Search
Close this search box.

Analisis: Konferensi Gay

Suarakita.org-KONFERENSI Internasional Lesbi, Biseks, Gay, dan Transgender (LBGT) tingkat Asia batal digelar di Surabaya karena penolakan dari sejumlah ormas Islam dengan alasan agama.   Karena protes tersebut, polisi tidak berani mengeluarkan surat izin.  Sri Sultan HB X yang dikenal pluralis dan multikulturalis juga menolak acara tersebut pindah ke Yogja, bukan karena alasan agama, tetapi karena alasan etika.  Tampaknya Sultan ingin menghindari risiko politik meskipun secara pribadi memahami dan menghargai eksistensi mereka.

Sebenarnya fenomena LBGT sudah menjadi bagian dari realitas kehidupan di masyarakat kita.  Ada sejumlah tokoh nasional, intelektual, agamawan, anggota parlemen, jurnalis, artis, presenter, atau designer top yang diketahui mempunyai orientasi seksual seperti itu. Seni tradisional Jawa Timur ludruk selalu menampilkan pemain laki-laki yang memainkan peran perempuan (transgender) .  Pada masa lalu para warok di Ponorogo memelihara gemblak dan melakukan praktik homoseks.  Dalam mitologi pewayangan, Srikandi adalah sosok transgender.

Salah satu perdebatan dalam kajian LBGT adalah apakah orientasi seksual seperti itu merupakan faktor bawaan (takdir) atau karena pengaruh lingkungan (menular).   Dari berbagai kajian, tampaknya faktor pertama lebih menonjol ketimbang faktor kedua.  Jika demikian, sebenarnya para LBGT tidak dapat disalahkan.  Mereka menjadi seperti itu karena dari ‘sono’nya memang sudah begitu.  Ini sama dengan orang yang terlahir berkulit hitam atau kidal.  Stigmatisasi atau marginalisasi terhadap mereka tidak akan membuat mereka berubah.

Apa perlu karena stigmatisasi, orang hitam mengubah kulitnya menjadi putih seperti yang dilakukan Michael Jackson?  Seperti juga apakah orang kidal harus dipaksa atau memaksakan diri menggunakan kaki atau tangan kanannya ketika beraktivitas?
Tentang sifat ‘takdir’ dari fenomena LBGT, dapat disimak cerita menarik dari seorang gay, sebut saja Didik (nama samaran).

Didik telah menyadari ‘takdir’ gaynya ketika masih duduk di bangku SMP.  Di usia tersebut pada dirinya sudah mulai tumbuh hasrat seksual terhadap orang sejenis.  Ia sama sekali tidak tertarik pada gambar porno perempuan, tetapi lebih tertarik melihat gambar Tarzan yang macho.  Karenanya dia selalu aman ketika di sekolah dilakukan razia gambar porno, karena di tasnya tidak pernah tersimpan gambar perempuan telanjang tetapi komik Tarzan.

Menyadari bahwa orientasi seks seperti itu keliru, ketika menginjak usia remaja ia berusaha mengubur ‘bakat’ tersebut dan mencoba berpacaran dengan seorang gadis.  Namun akhirnya ia terpaksa memutuskan hubungan tersebut karena gagal menumbuhkan gairan seksual terhadap pacarnya.  Ketika ia mengeluhkan masalah tersebut pada seorang suster (Katholik) yang ia terima justru umpatan: ”Kamu pendosa, homo itu terkutuk, kamu harus memohon ampun pada Tuhan, ini saya beri doa, kamu baca setiap hari ya biar kamu balik jadi orang normal!”.

Ia melaksanakan nasihat suster tersebut, tetapi tidak membawa hasil.  Akhirnya ia memeriksakan kepada dokter di Jakarta dan mendapat keterangan yang mengagetkan tetapi sekaligus melegakan: ”Kamu sama sekali tidak punya kelainan, kamu normal, hanya kamu mempunyai bawaan homo. Saya tidak bisa menyembuhkanmu karena itu bukan penyakit.  Itulah kamu. Terimalah kenyataan itu apa adanya”.

Dari perspektif agama, fenomena LBGT adalah merupakan bagian dari misteri ‘takdir’ yang dalam Islam merupakan rukun iman yang keenam.  Tuhan tidak hanya mampu menciptakan kontras tetapi juga menghadirkan ruang abu-abu.  Bumi tidak hanya terdiri dari laut dan daratan dengan sifat berlawanan, tetapi juga pantai yang mempunyai kedua unsur sifat tersebut.  Warna pun tidak hanya terdiri dari hitam dan putih, tetapi berwarna warni sekaya warna pelangi; seperti bunyi lagu anak-anak, ”pelangi ciptaan Tuhan”.  Sekaya warna pelangi itu pula Tuhan menciptakan variasi pada makhluk hidup ciptaanNya.

Dari perspektif HAM, identitas dan orientasi seksual adalah suatu pilihan.  Ini sama dengan pilihan untuk berpolitik, beragama, bermigrasi, bertempat tinggal, bereproduksi, atau bekerja.  Setiap orang punya hak-hak dasar untuk menentukan pilihannya.  Sudah barang tentu pilihan tersebut harus dilakukan secara bertanggungjawab, yaitu dengan tidak melanggar hak-hak orang lain yang mempunyai pilihan berbeda.  Itulah inti dari pluralisme dan multikuralisme yang sejiwa dengan ideologi negara Pancasila.  Perbedaan nilai dan orientasi hidup bukan menjadi alasan untuk bermusuhan tetapi untuk saling menghargai.  Iklim pluralisme dan multikuralisme ini bisa terancam jika klaim nilai atau kebenaran suatu kelompok dipaksakan untuk berlaku bagi semua dan tertutup ruang bagi yang lainnya untuk hidup dengan nilai dan kebenaran yang mereka yakini, apapun itu, apalagi jika pemaksaan nilai tersebut dilakukan dengan cara kekerasan.  Lebih celaka lagi jika negara membiarkan hal itu terjadi.

Penulis: Prof Dr H Muhadjir Darwin, Guru Besar Jurusan Administrasi Negara, Fisipol dan Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, UGM.

Sumber: Kedaulatan Rakyat Jogja (Senin 29 Maret 2010)