Search
Close this search box.

Ourvoice.or.id-Sulitnya menanggulangi penyebaran panyakit HIV/AIDS di Surabaya membuat pembuat kebijakan di Pemerintah Kota (Pemkot) dan DPRD Surabaya bingung. Para pejabat Pemkot sendiri belum menyikapi masalah tersebut secara jitu. Sementara, dari kalangan DPRD yang kini tengah membahas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Penanggulangan HIV/AIDS belum menemukan cara tepat dalam pengawasan, cara penanggulangan dan penanganannya.

Terakhir dalam hearing di DPRD terkait dengan pembahasan ini muncul gagasan Puskesmas dijadikan ujung tombak pengawasan, penanggulangan dan penanganan penderitanya. Namun disayangkan, sampai sekarang dari sekitar 48 Puskesmas dan Puskesmas Pembantu baru 9 Puskesmas ditetapkan sebagai upaya tanggap darurat penanggulangan penderita AIDS di Surabaya.

“Kami juga heran kenapa tidak semua Puskesmas yang dijadikan ujung tombak pengawasan, penanggulangan dan penanganan penyebaran HIV/AIDS di Surabaya. Kalau tidak semua Puskesmas dijadikan ujung tombaknya, kebijakan tersebut tidak akan berjalan optimal,” kata Sachiroel Alim, Anggota Panitia Khusus (Pansus) pembahas Raperda Penanggulangan HIV/AIDS DPRD Surabaya, Rabu (13/3).

Menurutnya, saat ini masih banyak kawasan yang rawan terserang penyebaran HIV/AIDS namun tidak tidak ter-kover penanganannya. Di antaranya, wilayah Gubeng dan Tegal Sari. Dua kawasan ini merupakan daerah dengan penderita HIV/AIDS tertinggi, sementara dua kawasan itu justru tidak tercover atau tidak ada Puskesmas yang ditetapkan untuk penanganan penderita HIV/AIDS.

Alim mengungkapkan, berdasarkan data, untuk saat ini Kecamatan Sawahan, masih menduduki rangking tertinggi dengan jumlah penderita HIV/AIDS di Surabaya. Disusul Wonokromo, Gubeng, Jagir dan Tegal Sari.

“Kan aneh, jika jika kecamatan Gubeng dan Tegal Sari, tercatat sebagai salah satu daerah dengan penderita HIV/AIDS tertinggi justru tidak memiliki Puskemas yang memiliki keahlian menangani penderita AIDS,” herannya.

Selain itu, katanya, rencana penanggulangan HIV/AIDS di Surabaya ke depan terancam berjalan tidak maksimal. Hal itu merujuk minimnya alokasi anggaran yang akan digunakan selama tahun 2013 ini. Pasalnya, anggaran yang dialokasikan hanya mencapai Rp 900 juta. Sementara alokasi anggaran tahun sebelumnya yang berkisar Rp 1,160 miliar.

Tidak hanya anggaran penanggulangan HIV/AIDS yang menurun, berdasarkan data yang ada dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Surabaya 2013, alokasi untuk pengendalian dan pemberantasan (P2) penyakit menular juga dikurangi. Jika tahun sebelumnya Rp 5,128 miliar, maka tahun ini hanya Rp 4,59 miliar.

“Itu yang membuat kami bertanya tanya, kenapa anggaranya justru diturunkan ? Padahal angka penderita HIV/AIDS di Surabaya terus meningkat dan penderita lama juga masih banyak,” ujarnya.

Ketua Pansus Raperda Penanggulangan HIV/AIDS, Reni Astuti, juga meyoroti minimnya anggaran yang disediakan, legislator asal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu juga menyoroti pasal demi pasal yang diajukan bagian hukum pemerintah kota. Salah satunya, pasal 19 yang mengatur tentang penggunaan kondom bagi pria yang berisiko terjangkit HIV AIDS. “Pasal 19 itu harus diperjelas lagi, jangan sampai ada persepsi demi pencegahan HIV AIDS pemerintah kota justru melegalkan prostitusi,” ingat Reni.

Sesuai arahan yang diberikan Dirjen Kesehatan, pola pencegahan yang harus dikedepankan dalam pencegahan HIV/AIDS adalah melalui penyadaran kepada masyarakat, tentang pentingnya mempertahankan pola hidup sehat.

Sementara itu, konsultan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Esthi Susanti Hudiono menyatakan, bila KPA dinilai tidak efektif bisa dibubarkan suatu saat dan digantikan dengan layanan komprehansif berkesinambungan berbasis Puskesmas. Pasalnya, KPA itu merupakan organisai adhoc. ”Itu organisasi darurat sehingga sewaktu-waktu bisa dibubarkan,” kata Esthi usai menghadiri rapat dengar pendapat Pansus Raperda HIV/AIDS.pur

Sumber : surabayapost.co.id