Search
Close this search box.

Hakim Agung Dan Budaya Perkosaan

Gadis Arivia (Foto: Komunitas Salihara)

Oleh: Gadis Arivia*

Ourvoicor.id – Apakah yang disebut dengan budaya perkosaan?  Budaya perkosaan adalah budaya yang mempertontonkan agresi seksual dan yang mendukung kekerasan terhadap  perempuan.  Masyarakat  yang menganut budaya perkosaan menganggap kekerasan merupakan sesuatu yang seksi dan seksual.

Di dalam budaya perkosaan, perempuan dilihat sebagai obyek dan dibenarkan komentar-komentar seksual yang menyakitkan atau diangap “lucu”.  Inilah yang dipertontonkan oleh calon hakim agung Muhammad Daming Sanusi, saat menjalani fit and proper test di Senayan tempo hari.  Ketika ditanya soal hukuman mati untuk pelaku perkosaan, ia mengatakan, “Yang diperkosa dengan yang memperkosa ini sama-sama menikmati.  Jadi harus pikir-pikir terhadap hukuman mati.” (14/1/2013). Pernyataan sang calon hakim agung tersebut disambut gelak tawa sebagian anggota Dewan.  Mereka menganggap perkosaan sebagai bahan bercanda.

Sudah berapa banyak pejabat publik  di negara ini yang mempertontonkan budaya perkosaan?   Sudah berapa kali kelompok perempuan dan kelompok pro-Hak Azasi Manusia mengkritik, memprotes dan menyerukan menghentikan pernyataan-pernyataan dungu yang keluar dari mulut pejabat publik?  Namun tak juga jera-jeranya pejabat publik di Indonesia melecehkan korban
perkosaan dan perempuan pada umumnya.

Setelah menyatakan pernyataannya yang dungu tersebut, Muhammad Daming Sanusi melanjutkan argumentasi dengan mengatakan bahwa seorang hakim harus menjaga independensi dan imparsialitas.  Dimanakah imparsialitas dan independensi yang ia tunjukkan dalam komentarnya soal perkosaan ini?  Jelas-jelas ia adalah calon hakim agung yang tidak imparsial karena telah  mengambil posisi dan sikap diskriminatif terhadap korban perkosaan.

Sikap Muhammad Damning Sanusi ini mengingatkan saya pada kasus Hakim Derek G. Johnson dari San Francisco, California, di Pengadilan Tinggi Orange County. Hakim Derek G. Johnson pada bulan Juni 2008 memberikan komentar yang melecehkan korban perkosaan.  Tindakan hakim tersebut dianggap telah melanggar Kode Etik Yudisial yang mewajibkan seorang hakim untuk selalu menjaga kepercayaan publik dengan menunjukkan sikap yang berintegritas dan seorang hakim yang aktif tidak dapat  mengeluarkan kata-kata yang dipandang bias serta prejudis (Commission on  Judicial Performance, San Francisco, CA, 13/12/12). Di Amerika Serikat, komentar seorang pejabat publik yang melecehkan korban ditindak tegas, hakim tersebut langsung dipecat!

Mengapa tindakan dan ucapan pejabat publik yang melecehkan perempuan tidak mendapatkan sanksi apa-apa di Indonesia? Apakah yang salah dari cara berpikir para pejabat publik dan hukum kita?

Menurut saya persoalannya terletak pada pemahaman mendasar yang salah mengenai konsep relasi antara laki-laki dan perempuan.  Relasi jender didefinisikan secara tradisional yang seksis. Pandangan ini melihat status perempuan ditentukan oleh suami atau kalau dia belum menikah, oleh ayah atau kakak atau adik laki-laki. Artinya, hak-hak perempuan ditentukan oleh laki-laki  disekelilingnya.  Perempuan bukan subyek melainkan obyek, bukan mahluk independen melainkan dependen. Peranan perempuan tidak ditentukan oleh pemikirannya tapi oleh tubuhnya, bukan mahluk yang produktif melainkan yang berreproduksi.  Oleh sebab itu, kebanyakan para pejabat publik dan hukum kita memahami perkosaan secara salah.  Perkosaan dikaitkan dengan permasalahan seksual bukan permasalahan kekerasan. Tengok saja di dalam hukum pidana kita (KUHP), perkosaan dimuat di Bab XIV sebagai kejahatan terhadap kesusilaan bukan kekerasan yang dapat mengakibatkan kehilangan nyawa atau bahkan kejahatan kemanusiaan!

Pemikiran calon hakim agung, Muhammad  Daming Sanusi memang bias, namun ini disebabkan bukan hanya karena intelegensianya yang minim akan tetapi juga karena perumusan soal perkosaan di KUHP yang sangat seksis.  Lihat pasal 89 soal perumusan perkosaan bahwa selain penetrasi juga harus dibuktikan  “…dengan kekerasan atau ancaman kekerasan…”  Artinya, korban harus membuktikan ketidaksetujuannya secara kasat mata ada bukti fisik yang membuat korban pingsan atau tidak berdaya.  Maka tidak heran calon anggota hakim agung Muhammad Damning Sanusi memiliki pandangan yang picik, bahwa kalau tidak ada ancaman bahaya dan bukti-bukti teraniaya secara fisik, menurutnya perempuan yang diperkosa memang ingin diperkosa.  Sungguh imajinasi yang fantastis!

Selain itu, pasal 285 KUHP pun menganggap ringan makna perkosaan yang hanya didefinisikan sebatas persetubuhan dengan penetrasi.  Padahal perkosaan bukan hal yang ringan, bukan soal derita fisik saja akan tetapi ada soal yang lebih substansial, yaitu, derita batin, penghancuran masa depan, nama baik, kepercayaan diri dan kehilangan harga diri.

Perkosaan oleh sebab itu bukan soal seks  melainkan soal kekerasan, bukan hanya soal susila melainkan soal kejahatan kemanusiaan, pelanggaran terhadap hak  integritas ketubuhan, otonomi diri dan hak-hak dasar sebagai manusia.  Perkosaan tidak hanya terjadi kepada  perempuan namun juga terjadi kepada laki-laki, anak-anak dan orang tua.  Dengan demikian definisi perkosaan  tidak bisa lagi dibatasi hanya lewat penetrasi penis pada vagina, perkosaan bisa  juga terjadi sesama jenis.  Perkosaan adalah kejahatan kriminal titik!

Perkosaan terjadi karena adanya subordinasi dan penindasan terhadap yang lemah.  Di dalam  budaya kita penindasan tersebut seringkali dilakukan terhadap perempuan.  Dominasi laki-laki dipelihara lewat tindakan intimidasi atau apa yang disebut dengan praktek teror sosial (Susan Griffin, 1991).  Praktek ini membuat kebebasan perempuan dibatasi, perempuan tidak boleh berpergian sendiri apalagi di malam hari, tidak boleh menampilkan diri agresif dan berdandanprovokatif.  Dengan demikian identitas dan seksualitas perempuan sepenuhnya dikonstruksikan oleh laki-laki (MacKinnon, 1989).

Bila kita sungguh-sungguh peduli akan kemartabatan manusia, kita tentu perlu pejabat publik yang bukan saja memiliki tingkat intelegensia yang memadai yang dapat mencerna persoalan keadilan dari perspektif perempuan dan minoritas, tapi juga memiliki karakter yang  berintegritas.  Sudah terlalu banyak pejabat publik di negara ini disorot, korupsi merajalela baik di tingkat  eksekutif maupun legislatif,  dan tumpulnya hati nurani.  Sudah  saatnya kita memiliki pejabat publik dan penegak hukum yang berintegritas.  Ini artinya, sudah saatnya kita  melakukan perubahan, kita memerlukan transformasi budaya secara radikal.

Transformasi budaya perkosaan menuntut adanya revolusi nilai-nilai.  Sikap kita memproduksi kekerasan dan menerima begitu saja sikap dan pernyataan kekerasan harus berubah sekarang juga. Sebab membiarkan siapapun yang jelas-jelas mendukung budaya perkosaan akan menyuburkan budaya teror dan dehumanisasi.

Sumber : http://www.jurnalperempuan.org/blog-jp.html

*Dosen Filsafat Universitas Indonesia Dan Pendiri Yayasan Jurnal Perempuan