Search
Close this search box.
Ilustrasi : Internet
Ilustrasi : Internet

Ourvoice.or.id. Menjelang perayaan Natal dan tahun baru Masehi keadaan negeri ini mendadak gerah. Media-media serempak menurunkan kabar mengenai pengerahan aparat untuk menjaga gereja dari kemungkinan serangan teroris. Aparat seperti tak ingin kecolongan dengan mengabaikan keselamatan warga.

Minoritas di negara ini patut bersyukur. Nasib mereka tak seperti nasib minoritas lain di negara-negara Eropa dan Amerika yang hingga kini masih hidup dalam perlakuan  diskriminatif. Minoritas di negara ini juga tak senasib dengan etnis Rohingya yang tertindas dan diperlakukan secara tidak manusiawi.

Minoritas di negara ini bahkan dapat hidup lebih makmur dibandingkan dengan keadaan mayoritas yang umumnya terjerembab dalam lembah kemiskinan justru dinegerinya sendiri. Situasi yang benar-benar paradoks sebenarnya. Fenomena gerah akhir tahun dalam beberapa hari ini juga dipicu oleh polemik sensitif seputar hukum mengucapan selamat Natal oleh seorang muslim kepada umat kristiani.

MUI mengharamkan seorang muslim mengucapkan selamat Natal. Sementara salah satu tokoh Nahdhatul Ulama, Shalahuddin Wahid tidak setuju dan membolehkan seorang muslim mengucapkan selamat Natal. Diluar polemik ini, seorang tokoh pendidikan Malaysia, Wan Mohd Nor mengemukakan kebiasaan masyarakat Malaysia saling mengunjungi antara muslim dan kristian dalam rangka muhibah dan kerukunan tetapi bukan atas dasar pluralisme.

Anda barangkali juga mendengar wakil Ikhwanul Muslimin mengucapkan selamat Natal pada umat kristian di negerinya, Mesir. Indonesia memang sedikit aneh karena polemik dan keadaan gerah menjelang Natal dan Tahun Baru selalu terjadi seperti telah menjadi tradisi tahunan.

Beberapa dasawarsa silam, Indonesia dikenal sebagai negara dengan kehidupan keberagamaan yang menjunjung tinggi toleransi. Bahkan model kehidupan keberagamaan yang penuh kerukunan tersebut membuat negara-negara lain tercengang dan bertanya-tanya kenapa masyarakat Indonesia mampu mewujudkannya.  Berbondong-bondong mereka datang ke Indonesia untuk melihat dari dekat kehidupan sosial antar pemeluk agama. Harapannya tentu mereka ingin mencontoh dan mempelajari agar memiliki situasi serupa dengan Indonesia, kehidupan umat beragama yang rukun tanpa konflik dan sengketa.

Keberhasilan Indonesia menata kerukunan antar pemeluk agama dimasa lalu telah mengundang banyak orang untuk menganalisanya. Noeng Muhajir misalnya menyebut founding fathers sejak kemerdekaan telah berhasil melakukan tiga lompatan sejarah yang mendahului zamannya.

Pertama, pemikiran tentang peletakan dasar pluralisme konfesional berupa pengakuan keragaman agama dan pengakuan semua pemeluk agama untuk memelihara keyakinan masing-masing. Sebagian masyarakat mengetahui baru 35 tahun kemudian, tepatnya sekitar tahun 1980-an mulai berkembang ‘comparative religion studies’ ditingkat akademik secara global. Namun masih dalam arah yang mendua: pluralisme disatu sisi dan pluralisme konfesional pada sisi lain.

Yang perlu segera ditegaskan bahwa pluralisme berbeda dengan pluralisme konfesional.Pluralisme akan membawa rasionalitas pemahaman agama yang dapat menggiring seseorang menjadi ateis dan sayangnya corak inilah yang kini didakwahkan sebagai salah satu agama baru diluar agama-agama yang telah ada.

Kedua, pemikiran pengakuan pluralitas budaya yang ditampilkan dalam konsep Bhinneka Tunggal Ika pada awal kemerdekaan. Sementara multikultural dalam makna multi etnik dan multi agama justru telah menimbulkan masalah di dunia sejak akhir tahun 1980-an, sama dengan pluralisme.

Amerika yang telah beratus-ratus tahun membuat kebijakan multikultural yang tidak pernah selesai dari kebijakan ‘E Pluribis Unum’ untuk white collar, sampai pengakuan multikultural yang penuh reserve. Sedangkan di benua Eropa pada awal abad 21 sedang berkembang tarik menarik antara dominasi kultur barat dengan keinginan pengakuan multikultural para imigran di benua Eropa.

Ketiga, founding fathers juga berhasil merumuskan konsep kesatuan politik Indonesia yang telah dibangun sejak peristiwa Sumpah Pemuda pada 1928. Lagi-lagi setiap orang sekarang harus mempercayai tidak ada yang tetap di dunia ini, semua berubah. Seperti dikatakan Cicero orang tidak bisa melompat ke sungai yang sama.

Koeksistensi kehidupan antar pemeluk agama di Indonesia yang dinikmati selama kurun waktu 35 tahun lebih kini sedikit demi sedikit mulai tercabik. Orang barangkali akan berfikir tentang perubahan iklim politik yang menjadi penyebab utama. Lengsernya rezim orde baru seperti membuka kran kebebasan yang selama ini tersumbat.

Era reformasi membuka peluang yang sama besar bagi kelompok-kelompok kepentingan termasuk agama-agama untuk menyuarakan aspirasinya masing-masing. Yang tak dapat dihindarkan kemudian terjadi gesekan dan benturan-benturan diantara kelompok-kelompok kepentingan tersebut.

Masing-masing mengklaim berhak menyatakan apa saja. Demokrasi di Indonesia dipaksa  melayani beragam kepentingan yang berasal dari kalangan manapun. Keadaan ini sepertinya juga mendapat justifikasi dari situasi global. Yang sangat mengejutkan dalam hal ini misalnya tesis Samuel Huntington mengenai benturan peradaban (clash of civilization).

Huntington menyebut bahwa sumber fundamental dari konflik bukan lagi ideologi atau ekonomi melainkan budaya. Budaya akan memilah-milah manusia dan menjadi sumber konflik yang dominan. Apa yang disebut peradaban disini menurut Huntington menunjuk pada entitas budaya. Desa-desa, daerah-daerah, kelompok-kelompok keagamaan semuanya mempunyai budaya yang berbeda-beda pada tingkat keragaman budaya yang berbeda-beda pula.

Masyarakat Eropa yang berbeda-beda itu mempunyai budaya yang sama, budaya barat yang membedakan mereka dari Arab dan Cina. Karena itu suatu peradaban adalah pengelompokan tertinggi dari orang-orang dan tingkat identitas budaya yang paling luas yang dimiliki orang sehingga membedakannya dari species lain.

Anda boleh percaya, atau sebaliknya dapat menolak tesis Huntington mengenai benturan peradaban. Namun dengan akses informasi yang bebas seperti saat sekarang setiap orang tentunya dapat mencermati berbagai peristiwa seperti agresi militer di beberapa negara timur tengah, perlakuan diskriminasi atas imigran muslim dibeberapa negara Eropa dan Amerika.

Benturan itu seperti tak dapat dihindari baik karena tendensi politik, kepentingan ekonomi, dan hegemoni budaya secara sepihak. Setiap orang yang berfikir mengenai kebebasan sebagai hak paling asasi dari eksistensi manusia pastinya akan menolak tendensi-tendensi apapun dan darimanapun datangnya.

Setiap komunitas dengan latar budaya yang berbeda tentu akan menentang setiap usaha penyeragaman, apalagi subordinasi karena akan sama artinya merelakan diri tertindas secara kultural. Atas dasar pandangan demikian, satu-satunya jalan untuk mencapai kembali koeksistensi kehidupan antar umat beragama di Indonesia adalah dengan menumbuhkan kesadaran pengakuan atas eksistensi agama dan keyakinan yang berbeda baik pada level eksoteris dan esoteris.

Dengan begitu tidak perlu lagi mencampuraduk konsep-konsep, doktrin dan dogma-dogma satu agama dengan agama yang lain atas desakan anasir-anasir asing yang pada satu sisi tertentu justru kerapkali menjadi pemicu timbulnya konflik. Kemudian negara bukan hanya sekedar menjamin pelaksanaan ibadah oleh setiap pemeluk agama dengan pengerahan aparat secara besar-besaran.

Jaminan negara atas pelaksanaan ibadah oleh setiap pemeluk agama perlu ditafsirkan lebih jauh bahwa negara juga wajib menjamin setiap agama dapat tumbuh dengan cara pandang dan budaya mereka sendiri, namun tetap dalam kerangka NKRI.

Penulis : Mohammad Faysal

Sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2012/12/24/toleransi-pluralisme-dan-benturan-peradaban-518495.html