Search
Close this search box.

Untung Dalam Gelap

“Di tempat ini, tak perlu ada hati. Di tempat ini, tak perlu ada cahaya. Gelap. Gelap. Dan gelap.”

Aku di dalam ruangan gelap ini sejam yang lalu. Sudah terlalu lama kuberada di dalamnya. Ruangan itu pengap. Penuh dengan debu yang lebih pantas disebut kerak. Aku mengikat pantat di sebuah kursi barisan paling belakang sendiri. Ruangan itu memang banyak sekali memajang kursi. Ada yang masih layak diduduki, ada pula yang sudah berlubang hingga kapasnya membeludak minta diganti.

Aku sudah cukup hafal dengan letak dan ciri setiap kursi. Termasuk siapa-siapa saja yang memasuki ruangan ini. Mengapa aku bisa tahu?

***

Setiap hari senin menjelang sore, aku selalu berkemas rapi. Mendandani diri agar terlihat ganteng dan bisa tampil percaya diri. Benar sekali. Kata emakku, aku memang ganteng sekali. Bayangkan! Sejak masih kanak-kanak hingga usia 25 tahunan, setiap hari emak memanggilku cakep. Kemana-mana, kalimat-kalimat santunnya selalu berakhiran cakep. Hari ini saja, sudah 24 kali kata cakep sudah terbuang sia-sia dari bibirnya. Pagi tadi aku agak malas bangun pagi, sehingga emak menyebut-nyebut cakep, agar aku bisa semangat bangun tidur. Dan karena hari senin, mau tak mau aku memang harus segera bangun. Banyak sekali persiapan yang harus aku lakukan.

***

Sarapan nasi goreng dengan menggunakan nasi sisa semalam. Di campur dengan sawi dan sebutir telur. Berbumbu satu siung bawang putih dan dua siung bawang merah yang dirajang kasar. Kadang kalau ada sisa taoge atau kol, bisa juga ditambahkan. Tergantung apa yang ada di dalam kulkas. Tetapi dari semua asupan yang harus kumakan. Emak selalu tak lupa menyediakan segelas susu hangat. Setiap pagi. Sesudah sarapan. Dan yang membuat kenapa aku selalu harus meminum susu itu adalah, air mata emak yang selalu menetes setiap kali dia menghidangkan segelas susu hangat untukku. Saat kutanya, mengapa dia menangis, dia hanya diam saja dan langsung menyodorkan segelas susu hangat itu ke mulutku.

“Baiknya susu itu kau minum hangat-hangat, jangan tunggu dingin…cakep,” emak memaksa.

“Mengapa harus hangat-hangat? Susu ini masih panas mak!”

“Justru khasiat susu itu saat dalam keadaan panas”

“Kok bisa?”

“Kalau saja Tuhan tidak menciptakan lupa, mungkin sampai detik ini kamu masih menyusu Emak!”

“Ini penyesalan?”

“Bukan cakep! Ini semua adalah harapan emak!”

Dan bila emak sudah membicarakan harapan. Aku yang pastinya akan menghilang dan pergi dari hadapannya. Emak terlalu optimis untuk masa depanku. Emak masih saja khawatir kalau aku akan tetap sendiri seperti kemarin dan dulu-dulu.

Dulu, saat aku masih belum mencoba mencintai hari senin, tak ada seorang lelaki pun yang mau mendekatiku. Mungkin karena aku terlalu cakep. Tapi orang-orang mungkin menyebutnya minder.  Aku sibuk dengan bisnis jahitan. Pesanan baju bayi dan balita tak pernah sepi. Sepuluh ribu bayi lahir di Indonesia setiap hari. Itu alasan mengapa aku menggeluti bisnis ini. Lagipula, tak pantas aku diterima kerja di pabrik apalagi di sebuah instansi pemerintahan. Syarat sehat lahir dan batin sudah menghentikan langkahku untuk membuat surat pengangkatan karyawan.

Aku memilih berwiraswasta. Menjahit kain perca sebagai awal mula usaha. Gagal. Menyerah. Semangat. Bangkit. Gagal. Bangkit. Semangat. Berjaya. Aku akhirnya bisa. Tetapi tetap saja, aku yang cakep ini, masih sengaja sendiri. Sendiriku karena masih berharap agar ada pangeran yang mencium bibirku dengan mata terbuka. Oleh karena itu aku menunggu. Bersama emak, aku membagi rasa rindu. Dulu emak tidak tahu. Dia hanya mencoba menerka-nerka, apa yang sebenarnya terjadi denganku. Mengapa aku tidak mau menerima pinangan Ayu anak Bu Heru. Aku membaca mimik wajah Emak. Sudah saatnya Emak tahu, siapa diriku.

“Mak, Aku mungkin tidak akan seperti yang Emak harapkan”

“kamu itu ngomong apa, cakep!!!”

“Aku tidak akan menikah!”

“……”

“Karena aku memang tidak mau menikah”

“Iya. Emak tahu!”

“……”

“Hanya saja Emak takut, kamu selamanya akan sendiri!”

“Bukannya ada Emak?”

“Emak bukan kura-kura, cakep!”

“Ah Emak, aku serius”

“Terserah cakep….! Selama kamu bahagia, Emak akan selalu ada untuk kamu!”

“Emak kok nggak panik? Biasanya kalau ada orang tua yang anaknya ketahuan homo, biasanya bakal merasa dunia sebentar lagi kiamat!”

***

Aku tahu. Sejak pengakuan itu, Emak sering menangis di dalam kamar mandi. Tetapi dia selalu memasang wajah bahagia di depanku. Emak menangis bukan karena aku homo. Emak justru menangis, apakah akan ada laki-laki yang bisa menerimaku.

***

“Cakep! Emak boleh nanya gak?”

“Apa?”

“Kamu gak kepingin pacaran? “

“Emak ngomong apa sih?”

“Emak carikan pacar ya?!”

“Gila ah!”

“Kok gila?”

“Aku gak butuh pacar maaak!!!”

Semakin lama, Emak semakin ngelunjak. Dia sudah lancang memasuki area pribadiku. Disodorkannya, anak muda-anak muda bayarannya yang masih belasan tahun untuk menemani aku. Bukan pelepasan hasrat seksual yang kulibaskan, justru pencerahan yang tidak sengaja aku untai dipikiran mereka, bahwa suatu saat tubuh mereka bisa mati terlebih dulu ketimbang hati. Pentingnya menghargai tubuh yang mereka miliki itu akan sangat berdampak besar bagi pemikirannya kelak. Intinya, aku tak tega.

***

Banyak sekali referensi yang emak dapatkan seputar kehidupan homoseksual. Dia seakan-akan tak mau kalah dengan ibu-ibu yang lainnya. Dimana anak-anaknya sudah bergonta-ganti pacar, sementara aku terkungkung berdiam di rumah dengan kecakepannya. Sering kali, emak memaksaku jalan-jalan keluar rumah. Kadang ke Supermarket. Dan yang paling menyiksa adalah ketika emak mengajakku pergi ke Mall. Emak beralasan, “Biar kamu cepat laku!”

Padahal aku cukup malu bila saja aku mengingat hari-hari itu. Digelandang mengitari seisi bangunan. Mall-mall yang kami singgahi tak ubahnya seperti sinis menerima emak dan aku. Ralat, hanya aku. Tanpa Emak.

“Mak! Aku gak suka tempat ini?”

“Kamu ingin kemana cakep?”

“Aku ingin ke tempat dimana orang-orang tidak perlu memandangku seperti orang itu menatapku,” aku menunjuk seorang laki-laki necis berkaos v-neck yang pura-pura sibuk dengan ponselnya, padahal sebenarnya sudah ada 5 menit dia memperhatikanku.

“Dia naksir kamu cakep!”

“Mak, jangan gila”

“Emak bawa kesini ya orangnya”

“MAK, Aku lompat dari sini nih!” Aku mengambil ancang-ancang pura-pura akan terjun dari lantai tiga.

“Emak kan cuman bercanda cakep”

“Kita pulang”

“Ya. Pulang”

“…….”

***

Bisnis jahitanku mendadak ramai pesanan. Aku kuwalahan. Emak kelimpungan. Kami terpaksa mencari tambahan pekerja lagi. Dua menjadi empat. Kali ini emak picik, dia mencari pegawai yang tidak cantik. Tetapi  pemuda ganteng yang masih harus perlu kudidik.

“Ini buang-buang waktu!” kataku.

“Itu justru kesempatanmu cakep!” bantah emak.

“Dia tak akan mau!”

“Kamu jangan sok tahu. Belum dicoba!”

“Dia anak orang mak, bukan celana kolor yang tidak jadi kita beli kemarin!”

“Kamu itu homo apa bukan sih???”

“…….”

“Emak sudah susah-susah mencarikanmu pasangan, tapi semuanya kau buang sia-sia. Emak capek!”

“Mak! Homo bukan melulu tentang pasangan apalagi hanya untuk sekedar berhubungan seks.”

Emak duduk lemas melunglai di atas ranjangku. Sementara aku hanya bisa mengelus pundaknya yang mulai kisut oleh kelincahannya.

“Mak. Sudah cukup Emak berbuat lebih untukku. Aku sudah sangat senang Emak masih mau menjadi emakku. Aku tidak mau emak kerepotan mengurusi segala macam kebutuhan yang menyangkut hidupku.”

Mengira emak menangis mendengar celoteh manisku. Rupanya dia tertawa. Dia berkelakar menggumam tak jelas. Sayup kecil terdengar. Dia menyebut satu kata berulang-ulang. Aku menangis menutup kuping. Kami berdua hening.

***

Hari Senin , Emak meninggalkanku di depan sebuah bangunan tua. Dia tersenyum manis. Seakan-akan dia baru saja mendoakan aku agar tidak mengalami masalah. Masih sore. Sekitar jam lima. Dengan susah payah aku beringsut masuk ke dalam bangunan itu. Sebuah gedung bioskop. Bangunan bioskop tua. Dan betul, aku sedang memasuki gedung bioskop tua.

Seorang ibu-ibu berperawakan kurus kecil dengan gigi warna-warni menghampiriku. Dia mengenalku. Mbak Sri namanya.

“Halo cakep! Sendirian lagi?”

“Emak ada urusan, kali ini dia tidak bisa nunggu!”

“Oh, ya sudah kalau begitu. Sini mbak bantu!”

Kami berdua menaiki tangga. Beberapa orang muda yang duduk-duduk di anak tangga menatapku. Aku diam kecut. Sementara mbak Sri malah sibuk tersenyum ramah kepada mereka-mereka. Aku yakin tersenyumnya mbak Sri pasti tidak tulus. Itu dilakukannya, lantaran dagangan dia harus laku.

Setelah bersusah payah menaiki tangga. Mbak Sri akhirnya mendudukkanku di sebuah bangku tunggu yang memanjang di samping lokasi pembelian tiket. Aku menyerahkan uang tiga lembar dua ribuan untuk beli tiket ke mbak Sri. Dan uang seribuan dua lembar untuk es teh manis dibungkus plastiknya mbak Sri. Rupanya di ruang tunggu, sudah mengantri banyak orang. Mereka sibuk dengan dirinya sendiri. Mereka tak saling menyapa. Mereka kenal tapi tak saling mengenal. Mereka diam tapi matanya bicara. Mereka duduk tenang tapi matanya jalan-jalan. Namun ketika mata mereka hendak jalan dan berbicara kepadaku, mendadak mata mereka terpental jauh menghindari mataku. Lebih tepatnya bibirku.

Setelah menerima selembar tiket dan es teh dibungkus plastik, aku dengan susah payah, masuk ke dalam teater nomer dua. Ada dua pilihan teater. Teater pertama memutar film dewasa semi porno mandarin entah apa judulnya. Sementara teater dua menayangkan film Indonesia agak lawas. Dan kebetulan, saat itu film yang diputar di teater dua adalah film Do(s)a.

***

Aku di dalam ruangan gelap ini sejam yang lalu. Sudah terlalu lama kuberada di dalamnya. Ruangan itu pengap. Penuh dengan debu yang lebih pantas disebut kerak. Aku menduduki sebuah kursi di barisan paling belakang sendiri. Tentu saja ruangan itu banyak sekali memajang kursi. Ada yang masih layak diduduki, ada pula yang sudah berlubang hingga kapasnya membeludak minta diganti.

Aku sudah cukup hafal dengan tata letak tiap kursi. Termasuk siapa-siapa saja yang memasuki ruangan ini. Ada laki-laki gendut berjambang yang hobinya memasang headset ditelinganya. Ada anak muda bertindik di hidung yang selalu memakai celana pensil yang baunya dari bulan ke bulan tak pernah berubah. Ada pria tambun dan bongsor yang datang berduaan dengan pemuda ceking, namun ketika masuk ruangan mereka berpencar. Segala macam laki-laki merasuki ruangan yang aku tempati ini. Semua bertujuan sama. Sama dengan tujuan aku. Sama-sama mencari senang. Mencari senang bersama-sama. Di dalam kegelapan. Jangan salah. Dari semula masuk, ruangan memang sudah ditata tanpa penerangan. Gelap gulita. Hanya korek api dan pantulan cahaya yang keluar dari ponsel yang bisa dijadikan alat penerang. Tak boleh ada senter. Hukum tak tertulis, itu mengganggu privasi.

Do(s)a hanya kamuflase. Mereka tidak menikmatinya. Mereka fokus pada pria-pria yang duduk di kursi masing-masing. Memasang insting. Memancing pria agar sudi singgah di sampingnya. Di oral dan mengoral. Penetrasi boleh saja, asal bisa menerima segala konsekuensinya. Tertular atau ditulari. Waspada saja. Gerilya, korek menyala, mencari arah. Korek padam, mengingat target sang adam. Mendekat, menyamping, meraba paha, mendesah, ditepis, pindah. Gerilya, korek menyala, mencari arah. Korek padam, mengingat target sang adam. Mendekat, menyamping, meraba, mendesah,  Membuka celana, Argh! Dan begitu seterusnya.

Film sudah hampir habis. Aku masih juga belum mendapat jatah. Tak ada satu pria yang duduk menyandar disebelahku. Rupanya tak ada orang baru. Semua ternyata hanya kumpulan pelanggan lama. Yang pastinya mereka tahu Aku. Si Untung. Pemuda dengan Palato-labio schizis yang pincang berkaki tinggi sebelah yang selalu menduduki bangku nomor tiga dari kiri paling atas tepat dibawah lampu proyektor.

Untuk seorang gay naas sepertiku, harus butuh ekstra kesabaran lebih lama dari gay-gay lainnya. Karena aku harus melewati satu babak lagi, agar tak ada pengunjung yang mengenaliku.  Aku duduk diam dalam gelap. Menanti pendatang baru yang siap dan sudi kucuci penisnya. Tanpa harus tahu bentuk bibirku, Tanpa harus tahu bentuk kakiku dan yang terpenting, “Tanpa harus tahu bagaimana hatiku merasa pilu bila mereka tahu aku!”

***

“Malam ini, Aku—Untung—sedang  tidak beruntung di dalam kegelapan.”

Tapi aku gembira. Seminggu dari hari ini, bibirku akan dibenahi lagi. Dan mungkin Emak tak akan memanggilku Cakep lagi. Hahaha!

Penulis: Imam Ocean
Jakarta, 7 November 2011

Bagikan

Cerpen Lainnya