Oleh : Antok Serean
Suarakita.org-Surabaya – Sabtu, 11 Desember 2010. Saya berjalan gegas meninggalkan kos di Plemahan. Perayaan malam minggu riuh Surabaya – di sepanjang Kaliasin, Tunjungan Plasa, dan Taman Apsari. Saya juga malam mingguan, Kawan. Di sana, di Balai Pemuda bersama kawan-kawan sastrawan. Ah, hangat merebak di dada. Saya ke toilet dulu. Menyapu rambut dengan minyak, memercik leher dengan colone aroma musky. Ehem, pantulan wajah di cermin terlihat ganteng. Dengan percaya diri saya melangkah ke lokasi acara, Galeri Surabaya.
Empunya acara, Mas Ribut, menjabat tangan. Dilanjutkan kawan-kawan lain: M Anshor Sja’roni, Aferu Fajar, Angga, Alex, Yovi dll. Saya guneman dengan Mas Anshor, berbagi kegiatan sehari-hari. Aih, Beyonce berulangkali teriak Single Ladies, mengabarkan permintaan maaf kawan-kawan yang tak bisa datang. Semua komunitas LGBT sudah saya hubungi, tapi belum satu pun yang muncul. “Mas, setengah delapan mulai ya,” ujar Mas Ribut. Saya mengangguk. Api di hati kebat-kebit tertiup angin. Saya melangkah ke ruangan. Urung mengambil kopi ketika melihat dua kawan muncul di parkiran. Saya jingkrak-jingkrak menyambutnya: Mas Tonny dan Mbak Maria.
Mas Ribut membuka acara, bilang kalau Halte Sastra bulan ini mengangkat 4 sastrawan yang tidak lahir di Surabaya, tetapi memberi kontribusi bagi kesusastraan di Surabaya dan ini patut diapresiasi: Dadang Ari Murtono, Antok Serean, M Anshor Sja’roni, dan Aferu Fajar. Selanjutnya, pembacaan cerpen Barindah karya M Anshor Sja’roni.
“Selamat malam teman-teman semua. Sugeng dalu para rawuh sedaya,” ucap saya sebelum membaca nukilan cerpen Air dan Api. Saya berusaha tatag. Kelebatan kasus ILGA, pengalaman traumatik, sekaligus kerja keras bikin cerpen saling tinju. Saya berdiri, membaca tanpa mix. Emosi tak terkontrol bikin kata-kata belepotan. Selalu, tak pernah mudah menghadapi lalu yang tiba-tiba menyeruak ke permukaan. Tepuk-tangan menggema. Saya mengusap wajah. Lega, bisa menuntaskan satu pertarungan.
Sayang sekali, Mas Dadang Ali Murtono (cerpennya Aku Mendengar Suara Kembang yang Dijatuhkan) tak bisa hadir. Alhasil, Mas Alex memandu diskusi tiga cerpenis: saya (cerpen Air dan Api), Mas Anshor (cerpen Barindah), dan Mas Aferu (cerpen Hanya Ada di Indonesia). Masing-masing cerita tentang proses kreatif menulis cerpen. Saya bicara ngalor-ngidul, bahwa proses menulis yang saya jalani bertolak dari kecintaan pada buku. Perubahan terjadi ketika saya membaca buku karya tiga penulis: almarhum Pramoedya Ananta Toer, Dewi Lestari, dan Ayu Utami. Sepenuhnya otodidak. Bertahun-tahun mengutak-atik pikiran, perasaan, gagasan, kejadian, dan berusaha menuangkan ke bentuk tulisan. Eksplorasi terus berjalan sampai sekarang. Sebab proses menulis searah dengan proses berkehidupan penulisnya. Hanya berhenti ketika ruh lepas dari raga. Nanti.
Diskusi terasa gayeng dan interaktif. Beberapa kawan menanyakan sastra sebagai alat propaganda—cerpen saya—, hubungan estetika dan gagasan, penulis tak mau lepas dari realitas, motivasi seseorang menulis cerpen, rumusan cerpen itu sendiri, kritik sastra, dominasi sastra populer atas sastra non populer, amanah dalam cerpen, dan lain sebagainya. Masing-masing penulis menjawab sesuai interpretasi-nya sendiri. Saya bungah ketika Siti, gadis berjilbab hitam nan manis, mengaku suka dengan cerpen saya. Dan kebetulan di bangku kuliah sedang ada pembahasan LGBT dalam sastra. Saya menghaturkan terima kasih yang mendalam padanya.
Dari jauh Mas Ribut lempar isyarat ke Mas Alex. Tak terasa, dua jam lewat. Tepat setengah sepuluh, Mas Alex menutup Halte Sastra. Dia bilang, acara ini tetap penting diadakan sebagai wadah komunikasi sastrawan-sastrawan di Surabaya, sekaligus media aktualisasi diri. Saya bersalaman dengan Mas Anshor, Mas Alex, dan Mas Aferu. Sekali lagi, mengucapkan terima kasih.
Belum sempat merapikan buku dan alat tulis, kawan-kawan menyerbu minta tanda tangan. Saya bertanya nama dan dari mana. Terharu, banyak yang datang jauh-jauh dari Gresik. Tiba-tiba seorang gadis berjilbab hitam menyeruak,”Mas Antok ya. Saya yang tadi sms.” Ya Tuhan, saya mengusap wajah. Dia—saya memanggilnya Lin—sedari sore sms saya ingin jumpa, sekaligus ingin hadir di Halte Sastra. Sempat bingung di terminal Wilangun, angkot sudah habis, dan tak tahu lokasi kegiatan, sendirian. Wajahnya bersinar, meski tiba tepat bubar acara. Saya sangat tergugah ketika dia cerita perihal tulisannya, bertema gay, yang dikritik seorang penyair, bahwa gay disebabkan faktor keturunan. Dan dia menjawab dengan analogi pelangi, bahwa seksualitas beragam. Saya memberi masukan perihal realitas homoseksual dilihat dari perspektif HAM, kajian psikologis yang tidak menggolongkan sebagai gangguan jiwa, untuk baca Serat Centhini, mairilan dan sihaq di pesantren, dan perkembangan seksualitas mutakhir. Dia terlihat lega, meski penat masih jelas terlihat. Selanjutnya, saya beringsut ke Mas Yovi dari VHR yang menunggu untuk wawancara. Sambil merokok dan makan pisang goreng, saya menjawab pertanyaan seputar pesan yang ingin disampaikan ke pembaca, kenapa bikin cerpen berlatar kasus ILGA, dan kontradiksi tokoh Islam garis keras yang di masa lalu pernah menghamili gadis, tapi di akhir cerita tak mengakui punya istri dan anak. Saya menjawab semuanya. Sedikit mengulang, sebab di cerpen Air dan Api sudah terpapar eksplisit dengan realisme sosial-nya.
Satu-persatu kawan meninggalkan parkiran. Saya mengucap matur nuwun pada Mas Ribut. Pelataran lengang. Tinggal saya, Nisa, dan Hanifah ngerumpi bikin cerpen yang bagus dan cara mengatasi hambatannya. Saya melihat jam di HP, pukul 23.23 wib. Pun Nisa dan Hanifah pamit pulang. Tinggal saya, sendirian.
Saya meninggalkan Balai Pemuda dengan tapak ringan, menyusuri trotoar depan kantor Gubernur, menatap sekumpulan anak muda dengan Motor Gede (Moge) di Taman Apsari, mengamati sopir taksi yang ngangsu berkah di depan hotel Simpang, melintasi pengemis di jembatan penyeberangan, mendengarkan derai tawa brondong-brondong yang ngeksis di depan Tunjungan Plasa, masuk gang Kaliasin yang dipenuhi orang-orang cangkruk di warung kopi, cuek dengan siutan genit geng gay di depan salon, masuk ke gang Plemahan IV.
Kamar menyambut saya seperti sahabat lama. Saya melempar tas dengan sedikit gelo. Semua kawan pergerakan LGBT di Surabaya saya undang, tapi sedikit yang datang. Yang berjanji pun ingkar. Saya merebahkan tubuh di kasur apek. Aih-aih, inilah bodohnya saya. Bukankah malam minggu paling asyik buat gendhakan, dugem, atau karaoke, ketimbang melihat penulis yang babad alas mengangkat isu keragaman seksual melalui sastra. Bukan begitu bukan?
Plemahan, 12.12.2010, 01.26 PM
Kata Pengantar Ketua Umum Dewan Kesenian Surabaya (DKS)
Siapakah yang pantas disebut sastrawan Surabaya? Pertanyaan ini tidak terlalu penting dijawab. Sayangnya, pertanyaan yang tidak terlalu penting ini kerap mengundang soal. Kerap dipertanyakan. Maka butuh jawaban.
Kalau mengacu pada ajang Porprov (olahraga), sastrawan Surabaya adalah penulis karya sastra yang memiliki KTP Surabaya. Kalau mengacu pada identitas kampung halaman, sastrawan Surabaya harus kelahiran Surabaya. Meski telah lama berada di Jakarta dan ber-KTP Jakarta, dia tetap layak disebut sastrawan Surabaya.
Di luar dua kategori tersebut, ada kalangan lain yang patut dihormati. Mereka adalah orang-orang yang tidak lahir di Surabaya; tetapi, mereka turut berjibaku mengembangkan kondusivitas kesusastraan di Surabaya. Mereka, secara akal sehat, kalangan terakhir ini patut disebut sastrawan Surabaya. Sebab, mereka sering berproses kreatif di Surabaya dan memberi kontribusi bagi arah tuju sastra di Surabaya.
Kali ini, Halte Sastra menampilkan empat sastrawan yang lahir bukan di Surabaya, namun sangat berkontribusi terhadap sastra di Surabaya. Mereka adalah Dadang Ari Murtono, Antok Serean, M Anshor Sja’roni, dan Aferu Fajar. Masing-masing sastrawan menyumbangkan 1 judul cerita pendek (cerpen).
Dewan Kesenian Surabaya mengucapkan selamat kepada keempat sastrawan. DKS juga mengucapkan terima kasih kepada para sastrawan lain yang selalu setia mendukung acara Halte Sastra. Semoga kesusastraan Surabaya semakin sehat dan berkembang.
Sabrot D Malioboro
Ketua Umum DKS
Sumber : http://kampunglanang.wordpress.com/2010/12/12/catatan-halte-sastra-sastrawan-surabaya-yang-lahir-bukan-di-surabaya/