Untuk pertama kalinya dalam sejarah Konferensi Masyarakat Sipil ASEAN, hak-hak kelompok lesbian, gay, biseksual, trans, interseks dan queer (LGBTIQ) diangkat. Mereka berdiskusi dalam workshop Promosi dan Perlindungan hak-hak azasi manusia kelompok-kelompok yang disebut LGBTIQ di ASEAN, yang mendiskusikan situasi, tantangan-tantangan, capaian, dan tuntutan-tuntutan yang disusun oleh kelompok tersebut.
ASEAN adalah tempat kelahiran Prinsip Yogyakarta mengenai Penerapan Hukum-hukum HAM Internasional dalam kaitannya dengan Orientasi Seksual dan Identitas Jender (SOGI). Hingga saat ini LGBTIQ di ASEAN masih menghadapi pelecehan yang jahat atas hak-hak mereka dan terus menerus dilanggar, didiskriminasi, dihukum, dan dikriminalisasi atas dasar siapa mereka, yang dilakukan baik oleh aktor negara maupun non negara. Beberapa contoh, hukum yang asalnya netral, seperti hukum anti-penculikan, hukum tindakan mesum di muka umum, dan hukum anti-obat-obatan juga digunakan secara tidak adil untuk menargetkan komunitas LGBTIQ.
Kurangnya pengakuan terhadap otonomi-diri sendiri juga membuat individu transjender dilarang melakukan operasi ganti kelamin, mengganti jenis kelamin mereka di dalam dokumen-dokumen resmi dan mencari layanan medis yang layak. Karena kurangnya pengakuan terhadap hak-hak hukum mereka, banyak kaum LGBTIQ berada dalam situasi tanpa perlindungan hukum untuk mencari keadilan atas kejahatan dan pelecehan yang mereka alami.
Namun demikian, para aktivis telah sukses menciptakan ruang dan pergerakan untuk mempromosikan hak-hak LGBTIQ, seperti parade kehormatan di Philipina, pertemuan Pink Dot di Singapura, Seksualiti Merdeka di Malaysia, Phnom Penh Pride di Kamboja, Q Film Festival di Indonesia, Hari Keragaman Seksual di Thailand, dan lain-lain. Banyak negeri juga merayakan peristiwa-peristiwa seperti Hari Melawan Homophobia Internasional (International Day Against Homophobia-IDAHO) .
Dengan demikian, kaukus LGBTIQ ASEAN, atas dasar masukan dari peserta workshop, dan dengan mengakui atas keterbatasan formatnya, membuat tiga rekomendasi pada pemerintah-pemerintah di ASEAN:
- Mencabut peraturan-peraturan yang secara langsung maupun tak langsung mengkriminalisasi SOGI; mengakui hak-hak LGBTIQ sebagai hak azasi manusia, dan mengharmonisasi hukum-perundangan nasional, kebijakan-kebijakan dan praktek-prakteknya sesuai dengan Prinsip Yogyakarta.
- Menetapkan mekanisme-mekanisme di tingkat nasional dan meninjau instrumen-instrumen rejional HAM yang berlaku saat ini (AIHRC, ACWC) menyertakan promosi dan perlindungan terhadap hak-hak yang sama bagi semua rakyat termasuk SOGI dengan keterlibatan aktif komunitas LGBTIQ.
- Tidak lagi menganggap SOGI sebagai penyakit dan mempromosikan kebahagiaan psikologis keragaman SOGI sesuai dengan standar WHO, dan menjamin akses setara atas kesehatan dan layanan sosial.
Informasi lebih lanjut hubungi Mida Saragih email ms.mida.saragih@gmail.com, 081322306673 dan Lilik HS,0818 777 500 atau email lilik_hs@yahoo.com
Jakarta, 4 Mei 2011