Search
Close this search box.

Kelamin dan Hak atas Tubuh

Santi, seorang interseks yang tinggal di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, sempat ingin bunuh diri karena status kelamin “ganda” pada dirinya. Bukan hanya itu, dia juga mengalami diskriminasi dari masyarakat karena identitas seksual dan identitas gender yang dianggap tidak jelas oleh masyarakat (Kompas, 7/12/2011).

Tindakan itu membuat Santi menjadi frustasi, sehingga tindakan medis menjadi satu pilihan. Apakah kemudian tindakan medis menjadi jawaban untuk menentukan kejelasan identitasnya? Apakah setelah Santi melakukan penyesuaian kelamin sebagai perempuan atau laki-laki akan menghilangkan diskriminasi dan stigma yang dialami selama ini?

Apa yang dialami Santi, dialami Dhea yang berada di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Dea seorang transeksual yang telah menentukan jenis kelamin sebagai perempuan dan disahkan melalui Pengadilan  Negeri Batang. Sampai sekarang Dhea belum bisa mendapatkan hak administrasi kependudukan, seperti Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan identitas kelamin perempuan. Menurut Dhea, dalam wawancara, pihak kelurahan selalu mengatakan dalam proses.

Apa yang dialami oleh Santi dan Dea merupakan persoalan diskriminasi dan phobia dengan kasus yang berbeda. Mereka sebagai manusia dipaksa memiliki jenis kelamin tertentu sebagaimana umumnya pemahaman orang, laki-laki punya penis dengan ukuran tertentu dan perempuan bervagina dengan payudara besar. Jika seseorang tidak memiliki itu dan tidak sesuai dengan pandangan umum itu, maka dianggap cacat ,sehingga kelamin mereka harus dioperasi.

Selama ini, praktek-praktek operasi kelamin pada seorang interseks banyak terjadi di Indonesia. Hal itu dilakukan umumnya saat masa anak-anak (di bawah 18 tahun). Menurut catatan Rumah Sakit Dr. Kariadi dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Jawa Tengah, jumlah orang interseks yang datang rata-rata 2 orang per minggu.

Penentuan jenis kelamin pada kasus-kasus interseks memang banyak ditentukan oleh orang tua dan dokter. Ketika dewasa muncul berbagai masalah. Salah satunya, seorang interseks merasa tidak sesuai dirinya dengan jenis kelamin yang telah ditentukan oleh orang tua dan dokter.

Padahal apa yang dialami oleh Santi karena kurang pendidikan seksualitas masyarakat dan dokter.  Santi, masyarakat, dan dokter dipaksa untuk mengikuti apa yang dipikirkan oleh banyak orang tentang jenis kelamin dan identitas jender. Seharusnya jika Santi tidak mengalami gangguan secara phisik, medis dan psikologis karena identitas itu, mengapa harus dioperasi? Kalaupun harus dioperasi, sebaiknya dilakukan ketika dewasa, ketika si pemilik tubuh menentukan sendiri apakah dirinya mau melakukan penyesuaian kelamin atau tidak. Gangguan psikologis yang dialami Santi, menurut penulis disebabkan oleh pandangan sistem sosial yang masih tidak toleran pada yang berbeda.

Masyarakat dan negara seharusnya menghormati, memenuhi dan melindungi setiap pilihan dan putusan orang untuk melakukan tindakan medis atau tidak terhadap dirinya sendiri. Rasa frustasi yang dialami oleh Santi karena masyarakat telah menanamkan simbol-simbol jenis kelamin yang kaku.

Seharusnya, setiap orang berhak menentukan dan memutuskan yang terbaik bagi dirinya sendiri, apakah mau menjadi perempuan, laki-laki, ‘waria’ ataupun tidak ketiganya. Sebab, esensi manusia adalah berani menentukan dengan bebas mana yang terbaik buat dirinya sendiri. Bukankah tubuh Santi dan Dea adalah milik mereka sendiri. Bukan milik orang tua, masyarakat, dokter maupun negara!

Hentikan segala bentuk kekerasan dan diskriminasi atas nama identitas gender, jenis kelamin dan orientasi seksual.

Penulis: Hartoyo, Sekretaris Umum OurVoice