Tulisan ini berawal dari diskusi di groups facebook Pertemuan Nasional (Pernas) AIDS 2011. Mudah-mudahan ide tulisan ini tepat dibaca publik lebih luas. Tapi, saya berpikir bahwa ide seseorang,apapun itu pikirannya sangat baik kalau disampaikan kepada publik. Karena kalau bicara hak berpendapat, kita tidak sedang bicara apakah ide itu baik atau buruk, tapi bagaimana setiap orang punya hak yang sama untuk bebas bicara tanpa rasa takut. Dari dasar itulah saya menulis pikiran saya ini. Boleh setuju ataupun tidak!
Pertama saya ingin menanyakan sekaligus mengusulkan bagaimana kalau di Pernas HIV dan AIDS, Oktober 2011 ada sesi pembahasan soal “Peran dan posisi masyarakat sipil (LSM,CSO dan populasi kunci) dalam upaya penanggulangan AIDS di Indonesia”. Misalnya berangkat dari refleksi dan pengalaman selama ini (minimal sejak adanya Peraturan Presiden No. 75 tahun 2006 tentang KPAN). Kemudian kebijakan itu dikontekskan pada mandat amandemen (perubahan) UUD 45 pasca reformasi. Jadi semua berangkat dari pengalaman dan fakta “subjektif”, baik pengalaman masyarakat sipil sendiri maupun stakeholder lainnya. Sesi ini penting, agar masyarakat sipil dan pelaksana pemerintahan bisa bersama melakukan kritik dan otokritik kerja-kerjanya sesuai dengan mandat UU, dimana peran dan tugasnya masing-masing baik masyarakat sipil maupun pemerintah.
Rupayanya dari informasi seseorang di jaringan populasi kunci, bahwa akan ada agenda “mereview” Perpres No.75/2006 di Pernas 2011 yang akan melibatkan empat pembicara tiga diantaranya Kemenkokesra, Kemendagri dan Kemenkes (mudah-mudahan tidak salah) dan satu pembicara dari perwakilan masyarakat sipil.
Agenda seperti itu memang harus diberikan apresiasi, tetapi yang perlu dipastikan bahwa perwakilan dari masing-masing Kementerian dihadiri langsung oleh menterinya. Karena ketiga Kementerian itu merupakan anggota Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) berdasarkan PerPres 75/2006 yang mempunyai tanggungjawab besar terhadap HIV dan AIDS. Ini penting dipastikan, karena Presiden Susilo Bambang Yudhono pernah menyatakan bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah lebih dari separuh tidak dijalankan oleh anggota kabinet (para Menteri).
Selain juga perlu dipertimbangkan “perwakilan” dari masyarakat sipil yang harus benar-benar memahami konteks kebijakan,antara hak rakyat dan kewajiban pemerintah. Dan yang penting “wakil” masyarakat sipil harus orang atau lembaga yang kritis terhadap kebijakan pemerintah, yaitu orang atau lembaga yang tidak “disetir” oleh kepentingan manapun selain kepentingan rakyat.Penulis: Hartoyo