Search
Close this search box.
Navi Pillay, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia. (Foto : Reuters)
Navi Pillay, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia. (Foto : Reuters)

Ourvoice.or.id. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) akhirnya menyepakati sejumlah sanksi baru bagi Korea Utara (Korut) yang dipicu oleh uji coba bom nuklir bulan lalu. Namun, mungkin PBB bisa lebih berdampak jika lembaga itu mulai membeberkan kebenaran mengenai kejahatan terbesar Korut terhadap rakyatnya.

Januari lalu, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Navi Pillay menyebut pelanggaran Korut terhadap hak asasi warganya sebagai hal yang “menyedihkan”. Ia juga menilai investigasi atas kejahatan HAM Korut telah “lama tertunda”. Kini, Jenewa ramai memperbincangkan rancangan resolusi dari Jepang–Uni Eropa guna membentuk komisi investigasi formal. Korea Selatan dan Amerika Serikat (AS) pun telah menyatakan dukungannya.

Investigasi semacam itu akan menarik perhatian dunia ke kamp-kamp konsentrasi di Korut yang diyakini menampung lebih dari 200 ribu tahanan politik. Ribuan pembelot sukses kabur ke Korea Selatan dalam beberapa tahun terakhir, sehingga memungkinkan PBB mengetahui kenyataan buruk kehidupan warga Korut. Pada 11 Maret nanti, Pelapor Khusus PBB Marzuki Darusman dijadwalkan mempresentasikan informasi baru terkait kamp penjara Korut. Temuan Marzuki akan menjadi basis pemungutan suara PBB akhir bulan ini.

Isu HAM Korut ini adalah masalah penting. Selama berpuluh tahun, PBB memandang kejahatan sistematis Korut sebagai pengganggu

Presiden Korea Selatan Park Geun-hye
Presiden Korea Selatan Park Geun-hye

dalam upaya penghentian program rudal nuklir Pyongyang. Padahal masalah ancaman militer itu tak akan bisa dipecahkan, sampai rezim Korut jatuh atau berubah secara fundamental.

Saat dunia bungkam akan kejahatan HAM Korut, para diplomat terlena dan membuka perundingan tanpa memperhatikan nilai-nilai moral itu. Tekanan bagi rezim penguasa dan sekutunya pun ikut berkurang. Upaya ini pun semakin ditelantarkan pada masa jabatan kedua mantan presiden AS George W. Bush. Saat itu, Condoleezza Rice dan Christopher Hill sebagai perwakilan Washington berusaha mengurangi pengaruh duta besar AS urusan HAM, Jay Lefkowitz, sementara mereka mengejar kesepakatan nuklir yang muluk-muluk.

Sumber : .wsj.com