Search
Close this search box.

Bupati Nganjuk di Jawa Timur memerintahkan dilakukan pendataan terhadap PNS dibawah lingkungan kerjanya untuk mengetahui preferensi seksual mereka setelah muncul kasus kejahatan yang diduga melibatkan seorang PNS setempat.

Seorang laki-laki yang dikenal sebagai pembantu rumah tangga, berinisial M, kepada polisi mengakui melakukan serangkaian pembunuhan, polisi menyebut korbannya mencapai 15 orang meski dua diantaranya selamat.

Kepada polisi M mengakui majikannya adalah seorang PNS yang berprofesi sebagai guru sebuah SMP Negeri di Nganjuk. Sang majikan juga diakui sebagai pasangan seksualnya, yang disebut berinisial JS. Tersangka M mengatakan perencanaan pembunuhan antara lain dilakukan bersama dengan JS.

Dugaan peran kriminal inilah yang menurut Humas Pemkab Nganjuk, Abdul Wachid, mengkhawatirkan Bupati Taufikurrahman.

“Karena itu Bupati memerintahkan pada Sekda (agar) mendata PNS di lingkungan satuan kerja daerah (kalau) kemungkinan ada yang mengidap gay,” kata Wachid, sambil menambahkan terdapat 12 ribu PNS laki-laki dan perempuan di Nganjuk.

Jika tersaring ada informasi PNS berkecenderungan perilaku gay, menurut Wachid nantinya Dinas Kesehatan akan melakukan pemeriksaan. “Seterusnya nanti akan dilakukan pembinaan dan pemantauan khusus,”tambah Wachid kepada wartawan BBC Dewi Safitri.

Pemantauan menurutnya dilakukan dalam upaya untuk mengetahui apakah kecenderungan itu akan berujung pada kasus kriminal seperti yang dilakukan M atau sekedar kecenderungan seksual saja.

Perintah Bupati ini disambut dengan kritik pedas pegiat HAM dan hak kelompok gay, Dede Utomo.

Sosiolog asal Universitas Negeri Surabaya ini menilai perintah itu merupakan bentuk diskriminasi terhadap kelompok homoseksual karena mengaitkan perilaku seksual tertentu dengan kecenderungan perilaku kriminal.

“Seperti kasus Ryan dulu, semua gay langsung dituding sebagai pelaku pembunuhan,” kata Dede mengutip nama Very Idham Heniansyah, gay asal Jombang yang menghabisi sejumlah korban secara sadis sejak 2008.

Sikap Bupati menurut Dede juga sulit dipahami karena perilaku seksual sulit dideteksi apalagi diubah.

“Cara mendatanya bagaimana? Trus kalau ketahuan juga mau diapakan?”protesnya.

Ketinggalan

Abdul Wachid membantah pendataan merupakan bentuk diskriminasi terhadap PNS dengan kecenderungan seksual berbeda dari kalangan umum. Menurut Wachid sebelumnya seorang PNS yang bekerja untuk Dinas Pertanahan setempat juga diketahui berkecenderungan homoseksual namun ‘tidak diapa-apakan’.

“Tidak ada sanksi sampai sekarang. Hanya nanti (kalau ditemukan) akan diadakan pembinaan khusus termasuk dari Kepala Satkernya untuk selalu memantau kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh PNS tersebut,”tambah Wachid.

Sang kepala satuan kerja menurut Wachid akan diserahi tanggung jawab agar memantau anak buahnya untuk memastikan kecenderungan seksualnya tidak menjurus pada tindak kriminal.

Tetapi justru sikap semacam itulah yang dianggap diskriminatif oleh Dede yang sudah terjun menggeluti isu gay sejak 1982.

“Tidak cerdas dan tidak ilmiah, agak menyedihkan. Kasihan Pak Bupatinya ketinggalan bacaan banget,” tukas Dede sambil tertawa kecut.

Namun menurut Dede, Bupati tersebut tak sepenuhnya bersalah karena sejak lama sikap negara terhadap isu homoseksualitas juga tidak jelas. Meski UUD menjamin hak dasar setiap warga negara, namun kelompok gay lebih kerap menghadapi pembedaan perilaku ketimbang lainnya.

Sebuah survey Kementrian Kesehatan jumlah kelompok gay di Indonesia mencapai sekitar 800 ribu orang, meski angka itu dianggap terlalu kecil.

sumber : http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2012/02/120224_nganjukgay.shtml