Search
Close this search box.
Chaim Levin, kiri, dan Michael Ferguson, serta  rekannya Seth Anderson, mendengarkan sebuah konferensi pers di New York pada Selasa, November 27, 2012, (Photo credit: Richard Drew / AP)
Chaim Levin, kiri, dan Michael Ferguson, serta rekannya Seth Anderson, mendengarkan sebuah konferensi pers di New York pada Selasa, November 27, 2012, (Photo credit: Richard Drew / AP)

Ourvoice.or.id. Sejak tahun 1970-an, homoseksualitas tak lagi dianggap sebagai kelainan mental. Walau demikian, ada kelompok kecil yang bersikeras bahwa homoseksualitas bukanlah sesuatu hal yang bersifat bawaan, melainkan penyimpangan yang berakar pada trauma masa kanak-kanak.

Menurut kelompok ini, homoseksualitas disebabkan oleh gangguan perkembangan karena kurang kasih sayang orang tua atau mengalami pelecehan seksual saat masih anak-anak.

Kelompok ini mengaku bisa memberikan terapi untuk membantu mengatasi ketertarikan terhadap sesama jenis. Salah satunya adalah klinik terapi yang bernama Jews Offering New Alternatives for Healing (Jonah) yang didirikan oleh Arthur Goldberg dan terapisnya, Alan Downing.

Goldberg mendirikan Jonah di tahun 1999 setelah menjalani hukuman penjara karena kasus penipuan yang dilakukan pada tahun 1980-an. Goldberg maupun Downing sendiri sebenarnya tidak memiliki lisensi sebagai terapis. Baru-baru ini, organisasi pembela HAM bernama The Southern Poverty Law Center yang bermarkas di Montgomery, Alabama menggugat Jonah atas nama 4 orang mantan pasien dengan tuduhan penipuan.

“Para terdakwa menjanjikan terapi anti gay yang tidak ilmiah, memfitnah orang gay sebagai hal yang menjijikkan dan gila,” kata Sam Wolfe, pengacara The Southern Poverty Law Center seperti dilansir New York Daily, Senin (10/12/2012). Jonah dituduh memberikan teknik yang dianggap memalukan, misalnya pasien dipertontonkan penari telanjang dan disuruh memukuli patung ibunya sendiri.

Pasien diminta membayar ribuan dolar hanya untuk diberitahu bahwa terapi yang dijalani tidak efektif karena kesalahannya sendiri. Gugatan diajukan ke Pengadilan Tinggi di Hudson County agar memberikan ganti rugi kepada pasien serta menutup klinik Jonah.

Salah satu mantan pasien, Michael Ferguson (30 tahun) yang kini menjadi kandidat doktor ilmu saraf di University of Utah datang ke Jonah di tahun 2008. Ferguson berupaya melawan homoseksualitasnya karena ia menganut ajaran Mormon yang meyakini bahwa hanya orang-orang yang menjalani perkawinan heteroseksual saja yang bisa mencapai kebahagiaan abadi.

Setelah berbulan-bulan menjalani terapi dengan biaya 100 US$ atau sekitar Rp 926 ribu per sesi dan menderita depresi, Ferguson menyadari bahwa tidak ada perubahan sama sekali dengan seksualitasnya. “Ini adalah penipuan, bahkan bisa dibilang kejam. Saya didorong untuk mengembangkan kemarahan terhadap orang tua saya.

Gagasan bahwa orang tua Anda menyebabkan hal ini adalah kebohongan yang mengerikan. Mereka meminta Anda untuk menyalahkan ibu sendiri,” kata Ferguson. Mantan pasien lainnya, Chaim Levin (23 tahun) dirujuk ke klinik Jonah oleh seorang rabi ketika berusia 18 tahun. Levin diminta menghadiri pertemuan akhir pekan dengan biaya US$ 650 atau sekitar Rp 62,5 juta tiap pertemuan.

Selama setengah tahun, ia menjalani pertemuan privat mingguan dengan Downing. Levin memutuskan berhenti setelah Downing melepas pakaiannya di hadapannya dan menyentuh dirinya sendiri. Katanya, cara ini akan membantu Levin berhubungan kembali dengan maskulinitasnya.

Goldberg membela metode Downing sebagai metode yang tepat untuk pria yang bermasalah dengan self image. Levin memang mengaku pernah mengalami pelecehan seksual saat berusia 6-10 tahun. Downing menyalahkan pelecehan tersebut sebagai pemicu homoseksualnya. Namun metode yang dilakukan Downing tetap dianggap Levin sebagai cara yang memalukan dan menjijikkan.

Terapi homoseksualitas sendiri telah sejak lama ditentang oleh berbagai kelompok ilmiah terkemuka, salah satunya American Psychiatric Association yang mengatakan seksualitas tidak dapat diubah. Selain itu, terapi ini diyakini dapat menyebabkan depresi, kecemasan dan perilaku merusak diri sendiri.

“Hukum menjelaskan bahwa pemerintah dapat melarang praktik perawatan kesehatan yang berbahaya atau tidak efektif. Jika pengadilan menerima evaluasi ilmiah yang diajukan oleh negara, pemerintah kemungkinan akan menang pada akhirnya,” kata Erwin Chemerinsky, ahli konstitusi dan dekan fakultas hukum di University of California, Irvine.

Sumber : http://health.detik.com