Oleh : Wisnu Adihartono*
Suarakita.org- Sudah menjadi rahasia umum di seluruh dunia bahwa homoseksualitas dalam agama selalu dipandang dan dicap sebagai ‘’unnatural’’ (tidak natural), ‘’ungodly’’ (durhaka) dan ‘’impure’’ (tidak murni) (Yip, 2005). Saya tidak anti terhadap semua agama dan kepercayaan di Indonesia, justru saya semakin berterima kasih dengan kekayaan agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia karena dengan keberagamannya, Indonesia semakin kaya dengan budaya baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Namun sepertinya saya harus menyebut satu agama, yaitu Islam, yang terlihat tidak begitu (atau malah sama sekali) mentolerir keberadaan homoseksualitas dalam bentuk apapun, sehingga penelitian Finke dan Adamczyk (2008) menemukan bahwa orang-orang Muslim memiliki perilaku yang konservatif terhadap homoseksual daripada orang-orang non Muslim. Padahal bagi saya, setidaknya, tidak selamanya orang Muslim memiliki padangan konservatif seperti yang ditemukan oleh Finke dan Adamczyk. Masih banyak negara di dunia ini yang masyarakat non-Muslimnya juga tidak sependapat dengan homoseksualitas.
Namun demikian, temuan Finke dan Adamczyk (mungkin) saja dapat dijadikan sebuah justifikasi karena kekonservatifan pemikiran-pemikiran masyarakat Muslim yang demikian juga tidak bisa terlepas dari adanya ‘’agama negara’’ yang turut membentuk perilaku dalam memandang homoseksualitas (Moore dan Vanneman, 2003). Bagaimana mendeskripsikan ‘’agama negara’’ ?
Sebagai orang Indonesia, kita semua mengetahui bahwa terdapat agama resmi yang diakui oleh Pemerintah Indonesia ; Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Budha. Selain agama-agama tersebut, masih banyak aliran kepercayaan yang masih sangat kuat dijalankan oleh masyarakat adat, bahkan kadang kala kita dapat melihat bagaimana agama yang diakui Pemerintah dipadupadankan dengan kepercayaan setempat. Namun bolehlah kita menjustifikasi bahwa ‘’agama negara’’ Republik Indonesia adalah Islam; bukan Protestan, bukan Katolik, bukan Hindu, bukan Budha, bahkan sama sekali bukan aliran kepercayaan. Sebagai ‘’agama negara’’, Islam dipraktekkan secara religius tentunya oleh umat Muslim dengan sholat lima waktu, dan lain sebagainya, namun secara budaya, Islam pun dipraktekkan oleh orang non Muslim, seperti menyebut Alhamdulillah, Bismillah, dan lain sebagainya. Secara tidak langsung, orang-orang non Muslim tersebut dalam perjalanannya terpengaruh oleh ‘’agama negara’’ dimana mereka tinggal seperti yang ditemukan oleh Moore dan Vanneman (2003) dalam penelitiannya di Amerika Serikat bahwa orang-orang yang tinggal di daerah yang sangat religius memiliki tendensi untuk berperilaku konservatif, meskipun mereka adalah orang-orang yang sama sekali tidak menjalankan perintah agama atau mereka yang tidak seagama sekalipun. Begitupun dalam melihat permasalahan homoseksualitas, bahwa dengan ‘’agama negara’’ masyarakay Indonesia dari hampir semua agama dan kepercayaan memandang seorang gay, lesbian, dan waria adalah orang yang pantas untuk dihukum. Inilah akibat ‘’agama negara’’ yang nampaknya sudah diinterpretasikan sebagai sebuah ‘’resep agama’’ yang mengharamkan homoseksualitas (Helie, 2004). Maka saya dapat mengatakan bahwa ‘’agama negara’’ sangat bertanggung jawab dalam menyumbangkan kerangka pemikiran negatif terhadap homoseksualitas.
“Agama Negara” dalam Tinjauan Makro
Kasus terbaru yang bisa diekuivalensi dengan ‘’agama negara’’ adalah diberlakukannya Qanun Jinayah di Provinsi Aceh khususnya Qanun Jinayah yang bersinggungan dengan masalah seksualitas dan orientasi seksual karena disinyalir sebagai pelanggaran syariat agama. Qanun Jinayah yang menyinggung masalah sosial masyarakat tersebut mengatur beberapa hukuman untuk kasus kriminal, seperti perkosaan, pelecehan seksual, zina, perbuatan mesum, judi, dan mabuk.
Permasalahan yang cukup menganggu pikiran saya terhadap pelaksanaan Qanun Jinayah ini adalah pengaturan hubungan homoseksual yang apabila dilaksanakan maka mereka dikenakan hukuman cambuk sebanyak 10 sampai 150 kali atau denda sebanyak 1000 gram emas. Meskipun di dalam aturan Qanun Jinayah diketahui bahwa sang pelanggar dapat memilih jenis hukuman (Jinayah atau dilaksanakan sesuai hukum pidana), akan tetapi pelaksanaan hukuman bagi pasangan homoseksual yang didasari atas “suka sama suka” tidak seharusnya dilaksanakan. Perbedaan mendasar pelaksanaan hukuman harus didasarkan kepada kasus pemaksaan dari salah satu pasangan homoseksual karena ketika pada suatu hubungan terdapat unsur pemaksaaan maka secara otomatis terdapat sebuah ancaman di pihak lain.
Pelaksanaan Qanun Jinayah di Provinsi Aceh mendeskripsikan bagaimana “agama negara” bermain di dalam sebuah masyarakat. Memang betul tidak dapat kita pungkiri, bahwa Provinsi Aceh disebut sebagai “Serambi Mekah” karena secara historis di Aceh lah Kerajaan Islam Samudera Pasai berdiri. Seolah-olah dengan penyebutan “Serambi Mekah”, agama Islam lah yang harus dijunjung tinggi tanpa mengindahkan keberagaman agama-agama lain.
“Yang penting mereka harus menghormati rumah kita sendiri, jangan gaya di Eropa dibawa ke Aceh. Siapapun yang datang ke Aceh harus ikut aturan yang berlaku di Aceh,” tegas Ramli Sulaiman, ketua komisi G, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh[1].
Pernyataan diatas sesungguhnya mengesankan (atau dengan kata lain memaksa) “agama negara” harus berdiri di Provinsi Aceh yang memiliki basis agama Islam. Lantas mengapa Provinsi Sulawesi Utara atau provinsi-provinsi lain yang memiliki basis agama non Islam tidak dapat memberlakukan hukum non Muslim seperti yang terjadi di Provinsi Aceh? Terlepas dari makna historis Provinsi Aceh yang semula dijadikan provinsi istimewa, seharusnya penetapan “agama negara” tidak terjadi.
“Agama Negara” dalam Tinjauan Mikro
Tidak itu saja. Pendiskriminasian terhadap homoseksualitas dapat terjadi di dalam sistem mikro, yaitu institusi keluarga. Inilah yang terjadi pada salah satu responden penelitian saya di Perancis.
Sebut saja namanya Iwan, 36 tahun. Ia sudah lama bermigrasi ke Perancis dan memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungan dengan keluarga intinya di Indonesia. Orang tua Iwan adalah penganut agama Islam yang sangat taat beragama, begitu juga dengan dua adik perempuannya. Iwan bernegosiasi bahwa dirinya-lah yang memutuskan tali kekeluargaan tersebut karena Ia merasa bahwa orang tuanya akan merasa malu apabila mereka memiliki anak seorang gay. Begitupun dengan keluarga besarnya yang menurutnya tidak melulu Muslim, kerap kali melakukan sindiran bahkan cemoohan terhadap orientasi seksualnya.
Yang perlu diketahui terlebih dahulu bahwa masih banyak orang tua yang belum memahami apa itu homoseksualitas sehingga mereka selalu memiliki pemikiran-pemikiran negatif terhadap hal itu. Menurut Strommen (1998), ada dua reaksi yang dihadapi oleh orang tua ketika mengetahui bahwa anaknya seorang gay. Yang pertama adalah malu, dan yang kedua adalah mereka merasa gagal dalam mendidik buah hatinya, sehingga orang tua berpikir bahwa memiliki anak seorang gay adalah hal yang sangat memalukan (Rothman dan Weinstein, 1996). Penolakan akan semakin besar dan mengkhawatirkan apabila mereka berada di dalam lingkungan keluarga yang sangat fanatik dengan agama tertentu, seperti yang dikatakan oleh Blumenfeld dan Raymond (1998) bahwa keluarga yang memiliki rasa fanatik agama yang sangat tinggi, akan terus menerus fokus terhadap agamanya melampaui fokus mereka terhadap anggota keluarganya. Oleh karena itu, seorang gay yang tinggal di dalam lingkungan keluarga seperti itu, merasa ragu (atau mungkin tidak akan pernah sama sekali) mengakui orientasi seksualnya karena mereka tahu bahwa akan terjadi reaksi negatif dari keluarganya sendiri bahkan dari lingkungan masyarakat baik Muslim atau non Muslim.
Penutup
Sekali lagi saya tekankan bahwa agama Islam bukanlah satu-satunya agama di dunia yang mendikriminasi homoseksualitas. ‘’Agama negara’’ lain non Muslim juga dapat turut andil dalam mendehumanisasi kelompok homoseksual, seperti di Perancis tempat dimana saya studi. Secara kasat mata ‘’agama negara’’ di Perancis adalah Katolik, namun pengesahan Undang-Undang Pernikahan Homoseksual oleh Presiden Perancis, François Hollande, pada tahun 2013 tidak serta merta mulus begitu saja. Selain partai kanan dan partai ekstrem kanan yang sangat menentang keras Undang-Undang ini, masih ada kelompok agama yang juga sangat keras menentangnya.
‘’Agama negara’’ memang tidak bisa kita tolak karena dalam menciptakan sebuah negara perlu adanya satu visi dan misi diantara individu-individu yang berkumpul. Yang perlu kita pahami adalah bahwa memang benar bahwa semua agama memiliki doktrinnya masing-masing, akan tetapi untuk menelaah doktrin-doktrin tersebut diperlukan interpretasi yang tidak melulu difokuskan kepada konsep-konsep kaku agama, namun juga diperlukan analisa-analisa sosial empiris didalamnya.
*Wisnu Adihartono adalah PhD kandidat bidang Sosiologi di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS) Marseille, Prancis. Wisnu memfokuskan studinya pada bidang sosiologi gender khususnya sosiologi gay, sosiologi keluarga, sosiologi migrasi, dan sosiologi urban.
Catatan Kaki:
[1] www.merdeka.com/peristiwa/qanun-jinayah-berlaku-untuk-gay-lesbian-dan-non-muslim-di-aceh.html. Diakses pada hari Rabu, 8 Oktober 2014, pukul 03.34 (Waktu Perancis).
Referensi :
Blumenfeld, W. dan Raymond, D. 1988. Looking at Gay and Lesbian Life, Boston : Beacon Press.
Finke, R., Adamczyk A. (2008). “Cross-national moral beliefs: The influence of natonal religious context”, dalam Sociological Quarterly 49, hal. 615-650.
Helie, A. (2004). “Holy hatred”, dalam Reproductive health matters (0968-8080) 12 (23), 120.
Moore, L. M., dan Vanneman, R. (2003). “Context matters: effects of the proportion fundamentalists on gender attitudes”, dalam Social Forces 82, hal. 115-139.
Rothman, B., dan Weinstein, D. L. (1996). “A Primer on Lesbian and Gay Families”, dalam M. Shernoff (ed.), Human Services for Gay People: Clinical and Community Practice, New York: Hawort Press.
Strommen, E. F. (1989). “You are a what? Family Member Reactions to the Disclosure of Homosexuality”, dalam Journal of Homosexuality 18, (1/2), hal. 37-58.
Yip, A. (2005). “Queering Religious Texts: An Exploration of British Non-heterosexual Christians’ and Muslims’ Strategy of Constructing Sexuality affirming”, dalam Hermeneutics, vol. 39 (1), hal. 47- 65.