Search
Close this search box.

Suarakita.org- Beteeeeee!!!  Ternyata Indonesia menolak memasukkan preferensi orientasi seksual dan identitas gender dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).  “Untung pengambilan suaranya menang bagi yang mendukung”, ungkap Devri seorang gay di Bandung ketika menuliskan status di facebooknya.

Ungkapan senada juga dituliskan oleh Kamel, seorang aktivis Lesbian muda di Jakarta, “Indonesia memilih Iya untuk hukuman mati bagi kelompok Lesbian, Gay, Biseksual,Transgender (LGBT) dalam voting di sidang umum PBB.   Ini tidak sesuai dengan pernyataan staff Kementerian Luar Negeri bohong, katanya mau pilih abstain?” Ungkap Kamel dalam komentar di facebooknya.

Pada akhir Desember 2010, Majelis umum PBB telah memasukan kembali orientasi seksual dalam resolusi tentang melawan eksekusi ekstra-yudisial (menghukum orang tanpa proses pengadilan) serta membolehkan hukuman mati atas dasar orientasi seksual.  Hukuman seperti itu menurut negara-negara pendukung resolusi sangat tidak sesuai dengan semangat penegakan hak asasi manusia di muka bumi.   Siapapun atas dasar apapun tidak boleh dihukum semena-mena tanpa proses pengadilan, bahkan sampai dihukum mati atas dasar orientasi seksual dan identitas gender.  Gagasan resolusi ini diinisiasi oleh Amerika Serikat dengan dukungan beberapa negara Amerika Latin, Eropa dan Afrika Selatan.  Dalam resolusi tersebut dimasukan beberapa kelompok rentan secara khusus yang rawan terhadap kekerasan, salah satunya kelompok yang memiliki orientasi seksual dan identitas gender berbeda secara umum.

Usulan memasukan kata orientasi seksual dan identitas gender mendapatkan penolakan banyak negara terutama negara yang berpenduduk Muslim ataupun Kristen “fundamentalis”.  Sehingga akhirnya dilakukan voting pada November 2010.  Hasil suara sementara 79 negara yang didominasi negara Timur Tengah dan Afrika mendukung dikeluarkannya orientasi seksual dan identitas.  Sedangkan 70 negara menolak orientasi seksual dan identitas dikeluarkan dalam resolusi tersebut yang dimotori oleh Amerika Serikat,Uni Eropa dan negara-negara Skandinavia.  Ada 17 negara abstain. Indonesia dalam hal ini menjadi salah satu negara pendukung dikeluarkannya orientasi seksual dan identitas gender masuk dalam resolusi tersebut. Keputusan itu tidak berhenti saat itu saja, ada banyak tarik menarik dan lobby yang dilakukan oleh berbagai pihak, salah satunya para aktivis LGBT di seluruh dunia diantara International Gay and Lesbian Human Rights Commision (IGLHRC) dan International Lesbian,Gay, Biseksual, Transgender and Intersex Association (ILGA) melakukan upaya advokasi untuk tetap memasukan orientasi seksual dan identitas gender ke dalam resolusi tersebut.  Termasuk di lakukan oleh aktivis LGBT di Indonesia.

Akhirnya pada 21 Desember 2010  dilakukan kembali voting akhir yang memutuskan, sebanyak 93 negara mendukung memasukan kembali orientasi seksual ke dalam resolusi tersebut, 55 negara menentang dan 27 negara abstain. Negara-negara yang  mendukung diantaranya Argentina, Kanada, Amerika Serikat, negara-negara Uni Eropa, Timor Leste di Asia, Rwanda dan Afrika Selatan di Afrika.   Sedangkan Indonesia merupakan salah satu dari 55 negara yang menentang dimasukannya orientasi seksual sebagai kelompok yang harus dilindungi secara khusus terhadap praktek hukuman semena-mena.

Sebelumnya, pada 20 Desember 2010 lalu, Ourvoice dan Arus Pelangi, lembaga yang bekerja untuk hak-hak kelompok homoseksual di Indonesia telah melakukan audiensi dengan 3 orang staf perwakilan Departemen Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, yaitu: Gadis Ranty, Imada Simbolon dan Rina Komaria.  Pada pertemuan tersebut, pihak Kemenlu menjanjikan bahwa Indonesia akan memberikan suara abstain untuk draft yang diusulkan oleh Amerika Serikat, namun sungguh mengecewakan pada kenyataannya Indonesia tetap menolak orientasi seksual dimasukan dalam draft tersebut pada voting terakhir.

Menurut pendapat Gadis Ranty, bahwa kelompok LGBT tidak harus secara khusus dilindungi karena mereka sama saja posisinya dengan warga negara lainnya.  Itulah yang menjadi alasan mengapa Indonesia mendukung pencabutan orientasi seksual dan identitas gender di dalam resolusi tersebut.  Ketika ditanyakan mengapa Indonesia menyetujui affirmative bagi kelompok rentan lainnya, seperti perempuan, anak, penyandang cacat, lansia dan masyarakat adat? pihak Kemenlu melalui Gadis Ranty mengatakan bahwa masyarakat Indonesia masih belum dapat menerima keberadaan kelompok LGBT. Sehingga mereka tidak perlu dilindungi secara khusus karena sudah dilindungi dalam konsep HAM secara universal.

Sikap ini menunjukkan inkonsistensi dan inskonstitusional terhadap dasar negara Indonesia, Undang Undang Dasar 45.

Di dalam UUD  45 pasal 28H ayat 2 meyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.  Kemudian diperkuat lagi dalam UU.No 39 Tahun 1999 pasal 5, bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Sehingga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sendiri mengkategorikan kelompok LGBT sebagai kelompok rentan yang harus mendapatkan perlindungan khusus atas kerentananya itu.

Kasus pembubaran konferensi ILGA Asia Maret 2010 di Surabaya dan pembubaran pelatihan HAM Waria pada bulan April 2010 di Depok oleh kelompok Islam garis keras menunjukkan bahwa kelompok LGBT menjadi sangat rentan terhadap diskriminasi dalam mengakses hak-hak dasarnya. Dua kasus itu hanya contoh dari fenomena gunung es dihadapi oleh kelompok LGBT mendapatkan kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat maupun negara.  Sehingga alasan staff Kemenlu RI yang meyatakan bahwa kelompok LGBT tidak perlu mendapatkan perlindungan khusus merupakan sebuah tindakan yang tidak melihat kenyataan di lapangan.

Sikap pemerintah Indonesia melalui Kemenlu menunjukkan Indonesia sama sekali tidak peduli dengan hak-hak warga negaranya khususnya kelompok LGBT.  Padahal sebagai negara terbesar mayoritas muslim, semestinya dapat menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia negara yang pro pada hak kelompok LGBT dengan menolak segala bentuk hukuman tidak manusiawi atas dasar orientasi seksual dan identitas gender.   Selain itu, Indonesia juga salah satu negara yang berpenduduk muslim terbesar telah berhasil menjalankan sistem demokrasi dalam penegakan hak-hak asasi manusia.

Situasi demokrasi Indonesia jauh lebih maju dibandingkan negara-negara berpenduduk muslim lainnya.  Semestinya ini menjadi pertimbangan besar bagi pemerintah, khususnya Kemenlu dalam mengambil keputusan resolusi tentang pembelaan pada kelompok LGBT.  Selain itu Indonesia bukan negara mengkriminalkan kelompok homoseksual pada tingkat nasional dibandingkan negara-negara Islam lainnya.

Menurut catatan ILGA ada 8 negara di dunia yang mengkriminalkan kelompok LGBT seperti  Irak, Iran, Saudi Arabia dan beberapa negara Afrika yang konservatif.   Sayangnya dalam putusan relolusi ini, Indonesia tergabung kedalam negara-negara yang menghukum mati kelompok LGBT.  Dengan kata lain Indonesia bersama negara-negara Arab dan sebagian Afrika ikut melanggengkan hukuman mati atas dasar orientasi seksual dan identitas gender.

Padahal Konstitusi Indonesia, UUD 45, mengatur hak atas bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia (pasal 28G ayat 2), hak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun (pasal 28 ayat 2).  Kemudian perkuat dalam UU No.5 Tahun.1998 tentang Ratifikasi atas Konvensi Penyiksaan dan Perlakuan atau hukuman lain yang kejam dan Tindakan Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat.  Oleh karena itu, untuk melawan penyiksaan dan hukuman tidak manusiawi bagi kelompok LGBT, Indonesia seharusnya menjadi pioner bagi negara-negara mayoritas muslim ataupun di Asia.  Bukan menunjukkan sikap menolak ataupun abstain terhadap perlindungan khusus bagi kelompok LGBT.

Sikap pemerintah Indonesia menolak memasukan orientasi seksual justru bertentangan dengan konstitusi Indonesia, termasuk sikap abstain yang dilakukan oleh Indonesia selama ini ditingkat International berkaitan dengan orientasi seksual justru semakin memarginalkan kelompok LGBT.  Hal ini menunjukkan keengananan pemerintah Indonesia melindungi setiap warga negaran yang merupakan mandate konstitusi. Sepertinya dalam penegakan hak asasi manusia, Indonesia masih harus tertinggal dengan negara Asia  seperti Timor Leste, Jepang, Nepal dan India sebagai salah satu negara pendukung memasukan orientasi seksual sebagai kelompok yang harus dilindungi secara khusus dalam resolusi tersebut. Karena sikap abstain saja tidak cukup bagi Indonesia!

Tulisan ini sudah dipublikasikan di Jakarta Globe versi bahasa Inggris, 4 Januari 2011.

http://www.thejakartaglobe.com/opinion/the-thinker-exposed-at-the-un/415072