Search
Close this search box.

Aku Tidak Pernah Lupa!

Suarakita.org-

Kehormatan saya adalah berkorban demi masyarakat, bangsa dan negara
(Catur Prasetya Kepolisian)

1 Juli 2010 diperingatan sebagai Hari Bhayangkara yang ke-64. Itu adalah waktu yang cukup  dewasa.  Bahkan sudah dapat dikatakan masa senja atau tua untuk ukuran manusia. Diharapkan agar kepolisian dapat menjadi lembaga yang mengayomi, melindungi  dan membela bagi mereka yang tertindas. Tapi apakah Polisi kita sudah sedewasa itu?

Aku teringat peristiwa  pada  22 – 23 Januari 2007. Ada peristiwa yang sungguh amat menyakiti diriku dan tidak mudah untuk aku lupakan. Sangat biadab !  Hampir tiga setengah tahun aku terus mengingatnya. Bahkan sampai detik ini! Trauma berkepanjangan terus aku alami atas  perlakuan yang tidak manusiawi itu.  Tidak pernah bisa dilupakan sebelum keadilan itu datang untukku.

Malam itu aku dan pasanganku sejenis (gay) diseret oleh massa. Aku sedang bercinta di rumah kontrakanku sendiri.  Hubungan seks yang katanya tidak lazim atau dosa. Aku mendapatkan pukul oleh sekitar 4 orang dengan disaksikan oleh masyarakat lainnya. Malu dan begitu hinanya seksualitasku sebagai seorang gay.

Kemudian aku dan pasanganku dibawa oleh polisi menuju Kantor Polsek Banda Raya, Banda Aceh sekitar pukul 23.30 WIB.  Harapan untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian hanya isapan jembol belaka.  Catur Prasetya dan janji polisi sebagai pelindung masyarakat hanya menjadi slogan belaka. Hanya menjadi dongeng anak-anak menjelang tidur.

Sekitar  7 orang aparat kepolisian Polsek Banda Raya Propinsi Nanggroe Aceh Darusalam meyambutku dengan tamparan dan pukulan.  Bahkan aku dan pasanganku langsung diminta telanjang bulat dengan disaksikan oleh anggota polisi yang lain.  Aku dipaksa  untuk saling memegang penis dan kemudian dipaksa melakukan onani satu sama lain.  Aku menolak, tetapi penolakan itu disambut dengan pukulan demi pukulan ke tubuhku.

Tidak puas dengan perlakuan itu, aku dipaksa untuk melakukan oral seks di depan polisi.  Polisi terus memberikan hinaan. Aku dikatakan sebagai manusia kotor dan amoral.  Belum juga puas dengan perlakuan itu sekitar pukul pukul 03.00 WIB aku disemprot dengan air kran dalam keadaan tanpa baju. Kemudian, tiba-tiba kepalaku dikencingi oleh pasanganku atas perintah polisi itu.  Biadab!!!

Aku berpikir dengan seekor tikus yang ada di selokan rumah jauh lebih berharga dari diriku. Hancur semua hidup dan  martabat kemanusiaanku. Prinsip-prinsip hak asasi manusia yang aku pelajari roboh dan hancur semua pada malam itu. Belum puas ke-7 anggota polisi melakukan penyiksaan terhadap diriku.  Salah seorang dari anggota polisi menempelkan senjata laras panjangnya di bagian anusku.  Anus sebagai ”simbol” seksualitasku.

Apakah ini menjadi budaya di kepolisian? Menurut Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Edward Aritonang bahwa cara kekerasan itu dilakukan  oleh oknum kepolisian bukan kelembagaan. Hal ini juga dipertegas oleh pejabat Polri yang hadir dalam diskusi Akuntabilitas Polri yang diadakan oleh UNODC (United Nation on Drug and Crime) di Hotel Four Season Jakarta, 25 Juni 2010 bahwa kekerasan yang dilakukan oleh polisi dilakukan oleh oknum bukan pada sistemnya kepolisiannya.

Argumentasi bahwa ini dilakukan oleh oknum selalu aku dengar dari pejabat kepolisian sebelum masa reformasi.  Aku. Sebagai korban penyiksaan polisi alasan bahwa ini dilakukan oleh oknum telah melukai hatiku.  Kalau itu kelakuan oknum, mengapa pada malam biadab itu tidak ada satu orang polisipun melindingi aku dari peyiksaan dan pemerkosaan? Mengapa mereka membiarkan penyiksaan dan pemerkosaan itu terus berlangsung?

Menurut penelitian Amnesty International Juni-Agustus 2008 dan April 2009 bahwa praktek  kekerasan dikepolisian masih terus berlangsung selama penangkapan, interogasi dan penahanan.  Data ini diperkuat oleh survei Lembaga Bantuan Hukum(LBH) Jakarta 2008 terhadap 307 responden ditahanan Cipinang Salemba Jakarta Pusat, bahwa 83,65 persen responden meyatakan dikerasi oleh polisi.  Sehingga menurutku praktek kekerasan dan penyiksaan yang dilakukan oleh kepolisian bukan lagi dilakukan oleh oknum tetapi sudah menjadi ”budaya” yang tersistematis.

Aku dikeluarkan esok harinya dari tahanan bersama pasanganku atas bantuan teman-teman aktivis dan anggota DPR RI.  Sebelum keluar aku harus menandatangani surat perjanjian untuk tidak menjalin hubungan sejenis lagi. Seksualitasku adalah hak dan otoritas tubuhku.  Polisi tidak berhak ikut campur urusan seksualitasku.  Aku berpikir bagaimana jika penyiksaan ini dialami oleh orang miskin, pekerja seks, waria, pecandu narkoba, anak jalanan, gelandangan dan kelompok marginal lainnya? Kelompok-kelompok inilah menurut Amnesty International yang sering mendapatkan kekerasan itu.   Hukum memang diskriminatif,    selalu “tajam”  kebawah, tidak keatas.

Atas kejadian itu aku tidak diam. Aku melawan. Kalau Pak Edward meyarankan melaporkan para pelakunya, itu aku lakukan.  Berbagai upaya aku lakukan.  Sebuah keputusan yang berat bagiku untuk berani melaporkan kebiadaban para pelakunya. Belum lagi aku harus berhadapan dengan sistem dalam kepolisian sendiri, pelakunya polisi diselidiki oleh Divisi Profesi dan Pengamanan (Propram) Polri.  Ini jalan hukum yang harus aku tempuh untuk menindak tegas para pelakunya. Tidak ada alternatif lain.

Proses pembuktian berjalan tersendat-sendat, polisi selalu beralasan sulit menghadirkan saksi.  Pasanganku tidak mau dilibatkan sebagai saksi dalam kasus ini. Bagaimana mungkin aku meminta pasanganku menjadi saksi, atas kejadian itu dia hilang kontak denganku. Pasanganku sendiri menanggap bahwa menjadi seorang gay sebuah hal yang aib dan memalukan.

Hampir 14 bulan aku menunggu keputusan atas perlakuan biadab itu. Aku harus berhadapan lagi dengan sistem peradilan di Indonesia. Pada saat persidangan bukannya keadilan yang aku terima tetapi ceramah/nasihat agar kembali ke jalan yang dilakukan oleh Hakim tunggal persidangan tersebut.  Aku berpikir sejak kapan seorang hakim berubah tugas menjadi seorang ulama?  Ironis sekali, seakan-akan hakim seperti membenarkan perlakuan penyiksaan dan pemerkosaan itu terjadi terhadap diriku. Itu yang aku rasakan. Hakim menghubung-hubungkan seksualitasku sebagai seorang gay dengan bencana tsunami yang terjadi di Aceh.  Aku ingat nama hakim itu, Sugeng Budianto, SH dari informasi yang kuperoleh sudah dipindahkan ke Pengadilan Negeri Solo.  Putusan hakim untuk para pelaku yang semuanya anggota polisi (Rahmat Hidayat, Wahyu Pratama, Rahayu Saputra, Amrizal) dijerat pasal 352 KUHP tentang penganiayaan tindak pidana ringan.  Hakim juga memutuskan keempat pelaku dengan denda Rp 1.000 dan hukuman percobaan.

Aku sebagai korban yang diwakili oleh penyidik dan sekaligus penuntut umum, bapak Sujono, S.sos (anggota polisi) tidak melakukan pembelaan terhadap diriku selama proses persidangan atas putusan pengadilan itu.  Dalam hal ini kepolisian dan hakim telah melakukan kembali kekerasan pada diriku.  Ini persidangan ”dagelan”, pikirku.  Persidangan tanpa rasa keadilan bagi korban.  Kasus penyiksaan dan pemerkosaan ”disamakan” sanksinya dengan kasus pelanggaran lalu lintas biasa. Sungguh sangat biadab!!!

Aku sebagai warga negara yang telah membayar pajak sangat sulit mempercayai sistem peradilan seperti ini?  Bagiku mereka (kepolisian dan pengadilan) telah melacurkan profesinya sendiri.  Penyiksaan yang dilakukan oleh polisi terhadap diriku, sebagai sebuah kejahatan kemanusiaan menjadi kasus tak berarti apa-apa.  Kebijakan yang melarang praktek penyiksaan atas dasar apapun menjadi mandul. Padahal ada ribuan orang disiksa yang pelakunya adalah aparat negara.  Tetapi sangat sedikit sekali para korban berani melaporkan penyiksaan tersebut.  Sekarang, aku tahu jawabannya. Karena sulit sekali adanya keadilan bagi korban. Seperti yang aku alami.

Walau ini berat, dihari ulang tahun Bhayangkara ini, aku sebagai korban penyiksaan berharap kedepannya kepolisian Republik Indonesia menjadi polisi yang benar-benar menginternalisasi makna Catur Prasetya yang sudah dibuatnya sendiri.  Polisi yang cinta dan melindungi rakyatnya. Tanpa Penyiksaan dan Kekerasan.

Selamat Hari Bhayangkara, 1 Juli 2010

Penulis: Hartoyo, SeKum Ourvoice / Survivor Penyiksaan Polisi