Search
Close this search box.

AIDS Tidak Hanya Persoalan Kesehatan

Refleksi Hari AIDS, 1 Desember 2011

Membaca pemberitaan di media tentang HIV dan AIDS selama dua hari ini (1-2/12/2011), sangat minim membahas persoalan HIV dan AIDS diluar dari konteks kesehatan.  Dari refleksi selama ini, penanggulangan HIV dan AIDS menurut pengamatanku ada beberapa persoalan:

Pertama; Lemahnya kinerjanya anggota Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (Kementerianan dan lembaga pemerintah berdasarkan Perpres No.75 Tahun 2006 ). Koordinasi yang dilakukan oleh sekretariat KPAN tidak berjalan, kalaupun ada hanya simbolis.

Sekretariat KPAN malah sibuk mengambil dana dari Global Fund sebagai agen kondom daripada melakukan lobby dengan kementerian untuk melakukan kerja-kerja penanggulangan AIDS. Sehingga jangan heran kalau staff sekretariat KPAN disibukkan dengan pekerjaan laporan dari para donor. Apakah ini karena lemahnya mandat KPAN atau memang keberadaan KPAN sendiri perlu dievaluasi.

Kedua; Kooptasi masyarakat sipil yang dilakukan oleh Sekretariat KPAN, baik ditingkat nasional maupun lokal. Akibatnya LSM AIDS ataupun populasi “gembok” menjadi “absurb” perannya. Sehingga tidak heran kalau kelompok “gembok” seperti organisasi pekerja sex, Organisasi Pecandu, ODHA, Gay/Waria, Perempuan Positif hanya jadi “tumbal” atau alat justifikasi sekretariat KPAN dalam keterlibatan masyarakat sipil dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Pemerintah melalui sekretariat KPAN memberikan sumber dana secara rutin baik langsung maupun tidak langsung kepada organisasi jaringan “gembok”, kemudian dikontrol secara sistematis sesuai dengan keinginan sekretariat KPAN.  Bahkan yang paling parah lagi kantor organisasi “gembok” bertempat dalam gedung yang sama dengan Sekretariat KPAN di Menara Topas.  Kelompok “gembok” kemudian dibawa kemana-mana oleh sekretariat KPAN untuk dijadikan capaian laporan atau biasa disebut dengan teman-teman jaringan “gembok”  sendiri sebagai “token” pemerintah.

Ketiga; LSM dan jaringan “gembok” didesign sedemikian rupa untuk melakukan tugas pemerintah bukan memainkan peran yang semestinya dilakukan oleh masyarakat sipil, seperti alat kontrol  kerja pemerintah ataupun melakukan advokasi kebijakan.  Tidak heran kalau LSM AIDS kerjanya menjadi penjangkau (seperti distribusi kondom, jarum suntik, mendata VCT dan promosi HIV dan AIDS). Ironisnya kerja-kerja pejangkauan didukung oleh lembaga donor asing yang ada di Indonesia, misalnya Family Health International dari Amerika, Sum II, HCPI dari Australia dan juga dana Global Fund.  LSM jadi penjangkau!!!.

Pendidikan kritis dari masing-masing LSM ataupun individu kelompok “gembok” terampas bahkan kalau boleh saya katakan secara sistematis dibuat “bodoh” dan “dimandulkan” sebagai rakyat.  Jika “dibandingkan” dengan gerakan masyarakat sipil pada isu lain (seperti gerakan buruh,perempuan dan demokrasi/HAM), gerakan LSM AIDS sangat “ekslusif” dan cenderung ketinggalan dalam persoalan analisis-analisis kritis soal sosial, politik, budaya dan ekonomi. Karena memang diskusi-diskusi kritis dan berwacana tidak sama sekali dibangun.  Kemudian semakin dikukuhkan oleh dana donor yang tidak dialokasikan untuk peningkatan kapasitas kritis masyarakat sipil.

LSM AIDS melaksanakan tugas pemerintah. Sehingga kalau kita lihat data VCT, data HIV dan AIDS sebagian besar data dari jangkauan masyarakat sipil atau populasi “gembok”.  Sehingga jika tidak ada LSM dan masyarakat sipil yang bekerja di lapangan, sebenarnya pemerintah tidak melakukan apa yang seharusnya pemerintah lakukan.  Memberikan layanan dan penjangkauan kepada masyarakat. Intinya LSM dan jaringan populasi “gembok”  menjadi “kepanjangan tangan” atau “boneka”  pemerintah untuk mendapatkan data layanan.

Keempat; pemerintah masih tabu bicara soal sex, bahkan cenderung munafik khususnya ditingkat keluarga dan lembaga pendidikan formal.  Misalnya sikap Kemeninfo, Kemenag, Kepolisian, Kemenhukham, Kemendiknas, Kemendagri yang masih diskriminasi pada kelompok Waria, Gay, Pekerja Sex, Pecandu.

Peraturan daerah tentang larangan prostitusi dibanyak daerah di Indonesia yang menjamur dimana-mana, penangkapan pekerja sex dan Waria karena dianggap sampah masyarakat yang harus dibina.   Selain itu sikap Menkokesra yang tidak mau ada organisasi bernama pekerja sex, Waria dan Gay dalam struktur KPAN sehingga namanya diganti dari Organisasi Pekerja Sex Indonesia (OPSI) menjadi Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI), kemudian Jaringan Gay, Waria dan Laki-laki Sex Laki-Laki (Jar-GWL) menjadi Jaringan Gaya Warna Lentera (Jar-GWL).  Padahal nama organisasi sebagai sebuah identitas politik dan sangat penuh substansi dan makna. Belum lagi kasus-kasus pemerasan, kekerasan, penyiksaan dan kriminalisasi dialami pecandu yang dilakukan oleh kepolisian, pengadilan sampai ditahanan.

Situasi ini seharusnya bisa diselesaikan oleh semua sektor dalam keanggotaan KPAN, tetapi hal ini diabaikan bahkan cenderung dibiarkan. Sekretariat KPAN tidak melakukan kerja-kerja lobby dan advokasi  kesemua sektor tersebut. Atau jangan-jangan dianggap tidak penting.

Kelima; Selain itu komitmen lembaga legislatif masih tidak berjalan untuk persoalan anggaran dan monitoring kerja pemerintah dalam hal penanggulang HIV dan AIDS.  Singkatnya penangulangan HIV dan AIDS sepertinya hanya tiga pihak yang melaksanakan, Sekretariat KPA, Kemenkes dan masyarakat sipil.  Ketiga pihak ini yang mendapatkan sumberdana dari Global Fund. Mungkin kalau  tidak ada dana Global Fund yang mengucur, kelakuannya akan sama dengan kementerian lainnya. Paling hanya pasang spanduk ketika hari AIDS, 1 Desember.  Semua alasannya tidak ada anggaran.

Salam

Hartoyo
Sekum Ourvoice / Staff Advokasi Indonesia AIDS Coalition
Mobile : 085813437597