Search
Close this search box.

Telah meninggal dunia bissu Puang Matoa Saidi, “The Last Bissu” kemarin, pada usia 53 tahun, di Rumah Sakit Wahidin Sudiro Husodo, Makassar pk.15.35,Selasa,28 Juni 2011. Jenazah dikebumikan di Teppoe Taraweang, Segeri, Kab.Pangkep, Sulsel.

Almarhum merupakan pemimpin tertinggi komunitas Bissu Dewatae dan penghafal sekaligus penutur naskah I La Galigo, sebuah tulisan kuno setebal lima ribu halaman yang ditemukan pada abad ke-12. Pemimpin Bissu akan digantikan oleh Puang Upe,Puang Lolo Bissu.

Bissu sendiri semacam pendeta atau pemimpin spritual zaman Bugis kuno sebelum masuknya agama Islam di wilayah Sulsel. Bissu diyakini dapat menghubungkan manusia dengan leluhur dan mengabulkan segala keinginan atau permohonan melalui doa yang menggunakan bahasa to rilangi (bahasa langit).

Bissu adalah seseorang yang kalau sekarang sebagai seorang transgender atau Waria. Walau Bissu sendiri tidak mau samakan dengan Waria dalam konteks sekarang. Karena tidak semua Waria dapat menjadi Bissu.

Fakta adanya Bissu menunjukkan bahwa keberagaman identitas gender (seperti Bissu atau Waria) sudah ada dalam budaya Indonesia sejak jaman dulu, bahkan sebelum Indonesia ada. Kekayaan keberagaman seksualitas dan identitas gender di Indonesia bukan karena budaya Barat,seperti yang selama ini selalu dikaitkan dan distigma dengan Barat. Bahwa homoseksual,waria karena pengaruh budaya Barat.

Pada masa pembersihan warga atas nama Komunis pada tahun 1965, kelompok Bissu salah satu kelompok yang “diburu” oleh pemerintah orde baru saat itu. Alasannya karena Bissu dianggap sebagai kelompok yang kafir atau tidak beragama. Kelompok Kahar Muzakar atas nama Islam melakukan “pemburuan” pada kelompok Bissu ini. Sehingga kelompok Bissu semakin “menghilang” sebagai sebuah identitasnya, karena distigma kafir dan menyimpang dari Islam. Aklibatnya sebagian Bissu memeluk agama Islam dengan tetap menjaga identitas Bissunya. Bahkan Bissu ada yang menunaikan ibadah haji,seperti yang dilakukan oleh Puang Saidi.

Tapi itu semuanya kalau dilihat lebih jauh salah satunya untuk pertahanan identitas mereka dari tekanan negara yang sangat refresif pada masa itu. Setelah pasca reformasi tahun 1998, identitas Bissu kembali diakui sebagai kekayaan kebudayaan Indonesia. Setiap tahunnya pada perayaan kebudayan ataupun pada hari-hari besar, kelompok Bissu selalu dilibatkan dalam kegiatan dilakukan oleh Pemerintah.

Bahkan ketika Puang Saidi sakit keras, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengutus tim Staf Khusus kepresidenan RI Bidang Bantuan Sosial dan Bencana, Muhammad Nurkhoiron untuk melihat kondisi almarhum Puang Saidi. Ini sebagai bukti bahwa pemerintah telah mengakui Bissu sebagai sebuah identitas yang harus diberikan tempat di Indonesia. Tapi apakah secara otomatis pemerintah Indonesia juga mengakui identitas Waria di negeri ini?

Selain Bissu, di Indonesia bisa dilihat yang kebudayaan yang lain berkaitan dengan keberagaman seksualitas dan identitas gende dalam serat Centhini, relief candi-candi, budaya Warok-Gemblak  di Jawa Timur, Kesenian Ludruk, budaya induk jawi-anak jawi di Sumatera Barat sampai tari Seudati dari Aceh. Kalau diteliti dan ditelusuri dengan seksama masih banyak lagi budaya di Indonesia yang menunjukkan adanya keberagaman seksualitas dan identitas gender tersebut. Untuk itu mari kita merayakan keberagaman untuk Indonesia menjadi lebih baik.

Selamat jalan Puang Saidi! Anda telah memberikan pendidikan keberagaman pada bangsa ini.

Penulis: Hartoyo