Search
Close this search box.
Ilustrasi (homorazzi.com)

Ourvoice.or.id. Dulu sering sekali aku bertanya dalam hati, kenapa para gay ada yang bersikeras memeluk agama padahal agama, khususnya agama langit (Yahudi, Kristen & Islam) tidak mentolerir kehidupan gay?  Ketiga agama besar ini memiliki dasar tertulis dalam kitabnya masing-masing yang menolak hubungan sejenis.

Para rohaniawan/wati punya pegangan untuk mengatakan cara hidup gay itu dosa dan banyak yang secara kejam menjatuhkan vonis bahwa mereka akan dihukum di neraka jahanam.  Kenapa mereka tetap bertahan?  Mengapa mereka tidak melepasakan saja agamanya sehingga tidak perlu menyembah Tuhan yang menolak mereka? Dengan demikian mereka tidak merasa diterror oleh neraka jahanam.

Bagi gay yang Atheis (orang yang tidak mengakui adanya Tuhan) atau Agnostic (orang yang percaya Tuhan tapi tidak tidak mengakui institusi keagamaan) tentu hidup lebih mudah karena tak perlu resah atas hukuman Tuhan.  Bagi mereka neraka adalah omong kosong, hanya jualan para penjaja Tuhan.  Ada juga yang mejadikannya lelucon.  Seperti, “Kalo lu percaya neraka, ya lu aja gih yang ke sana!”

Aku amati, gay Atheis lebih santai dalam menjalani hidupnya karena tidak perlu merasa tertekan oleh hukuman setelah kematian.  Ini sisi bila kita bicara tentang ketakutan akan hukuman setelah kematian.

Kesantaian gay Atheis menjalani hidup berbanding terbalik dengan gay yang sejak kecil sudah percaya pada Tuhan, apapun agamanya, akan sulit melepaskannya.  Mereka cenderung lebih mudah depresi.  Aku tidak bilang semua depresi yang dialami kaum gay itu bersumber dari pergulatan dengan keyakinannya.  Tidak.  Ini hanya salah satu dari banyak masalah yang dihadapi kaum gay seperti penerimaan diri sendiri yang berbeda dengan orang kebanyakan, ketakutan akan penolakan keluarga dan masyarakat, ketakutan ditinggalkan karena pasangan yang ternyata tidak siap, dan lain sebagainya.

Pertanyaanku diawal tulisan “Mengapa kaum gay ini bersikeras tetap beragama padahal agama menolaknya?” membawaku kepada pencarian “Apa keuntungan beragama dan ber-Tuhan bagi manusia, terutama kaum gay?”

Banyak orang yang tidak menyukai ritual agama itu kadang tidak masuk akal dan membosankan.  Tapi tahukah anda bahwa mereka yang terbiasa menjalankan ritual agama bersama komunitasnya, kemudian karena ada kondisi yang menyebabkannya harus keluar dari komunitas atau keluarganya, mereka akan mengalami kerinduan yang sangat dalam untuk melakukan ritual itu bersama komunitas atau keluarganya.

Seorang muslim yang terbuang dari keluarga dan lingkungan sosialnya karena orientasi seksualnya, akan merasakan kerinduan yang luar biasa pada suasana lebaran bersama segala ritualnya.  Acara mudik, persiapan lebaran, pergi sholat Ied bareng keluarga besar, bersalam-salaman dan menikmati makanan khas keluarga adalah kerinduan yang tidak tertahankan.  Ini adalah kehilangan besar.

Demikian juga dengan yang beragama Kristen sejak kecil.  Dia akan merasakan kerinduan yang mendalam untuk menyanyikan lagu Malam Kudus bersama keluarganya.  Merindukan saat-saat menghias pohon natal ataupun acara tukar kado bersama keluarga besar.

Juga pada yang beragama Yahudi.  Mereka pasti akan merindukan melakukan ritual Sabbat bersama keluarga.  Demikian juga semua ritual di hari besar keagamaan seperti  Yum Kippur, Rosh Hashanah, Hanukkah dan lain sebagainya.  Walaupun saat ini negara Israel dapat menerima homosexual, tapi tetap saja ada keluarga yang sangat konservatif terutama yang Yahudi Orthodox yang tidak bisa menerima cara hidup gay.

Menurutku – mungkin aku salah karena aku belum terlalu mendapat informasi yang cukup – Buddha dan Hindu cukup toleran terhadap kaum gay.  Tapi tetap saja cara hidup gay belum bisa di terima masyarakat timur.  Aku beberapa kali menonton film yang bertema gay di masyarakat China dan India.  Mereka tetap tidak bisa diterima masyarakat.

Masyarakat timur termasuk Indonesia bisa menerima bila ada anggota keluarga pria bertingkah seperti wanita atau yang wanita berlaku tomboy.  Tapi jarang orang tua yang bisa menerima bila anak-anak tersebut hidup bersama pasangannya yang sejenis.  Terlarang.

Dunia pertelevisian dan perfilman kita pun diramaikan oleh tokoh-tokoh waria, baik yang beneran maupun yang KW – sekedar cari makan.  Semua orang terhibur oleh tingkah polah mereka yang lucu.  Tapi menjadi tidak lucu bila mereka hidup bersama pasangannya yang sejenis.  Artis yang ketahuan tinggal bersama pasangannya terutama yang sejenis akan menjadi pergunjingan yang seru dalam dunia infotainment.

Atheis mengatakan bahwa Tuhan itu hanya ilusi, atau hayalan semata yang diciptakan sebagai tempat meminta pertolongan.  Orang yang sedang mengalami kekosongan dalam hati dan jiwanya,  membutuhkan sesuatu yang memiliki nilai “Maha” yang bisa diandalkan walaupun hanya dalam dimensi maya.  Seseorang akan merasa lebih tenang bilang mengetahui “sesatu yang Maha” itu sedang mendengarkan dan mengamatinya atau malah memeluknya secara spritual.  Ini memberi kedamaian bagi orang yang sedang berharap.  Itulah Tuhan bagi kaum Theis.  Kaum Theis tidak perduli bila dikatakan Tuhan itu hanya ilusi selama mereka masih merasakan keteduhan sangat mengadu pada-Nya.

Semua orang bila ditanya akan mengatakan “rasa damai & bahagia” yang menjadi prioritas dalam hidupnya.  Tapi hidup seringkali berjalan diluar rel yang sudah kita tetapkan dan menjadi kacau, berantakan dan penuh dengan masalah.  Saat seperti ini, kaum Theis akan lari pada Tuhan untuk meminta pertolongan.  Sungguh aku tidak tahu apa yang dilakukan kaum Atheis pada saat seperti ini.

Saya bisa pastikan bahwa masalah yang dihadapi kaum gay selalu lebih banyak dari kaum heterosexual karena dunia ini dikuasai oleh kaum heterosexual.  Misalnya, pada dunia kerja, bila seseorang ketahuan gay, walaupun dia tidak melakukan kesalahan, paling tidak dia akan selalu mendapat tatapan yang tidak mengenakkan dari orang-orang di sekitarnya.  Apa lagi bila dia melakukan kesalahan kecil sekalipun.  Label gay akan selalu dimunculkan pertama kali, misalnya: “Dasar, gay!”

Irshad Manji, feminis yang melakukan gerakan reformis di Islam tidak pernah membawa-bawa orientasi sexualnya saat memberikan kuliah atau diinterview reporter TV.  Dia akan menjawab jujur bahwa dia lesbian bila ditanya.  Tapi bagi penentang Irsad Manji, lebel lesbian ini yang selalu di dahulukan.

Gay, terutama yang masih remaja, yang selalu menerima penolakan, penghinaan atau cibiran sering kali berujung pada depresi.  Biasanya orang yang depresi membutuhkan Tuhan sebagai tempat menyampaikan uneg-unegnya.  Memiliki Tuhan saat menghadapi masalah dapat memberikan rasa damai yang melampaui segala akal.  Itulah sebabnya walaupun sudah tertulis dalam kitab suci bahwa cara hidup gay bertentangan dengan hukum Tuhan, tetap saja mereka membutuhkan Tuhan sebagai tempatnya mengadu atau paling tidak untuk menangis.  Sekali lagi, yang saya bicarakan adalah gay yang tidak bisa melepaskan Tuhan dari hidupnya.

Tapi biasanya gay yang sudah dewasa cara berpikirnya dia akan memandang Tuhan sebagai Tuhan yang pengasih yang akan mencintainya apa adanya, karena dia yakin bahwa dirinya adalah ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa.  Seperti kata Irshad Manji, “Bila Tuhan tidak ingin aku jadi lesbian, maka dengan ke-Mahakuasaan-Nya, Tuhan bisa merubahku menjadi straight.”  Dengan cara pikir seperti ini Irshard bisa menjalani hidupnya dengan lebih tenang.

Biasanya bila beban pikiran yang ditanggung demikian besar, orang yang berdoa pada Tuhan akan menangis.  Menurut sains, apakah Tuhan menjawab atau tidak doanya, dengan menangis seseorang akan menjadi lebih tenang.  Menurut penelitian ilmiah, hal ini disebabkan karena setelah menangis, sistem limbik, otak dan jantung akan menjadi lancar.

Menangis juga bisa menurunkan level depresi karena dengan menangis, mood seseorang akan terangkat kembali.  Air mata yang dihasilkan tangis kesedihan mengandung 24% protein albumin yang berguna dalam meregulasi sistem metabolisme tubuh dibanding air mata yang dihasilkan karena iritasi mata.  Jadi kombinasi ini sangat tepat, memiliki Tuhan tempat curhat dengan linangan air mata akan berguna untuk menurunkan level depresi.

Air mata juga mengeluarkan hormon stres yang terdapat dalam tubuh yakni endorphin leucine-enkaphalin dan prolactin. Selain menurunkan level stres, air mata juga membantu melawan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh stres seperti tekanan darah tinggi.

Sekarang aku menjadi lebih paham mengapa banyak gay yang tetap mempertahankan agama dan Tuhannya.  Yup, semua orang berhak punya agama dan Tuhan.  Terserahlah bagaimana cara beragama atau ber-Tuhan mereka.

Oh iya, saat ini di USA ada gereja yang merangkul gay.  Pendetanya gay dan jemaatnya adalah gay dan keluarganya.  Ada juga komunitas gay Yahudi bawah tanah yang tetap melaksanakan  ritual Yahudi sebagaimana biasanya.  Aku belum pernah tahu tentang komunitas muslim gay, tapi aku yakin komunitas itu ada seperti komunitas Yahudi yang berkumpul secara sembunyi-sembunyi.  Mungkin di lain waktu aku akan tuliskan komunitas gay ini Kristen dan Yahudi ini.

Sumber : apaja.wordpress.com