahun,” jelas Mami Vin.

Dana bantuan dari UNAIDS itu kemudian digunakan untuk mengurus keperluan kantor sekretariat, program-program yang dilakukan.

“Karena waktu itu UNAIDS mengharapkan kita jangan hanya fokus ODHA saja tetapi waria secara keseluruhan, termasuk untuk kesehatannya,” lanjut Mami Vin.

Kemudian setelah 1 tahun habis kontrak dengan UNAIDS, Kebaya sempat bekerja sama dengan Hivos Foundation selama 9 bulan dan lanjut kerjasama dengan Global Fund.

Jadi Kebaya sudah bekerja sama dengan 3 lembaga dana terhitung sampai Maret 2010. Dari tahun 2010 sampai sekarang, menurut Mami Vin, Kebaya sudah tidak bekerja sama dengan lembaga dana manapun.

“Tapi bukan berarti kita selesai sampai situ, karena memang PR kita masih banyak, teman-teman ODHA waria masih banyak karena memang melihat dari keseriusan teman-teman untuk tes VCT (Voluntary Counseling and Testing) cukup baik. Dan berarti itu akan menambah teman-teman ODHA yang lain, yang tadinya mereka tertutup karena tidak berani, tapi karena ada Kebaya kalau positif akhirnya mereka berani. Tanpa tahu bahwa sebenarnya kita sudah tidak punya dana. Tapi itu bukan masalah buat kita, karena persoalannaya sekarang bagaimana kita bisa menjadi bagian mereka karena keputusan terakhir Mami dulu ingin hidup dengan teman-teman waria apapun itu masalahnya,” tegas Mami Vin.

Mami Vin mengatakan hingga saat ini, sudah ada 32 orang waria yang positif terinfeksi HIV/AIDS dan ada 3 orang yang saat ini sedang dirawat.

Di rumah kontrakan yang merangkap kantor sekretariat Kebaya, terdapat 2 shelter atau ruang perawatan untuk ODHA waria, tetapi khusus untuk ODHA yang baru mulai terapi dan baru pulang dari rumah sakit.

“Karena 2 masalah ini memang harus kita yang menjadi bagiannya karena mereka mengalami efek samping minum obat, kalau mereka kita lepas nanti kita nggak bisa kontrol. Ini inisiatif kita, walaupun dalam perjalannya kita sulit sekali mendapatkan dana untuk perawatan untuk memberikan nutrisi dan lain-lain, tapi itu suatu tantangan, apapun itu akan kita lakukan,” lanjut Mami Vin.

Selain melakukan perawatan bagi ODHA waria, Kebaya juga memiliki pertemuan rutin dengan 8 titik komunitas dan close meeting dengan ODHA. Ada juga penjangkauan di lapangan yang dilakukan kalangan waria sendiri.

“Kita bukan hanya merawat ODHA waria tapi juga ODHA non waria. Yang sudah pulang ada 1 ODHA perempuan, 1 ODHA laki-laki dan 1 ODHA gay. Awalnya memang kita fokus pada waria tapi pada kenyataanya ODHA non waria pun nyaman disini. Tapi ya kita nggak bisa memberi lebih, makan seadanya. Disini tidak hanya ODHA, non ODHA pun datang kesini. Ini adalah rumah kedua buat waria yang ada di Jogja, khususnya yang pendatang,” jelas Mami Vin.

Karena menurut Mami Vin, hampir semua waria memiliki sifat tertutup, sehingga bila tinggal di kampung mereka jarang atau bahkan tidak pernah ikut kegiatan kampung.

“Semua jumlah waria yang ada di Jogja bahkan yang baru datang kita anggap anggota Kebaya, karena untuk bicara masalah kesehatan lagi-lagi kita berbicara tentang biaya mengakses kesehatan. Tentu saja karena kita bekerja sama dengan berbagai pihak termasuk jaminan kesehatan sosial yang MoU dari tahun 2009, jadi data ke kita semua,” ungkap Mami Vin.

Selain mendapatkan bantuan dari lembaga dana, Kebaya juga mendapatkan dukungan pemerintah dari dinas sosial Daerah Istimewa Yogyakarta, bahkan mungkin pertama kali di Indonesia, Kebaya menjadi proyek percontohan, yang mendapatkan bantuan dana 1 orang Rp 10 juta.

“Ini pertama kali jadi proyek percontohan dan Mami selalu dipanggil kalau ada bantuan yang sama, di Bandung di Surabaya, untuk berbicara berbagi pengalaman. Karena dari 15 yang dibantu (mendapat dana dari dinas sosial) 10 orang berhasil sedangkan 5 lainnya jalan di tempat,” lanjut Mami Vin.

Kebaya juga bekerjasama dengan gereja, NU dan beberapa kampus di Yogyakarta seperti UMY (universitas Muhammadiyah Yogyakarta), UGM (Universitas Gadjah Mada), dalam bentuk memberi informasi dan ikut workshop.

Merawat ODHA waria bukanlah perkara yang mudah. Menurut Mami Vin, masalah yang ada di waria adalah bagaimana membangun mental, karena mental mereka sudah mengakar di jalanan.

“Kita kan ketemu di jalanan, dimana mereka sudah mejeng dan sebagainya,” jelas Mami Vin.

Walaupun Mami Vin dan waria yang ada di Kebaya memiliki berbagai karakter, tapi Mami berusaha memberi pemahaman, bagaimana tidak menyakiti meski semuanya sedang emosi.

“Karena mengurusi ODHA kan tidak mudah, kadang mereka aneh, ngeyel. Disuruh minum obat nggak mau. Bukan berarti kita nggak pernah gagal, tapi kan kegagalan ini apakah kita gagal saat pendampingan atau gagal karena dia nggak mau. Tidak bisa sekali dua kali memberi pemahaman pada teman-teman waria, harus berkali-kali. Bisa saja karena latar belakang pendidikan, tidak mau belajar, belum bisa nerima apa yang sudah kita berikan. Masih banyak yang menganggap bahwa kita ini waria, mungkin ini (terifeksi HIV/AIDS) karena dosa kita,” kata Mami Vin.

Mami Vin sendiri mengakui bahwa risiko penularan HIV/AIDS di kalangan waria sangat tinggi, terutama melalui hubungan seksual.

“Ya karena mayoritas teman-teman waria itu bergonta-ganti pasangan, baik yang pekerja seks atau yang bukan seperti kerja di salon atau apapun, tapi rata-rata selalu berhubungan seks bergonta-ganti. Dan waria itu selalu menjadi objek laki-laki karena disamping tidak dibayar atau bayarnya murah, malah kadang ngasih amplop kalau warianya suka. Teman-teman waria itu posisi tawarnya sangat rendah. Ketika teman-teman sebenarnya sangat sadar bahwa kondom itu alternatif yang aman untuk mencegah HIV/AIDS, tapi kan si tamu belum tentu mau. Kalau tamu nggak mau dia cari yang lain, sementara dia sudah dikejar-kejar sama yang punya kos, untuk makan dan sebagainya, mau nggak mau harus diterima. Cara negonya kalau sudah berhadapan dengan klien itu memang susah, kita susah untuk bisa memberi pemahaman pada klien,” lanjut Mami Vin.

Mami Vin berharap, bagi ODHA waria dan waria pada umumnya untuk bisa rutin melakukan tes VCT, hidup sehat, mengutamakan kondom dan memperbanyak informasi mengenai HIV/AIDS, karena kondisi ini selalu berkaitan dengan perilaku teman-teman.

“Bagi teman-teman ODHA semoga teman-teman ODHA juga semakin paham degan statusnya, bahwa HIV bukan berarti kematian tapi HIV adalah mengubah perilaku. Kalau untuk masyarakat umum, agar masyarakat bisa tahu informasi AIDS lebih banyak jangan hanya separuh-separuh, baru kemudian mereka bisa bersikap dengan waria khususnya waria ODHA atau ODHA secara umum,” jelas Mami Vin.

Sumber berita :
http://www.detikhealth.com/read/2011/10/24/094318/1750714/775/kebaya-rumahnya-waria-dengan-hiv-aids