Search
Close this search box.

Suarakita.org-Sebanyak 20 anggota parlemen Skotlandia yang dipelopori oleh  Dundee MSP Barat dan Joe FitzPatric,  mengutuk keras penangkapan dua pria pasangan gay di Malawi yang sedang melangsungkan upacara perkawinan sejenis didepan publik. Pasangan gay tersebut bernama Steven Monjeza (26) dan Tiwonge Chimbalanga (20).   Pasangan ini akan dikenakan sanksi jika terbukti sebagai gay dengan tuntutan maksimal 14 tahun penjara.  Pasangan ini  ditangkap 28 Desember 2009 di Blantyre setelah selesai acara perkawinan tersebut. Keduanya ditahan di penjara Chichiri, negara Malawi.

Malawi adalah salah satu dari beberapa negara di benua Afrika yang mempunyai kebijakan mengkriminalkan kelompok homoseksual.  Selain Uganda dan Rwanda yang sedang menggodok undang-undang anti-homoseksual dengan memberikan sanksi hukuman mati.  Selain itu negara Afrika lain seperti Gambia juga mempunyai kebijakan yang homophobia (baca: benci kepada homoseksual).

Sidang pertama yang dilakukan pada tanggal 14 Januari 2010 berakhir dengan kejadian jatuhnya  salah satu tersangka, Tiwonge Chimbalanga karena sakit sampai muntah-muntah dilantai ruang persidangan.   Kejadian itu malah justru menjadi sasaran makian dan pelecehan dari pengunjung sidang terhadap Chimbalanga karena orientasi seksualnya(baca: gay).   Sambil berdiri dengan sangat lemah, tanpa ada satu orangpun yang membantunya, Chimbalanga, kemudian membersikan muntahannya di lantai pengadilan tersebut.   Sebuah tugas yang selalu dilakukan oleh para perempuan di Afrika bahkan ketika mereka sakit.   Menurut pengacaranya Chimbalanga menderita malaria berat sehingga membutuhkan  banyak istirahat.   Atas kejadian itu sidang ditunda sampai 25 Januari 2010.  Memang Malawi merupakan negara yang mempunyai persoalan  besar soal penyakit malaria,hampir 97% wilayahnya beresiko terhadap wabah penyakit ini.

Kasus ini selain merupakan pelanggaran hak asasi manusia berat dan sangat diskriminatif bagi kelompok homoseksual.   Hal ini merupakan gerakan mundur bagi penegakan HAM di Malawi.  Selain itu kebijakan kriminalisasi homoseksual dapat memberikan pengaruh buruk dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di benua Afrika khususnya Malawi.   Karena selain masalah malaria, HIV juga menjadi masalah serius di negara  ini.   Setiap tahunnya, tak kurang 78 ribu orang meninggal karena penyakit yang ada kaitannya dengan AIDS.   Sementara jumlah kasus AIDS di Malawi mencapai 110 ribu orang per tahunnya.   Jumlah tersebut berarti mewakili 15% penduduk Malawi.   Dan yang lebih memprihatinkan, tak kurang 70 ribu anak-anak di bawah usia 15 tahun yang menjadi korban AIDS.

Kondisi kesehatan dan ekonomi yang buruk di Malawi, menyebabkan rakyat hidup dalam kemiskinan.  Menurut data sensus yang diselenggarakan pemerintah, menunjukkan 60% penduduk Malawi hidup di bawah garis kemiskinan dengan penghasilan dibawah dari satu dolar sehari.  Selain itu pada tahun 2002 Malawi merupakan salah satu negara paling korup di dunia dengan menempati peringkat 35 dari 102 negara.

Malawi sendiri adalah sebuah negara berbentuk republik, secara geografis diapit daratan Afrika bagian selatan.   Berbatasan dengan Tanzania di sebelah utara, Zambia di barat laut, dan Mozambik di timur, selatan dan barat.   Islam merupakan agama kedua di Malawi yang dianut oleh penduduknya setelah Kristen, sekitar 12 juta orang (12 % dari total jumlah penduduk).

Wajah kemiskinan penduduk Malawi ini tidak membuat pemerintah memprioritas persoalan ekonomi, kesehatan dan pendidikan yang harus ditangani.  Tetapi justru melahirkan kebijakan yang mengkriminalkan orientasi seksual seseorang.

Kalau direfleksikan ke Indonesia, kondisi ini hampir sama yang terjadi di bumi Nusantara.  Kegagalan pemerintah dalam mensejahterahkan rakyatnya dijawab dengan melahirkan perda-perda yang bersandar pada ukuran moral kelompok tertentu.   Seperti maraknya perda prostitusi, perda aturan berbusana, qanun jinayat di Aceh, perda wajib jilbab, perda zakat, ranperda kota injil di Manokwari.   Termasuk juga UU No. 44 tentang Pornografi yang sekarang sedang disidangkan di Mahkamah Konstitusi.

Situasi ini menurut penelitian Komnas Perempuan tahun 2008 tentang perda-perda diskriminatif di Indonesia merupakan upaya membentuk politik pencitraan kepada publik (baca: rakyat) agar disebut pemimpin yang religius dan bermoral.  Padahal dibalik semua itu menunjukkan kegagalan dan ketidakmampuan pemerintah dalam mensejahterkan rakyatnya.  Selain itu sebagai upaya untuk melanggengkan terus praktek-praktek korupsi yang terjadi selama ini.   Sehingga ini menunjukkan apa yang terjadi di Indonesia juga terjadi di negara lain seperti Malawi yang sama-sama memiliki persoalan besar pemiskinan dan korupsi. (Toyo/OV)