Ourvoice.or.id. dibagian pendahuluan ini, mari kita perhatikan data tentang HIV/AIDS ini. Jumlah kasus AIDS di Indonesia berdasarkan pelaporan surveilans AIDS Kementerian Kesehatan RI tahun 1987 hingga Juni 2011 secara kumulatif tercatat mencapai 26.483 kasus. 19.139 kasus (72.3 persen) di antaranya terjadi pada laki-laki. Sedang 7.255 kasus (27.4 persen) lagi pada perempuan. Sementara 89 kasus lagi (0.3 persen) dialami orang yang belum diketahui jenis kelaminnya.
Adapun cara penularan AIDS, paling banyak terjadi karena faktor heteroseksual (54.8 persen), kemudian karena penggunaan narkoba suntik (36.2 persen), tak diketahui (3.0 persen), LSL (2.9 persen), perintal (2.8 persen), dan transfusi darah (0.2 persen).
Apabila digolongkan berdasarkan kelompok umur, kasus AIDS banyak dialami mereka yang berusia 20-29 tahun (46.4 persen), 30-39 tahun (31.5 persen), 40-49 tahun (9.8 persen), 15-19 tahun (3.1 persen), tidak diketahui (3.0 persen), 50-59 tahun (2.8 persen), 1-4 tahun (1.2 persen), di bawah 1 tahun (1.0 persen), 5-14 tahun (0.8 persen), di atas 60 tahun (0.4 persen).
Ada empat provinsi yang jumlah kasus AIDS-nya berada di atas angka 3.000. Dari keempat provinsi, Jakarta berada paling atas, yakni 3.997 kasus (577 meninggal), Papua 3.938 kasus (602 meninggal), dan urutan ketiga adalah Jawa Barat 3.809 kasus (678 meninggal), sedangkan Jawa Timur 3.775 kasus (779 meninggal).
Jawa Barat merupakan provinsi terbesar ketiga jumlah kasus AIDS. Di provinsi ini sendiri, ada beberapa daerah yang menarik bagi saya. Sebab, data ini nanti akan saya kaitkan dengan kisah salah satu Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) yang kemudian menjadi pendamping bagi ODHA lainnya. Yakni Kota dan Kabupaten Bekasi.
Menurut pelaporan data Dinas Kesehatan Kota Bekasi yang diterima lembaga pemerhati masalah HIV/AIDS, Mitra Sehati Bekasi, jumlah kasus HIV/AIDS di Kota Bekasi berada di urutan terbesar kedua se-Jawa Barat. Dari tahun 1988 hingga September 2011 tercatat sebanyak 2.747 kasus. Rinciannya, HIV 570 kasus (laporan surveilans) ditambah 1.483 kasus (laporan VCT) . Sedangkan AIDS sebanyak 649 kasus (laporan surveilans).
Sementara itu, jumlah ODHA yang meninggal di kota ini selama rentang waktu itu, tercatat 139 orang, 11 di antaranya balita yang meninggal pada 2009. Bila dilihat dari penularan HIV/AIDS, faktor penyebab terbesar berasal dari heteroseksual.
Kemudian di Kabupaten Bekasi. Daerah ini berada di urutan ke lima setelah Bandung, Kota Bekasi, Bogor Sukabumi. Di 2006 sampai Mei 2011 tercatat sebanyak 628 kasus HIV/AIDS dengan rincian 504 HIV, 124 AIDS. Dari faktor usia, paling banyak kasus ditemukan mereka yang masih produktif, yakni 21-30 tahun sebanyak 374 orang.
Faktor penularannya, paling tinggi di kalangan pengguna narkoba suntik, yakni 341 kasus. Kemudian heteroseksual 264 kasus.
Ketika saya temui di kantor Mitra Sehati, Jalan Perjuangan, Kabupaten Bekasi, Direktur Program Mitra Sehati Kabupaten Bekasi, A. Hazami S. AR, mengungkapkan, khusus di daerah Bekasi, data kasus HIV/AIDS itu barulah sebatas data yang berhasil dikumpulkan oleh PKM Pilar, PKM Tambun, dan Mitra Sehat. Sementara di lapangan, Hazami yakin sebenarnya masih banyak lagi karena belum ditemukan petugas.
“Kasus ini seperti fenomena gunung es. Yang muncul dipermukaan itu hanya bagian terkecil saja. Seperti teorinya, 1:100. Jika ada satu kasus terdeteksi, maka ada 100 kasus yang belum terdeteksi,” kata Hazami, Rabu, 17 November 2011 siang.
Data angka dan kenyataan gunung es yang terpapar di atas, saya maksudkan untuk mengajak kita semua merenungkannya.
Apa yang dapat kita lakukan? Yang dapat kita perbuat untuk membantu menekan jumlah penyebaran HIV AIDS di Tanah Air sekarang ini, antara lain marilah kita saling bekerjasama. Misalnya, teman-teman yang berada pada risiko tinggi untuk terkena penularan HIV, kiranya perlu terus menerus membuat pagar pengamanan bagi diri sendiri maupun kepada orang lain. Demikian juga dengan orang tua, pendidik, rohaniawan, perlu kiranya terus menerus memberikan edukasi kepada lingkungan sekitar, siswa, dan umatnya.
Jadi, untuk mempersempit ruang gerak penularan HIV/AIDS, sebetulnya bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan lembaga yang mengurus kasus ini saja semata, tapi kita semua.
Ada satu hal yang sangat penting lagi. Edukasi dan pendampingan bagi teman-teman atau mungkin anggota keluarga kita yang sudah termasuk ODHA. Rasanya kurang bijaksana bila kita menjauhi mereka. Percayalah, kita tidak perlu takut tertular virus itu karena proses penularan HIV tidak semudah yang kita bayangkan. Oleh karena itu, ayo kita merangkulnya sebagai anggota keluarga dan sahabat. Membantu mereka untuk mencapai kepercayaan diri kembali.
Mengenai edukasi dan pendampingan. Dalam tulisan ini, saya akan mengangkat cerita hasil bicang-bincang saya dengan salah seorang ODHA di Bekasi. Tujuannya untuk memberi inspirasi pada kita semua. Saya akan mengisahkan pergulatan bathin pria yang sekarang berusia 37 tahun ini dalam bentuk semacam cerita pendek agar lebih utuh. Mulai dari masa-masa frustrasi yang hebat setelah tahun 2007 divonis positif HIV, sampai kemudian mampu bangkit dan kini justru menjadi seorang aktivis untuk kampanye pencegahan penularan HIV/AIDS dan pendamping bagi ODHA.
Profil
Siang itu tampak mendung. Dari dalam kantor Mitra Sehati, terlihat ada sepeda motor masuk dan berhenti di halaman. Si Way Mazsyant, seorang anggota komunitas gay yang tadinya ngobrol dengan saya di ruangan depan, tiba-tiba teriak lirih. “Itu dia orangnya.” Orang yang ingin saya temui dan saya wawancarai. ODHA.
Setelah turun dari sepeda motor dan masuk ruangan tempat dimana saya dan Mazsyant berbincang-bincang, pria itu dengan sopan menyapa kami. Saya langsung bangkit untuk memperkenalkan diri kepadanya. Kemudian, saya menjabat tangannya. Setelah itu, kami duduk di atas karpet ruangan depan.
“Sebut saja namaku Yosef,” kata pria itu sambil tersenyum. Sambil berkata demikian, tangannya menaikkan kaos untuk menunjukkan pundak kiri, dimana di kulitnya terdapat tato biru bertuliskan Yosef.
Tak butuh waktu lama. Kami langsung akrab, mungkin karena Yosef sendiri juga merasa nyaman saat itu. Saya bertanya padanya mengenai tato itu. Pria berkulit gelap ini menjawab. “Ini nama baptis saya. Nama seorang nabi,” katanya sambil tersenyum-senyum. Kemudian, ia menyulut rokok Sampoerna Mild dan menghisapnya dalam-dalam.
Yosef lahir di Jakarta. Kecil di Jakarta. Tetapi sekarang menetap di daerah Bekasi. Ia sempat mengenyam pendidikan hingga sarjana di salah satu universitas di Jakarta.
Yosef tinggal serumah bersama ibunya. Sedangkan ayahnya sudah meninggal pada tahun 2002 silam. Semasa muda, anak kelima dari enam bersaudara ini tidak pernah memiliki pekerjaan tetap. Sampai kemudian, Yosef remaja terpengaruh lingkungan yang kemudian membawanya masuk ke dalam dunia penuh marabahaya.
“Dunia kita dunia bandar narkoba. Cari duit ya dengan ngedar,” ujar Yosef yang kini rambutnya tampak sudah ubanan. Itu terjadi jauh sebelum tahun 2007.
Yosef melanjutkan, “Tapi yang namanya uang setan, ya dimakan jin. Uang hasilnya ya habis-habis begitu saja.” Itu sebabnya saat ini Yosef sangat menghargai orang-orang yang memiliki pekerjaan, sederhana sekalipun, tapi bisa menabung untuk masa depan.
Ia banyak bercerita tentang masa-masa ‘jayanya’ saat masih aktif di dunia narkotika. Tapi, ‘kejayaan’ semacam itu juga penuh risiko. Kehidupannya penuh liku. Penuh jurang di pinggirnya. Berurusan dengan polisi, baginya bukan sesuatu hal yang baru.
Sakit hebat
Kehidupan Yosef tidak pernah bisa jauh dari konsumsi putaw dan jarum suntik. Ia seorang pecandu berat. Setiap saat akan memakainya. Putaw… putaw… putaww… Sampai akhirnya di suatu hari, ia jatuh sakit. Parah.
Ada seorang teman LSM yang melihat kondisi Yosef. Ia khawatir sekali dengan kesehatan Yosef. “Dia ngeliat kondisi saya sudah pada keluar infeksi,” kata Yosef.
Lalu, teman itu menawari Yosef untuk periksa.
“Yuk ke tempat gw yuk,” kata teman yang ditirukan Yosef.
“Ngapain,” jawab Yosef.
“Tes HIV,” ucap teman Yosef.
“HIV? Dulu saya sudah sedikit tahu soal itu, tapi tidak tahu cara tesnya seperti apa,” kata Yosef.
Di LSM tempat teman itu bekerja, Yosef mendapatkan konseling kesehatan sampai kemudian difasilitasi untuk tes HIV. Sebelum menjalani tes, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, di antaranya Yosef diminta membuat persetujuan. Yosef langsung menyetujuinya dengan menandatangani formulir yang telah disediakan.
“Saat itu saya langsung masuk tes HIV. Dan hasilnya baru bisa ketahuan dalam tiga hari ke depan. Saya disuruh datang lagi,” katanya.
Di masa-masa itu, sakit yang diderita Yosef, antara lain dengan timbulnya luka-luka pada sekujur tubuh. “Badanku ditumbuhi koreng dan bisul,” kata Yosef sambil menunjukkan kepada saya bekas-bekas koreng di kaki kirinya.
Selama sakit, ia tidak bisa banyak beraktivitas, kecuali lebih banyak mengurung diri di rumah. Berbagai pengobatan herbal sudah ia coba, tapi koreng dan bisul sialan itu tidak kunjung hilang. Timbul lagi, timbul lagi semakin banyak. Yosef makin menderita. Ia dan keluarga tak tahu lagi harus berbuat apa untuk mengobatinya.
Di suatu pagi, Yosef keluar rumah. Ia bertelanjang dada, lalu berjemur di bawah cahaya matahari. Ia berharap cara ini bisa memberi terapi penyembuhan pada penyakitnya. Saat itu, kebetulan ada seorang teman yang lewat dan melihatnya. Teman itu bertanya tentang sakit yang dialami Yosef.
“Kenapa lo,” kata temen yang ditirukan Yosef.
“Tahu ini,” jawab Yosef.
“Periksain itu, jangan-jangan ada infeksi,” kata teman itu.
“Dimana periksanya,” sahut Yosef.
“Di rumah sakitlah,” kata teman.
“Pakai biaya gak?” kata Yosef.
“Pakelah,” jawab si teman yang ditirukan Yosef.
Setelah itu Yosef terpaksa bertemu ibunya untuk minta bantuan uang. Uang itu digunakan untuk biaya berobat ke rumah sakit. “Lalu periksa-periksa dan ternyata memang bermasalah di fungsi hati kita. Langsung dikasih obat,” kata Yosef.
Frustasi dan Hampa
Dan tibalah di hari ketiga yang ditunggu-tunggu setelah Yosef melakukan tes HIV. Hari itu tanggal 16 Januari 2007. Sesuai jadwal sebelumnya, hasil HIV tes diumumkan.
“Ternyata hasilnya positif,” kata Yosef. Sampaidi kata positif itu, Yosef sempat terdiam sejenak. Saat menceritakan ini kepada saya, sepertinya ia masih merasakan suasana bathinnya yang terjadi pada waktu itu.
HIV merupakan virus yang mengakibatkan AIDS, dimana virus ini menyerang manusia dan selanjutnya melemahkan sistem kekebalan (imunitas) tubuh. Dengan demikian, tubuh orang yang terserang akan menjadi lemah ketika melawan infeksi.
“Saya nge-blank (kosong/hampa). Oooh, gini toh status saya sekarang. Kita bener-bener blank,” ujar Yosef sambil menggosok tahi lalat di dekat mata sebelah kanan.
Sepulang dari lembaga itu, pikiran berkecamuk. Ia memikirkan tubuhnya yang kini telah terinfeksi HIV. Ia memikirkan keluarganya, ibunya, kakaknya. Penyesalan luar biasa datang. “Ada pikiran, apakah mau makin sehat atau mau mati nih,” kata Yosef yang mengenakan kaos biru bertuliskan Octo Diery.
Yosef merasa tersiksa betul. Merasa hampa hidupnya. Merasa sendiri dunianya. Merasa tidak akan punya guna lagi di dunia ini. Ada HIV di tubuhnya. HIV yang belum ada obatnya di dunia ini. “Karena blank, adiksi kita makin jadi. Tiap hari pakaw. Pakaw … pakaw…. Apa aja,” ucap Yosef yang mengenakan kaos biru itu.
Kehidupan Yosef semakin parah. “Dunia kayak sudah sempit. Yaaah, paling mati bentar lagi,” kata Yosef. Ia menambahkan, “Sama orang rumah juga aku juga jadi agak-agak menjauh.” Tingkat pakaw-nya semakin menggila. Pada saat seperti itu, ia sempat teringat beberapa mendiang temannya. Sebelum meninggal, mereka adalah pengguna narkotika seperti dirinya. Yosef berpikir, jangan-jangan mereka meninggal karena virus ini juga. Yosef merasa sebentar lagi pun menyusul mereka.
Setelah enam bulan pertama pasca dinyatakan positif HIV itu, Yosef sakit keras lagi. Ia sakit karena pola hidupnya kacau balau. Ditambah siksaan bathin yang begitu berat. Dan kondisi itu mengakibatkan badannya drop. Hingga akhirnya ia dilarikan ke rumah sakit.
Tuhan berkehendak lain. Nyawanya masih terselamatkan. Setelah mendapatkan perawatan medis, kondisi kesehatannya pelan-pelan membaik. Selama masa perawatan, Yosef mengalami situasi pergulatan bathin yang hebat. Saat itu, ia sampai pada titik pemikiran bahwa ternyata apa yang telah dilakukannyanya selama enam bulan terakhir, sejak vonis HIV, dengan meningkatkan konsumsi narkotika, salah besar. Tidak ada gunanya. Tidak akan menyembuhkannya.
Pelan-pelan, Yosef mulai bisa berusaha menerima kenyatan yang dialaminya. HIV yang ada dalam dirinya adalah risiko. “Terima nasib. Emang risiko kita bermain narkoba,” katanya. Saat masih terbaring di rumah sakit, ia terus berdoa. Minta dikuatkan.
Yang membuat hatinya makin besar lagi ialah dukungan moral dari teman-teman LSM, tempat dimana ia pertama kali tahu bila dirinya positif HIV. Secara intens, Yosef mendapatkan konseling dari mereka. Teman-teman LSM memintanya untuk tetap menjaga dan meningkatkan kesehatan sembari terus memompa semangat hidup melalui berbagai konsultasi.
Penyebab
Gaya hidup Yosef semasa muda memang tergolong berisiko tinggi tertular HIV. Ia kerab menggunakan jarum suntik untuk mengonsumsi narkotika secara berjamaah. “Kan kita sering sharing jarum. Dulu kan jarum tidak segampang sekarang. Paling dulu beli di toko obat atau apotik. Itupun kalau ada, kalau gak ada ya pinjem temen,” katanya.
Dari kebiasaan itu, kemudian Yosef menjadi yakin bahwa penyebab HIV dapat masuk ke sel darahnya adalah lantaran sering sharing jarum suntik. “Kemungkinan besar tertular dari situ,” katanya.
Bangkit
Dari hasil konsultasi dengan para pendamping di LSM, lama kelamaan Yosef menjadi terbuka pikirannya. Walau hidup dengan positif HIV, ia masih tetap bisa meningkatkan kesehatan sehingga dapat menjalani hidup yang terus berjalan. Dari dukungan yang diberikan teman-teman lembaga itu, Yosef mulai tahu harus berbuat apa saja untuk lebih sehat.
Salah satu jalannya ialah dengan tetap memeriksakan kesehatan ke rumah sakit. Waktu itu, dokter memeriksa semua organ tubuh Yosef. HIV itu biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan tubuh manusia. Itu sebabnya, semua organ tubuh Yosef diperiksa dokter. Tujuannya organ yang lemah karena bermasalah akan diberi perawatan yang baik agar tetap bekerja normal.
Saat itu, organ tubuh Yosef yang kondisinya tidak bagus adalah hati. Ia mengalami hepatitis. Kemudian, ia mendapatkan terapi. Setelah fungsi hatinya mulai berangsur-angsur membaik dan dipastikan tidak ada gangguan pada organ-organ tubuh lainnya, Yosef dimungkinkan untuk mendapatkan terapi lainnya. Yakni terapi ARV (antiretroviral)
Terapi ini untuk menekan HIV yang ada dalam sel darah. Setela mendapatkan terapi ini Yosef merasa kondisi tubuhnya mulai berangsur-angsur membaik.
“Dari yang tadinya lemes dan gak semangat, kemudian menjadi lebih baik. Mulai deh sejak itu kesehatanku membaik,” kata Yosef.
“Setelah kenal tentang HIV, kesadaran untuk sehat itu makin besar,” tambah Yosef.
Setelah melakukan terapi dengan minum obat terus menerus setiap bulan sejak 2007, kesehatan Yosef semakin baik. Apalagi ditambah dengan pola hidupnya yang juga diperbaiki. Bahkan, kini, sistem imunisasi tubuhnya yaitu kadar sel limfosit (CD4) terus meningkat.
Ingin berguna bagi orang lain
Yosef berusaha tetap kuat. Ia tidak ingin terpuruk dan terjebak dengan keadaannya. Yosef merasa harus berbuat sesuatu kepada orang lain. Ia ingin menjadi orang yang bermanfaat bagi masyarakat, khususnya anak-anak muda yang gaya hidupnya berisiko tertular HIV/AIDS.
Semangat yang ditanamkan dalam diri semacam itu menjadi kekuatan luar biasa bagi Yosef untuk terus menerus memperbaiki kualitas hidupnya agar berguna bagi orang lain. DI pertengahan 2007, Yosef mulai bergabung di LSM pemerhati masalah HIV/AIDS khusus penjangkauan pengguna narkoba suntik di Ibukota Jakarta.
Di lembaga ini, ia bertemu teman-teman ODHA lain yang sama-sama menjalani masa pendampingan. Waktu itu, ia merasa sangat bersemangat karena ternyata ada orang lain yang memiliki keadaan yang sama dengan dirinya. “Di situ bisa saling sharing, saling menguatkan satu sama lain, bahwa kita senasib sepenanggungan. Terus nanti ada feedback dari manajer kasus atau pendamping kita.”
Lama-kelamaan seiring dengan berjalannya waktu, Yosef dianggap telah memenuhi syarat untuk ikut kegiatan lembaga. Yosef menjadi relawan untuk bantu-bantu melaksanakan kegiatan sosial. Ia membantu apa saja. Misalnya, mengajak teman-temannya yang berisiko tinggi tertular HIV untuk datang ke LSM agar mendapatkan informasi tentang HIV/AIDS. Tidak lama kemudian, Yosef diangkat menjadi petugas lapangan untuk program kampanye pencegahan penularan HIV/AIDS.
Yosef mendatangi tempat-tempat tongkrongan para junkie yang memiliki aktivitas seks berisiko hingga kelompok-kelompok anak sekolah. Ia menginformasikan segala sesuatu tentang bahaya HIV/AIDS. Ia juga mengajak mereka untuk datang ke LSM agar mendapatkan pengetahuan yang lebih banyak tentang HIV/AIDS. Selain itu, mereka juga dianjurkan untuk memeriksakan kesehatan dirinya demi memastikan aman dari penularan HIV.
“Ada yang mau dan enggak. Biasanya, banyakan junkie tidak mau. Takut hasilnya. Padahal itu salah. Kalau junkie itu harus terima risiko. Masa harus takut sama hasil VCT (Voluntary Conseling and Testing/metode deteksi HIV),” kata Yosef. “Yang paling susah itu nimbulin kesadaran mereka.”
Yosef paham kenapa orang takut dengan hasil VCT. Sebab, banyak kasus orang nge-drop setelah hasil VCT menyatakan positif HIV. “Setelah dapat hasil VCT, orang bisa blank, kemudian lewat (meninggal). Sebab, saat itu karena nge-blank, ia bisa menjadi semakin gila mabuknya, makin gila konsumsi narkotikanya, lalu timbul penyakit, akhirnya ngedrop,” katanya.
Ia membandingkan keadaan bathinnya dulu ketika mengetahui positif HIV. Ngeblank berbulan-bulan. Bahkan, sempat terpikir untuk segera mengakhiri hidup. Tapi, ia merasa beruntung karena Tuhan masih menghendakinya hidup dengan cara memberi kekuatan dan kesadaran untuk tetap sehat. “Kalau saya enggak sadar dan ngeblank-nya berkepanjangan, bisa lewat juga.”
Dalam menjalankan sosialisasi di lapangan, Yosef selalu menyarankan kepada teman-temannya yang memiliki risiko tinggi tertular HIV untuk tidak takut pada pemeriksaan VCT. Karena kalaupun ternyata positif, mereka toh tidak akan sendiri. Toh itu bukan berarti qiamat. ODHA tetap bisa sehat dan bermasyarakat. Seperti dirinya, tetap bisa berdaya dan bermanfaat bagi sesama.
Terbuka pada orang lain
Setelah tahu dirinya positif HIV, pada waktu itu Yosef sempat merahasiakannya. Tapi kemudian ia terbuka kepada ibu. “Ibu orang yang paling saya percaya,” kata Yosef sambil menghisap dalam-dalam rokoknya. Saat itu, ia belum berani memberitahu saudara-saudaranya.
Cara memberitahunya dengan menjelaskan tentang HIV/AIDS bahwa penyakit ini memang berbahaya, tetapi penularannya tidak gampang, asalkan tidak menggunakan jarum suntik yang sama dan berhubungan seks. Jadi, orang tidak perlu menjauhinya. Mendengar penjelasan itu, ibu pun paham. Ibu hanya mengatakan, “Ya udah, itu resiko elo, kesalahan elo karena elo main narkoba.”
“Gimana bu sekarang?” kata Yosef kepada ibunya.
“Ya sudah berobat. Soal duit gampang itu. Yang penting elo insaf, bertobat, gw akan kasih duit,” kata ibu yang ditirukan Yosef.
Dukungan moral dan materiil yang diberikan ibu, membuat Yosef semakin bahagia dan semangat. “Itu kesalahan elo. Lo bermain api, lo mesti terima kesalahan elo,” kata ibu yang ditirukan Yosef.
Yosef memahami itu. “Emang kita yang bermain api, kita harus terima risikonya. Ya inilah resikonya HIV,” kata Yosef sambil menyenderkan tubuhnya ke tembok di ruangan tempat saya dan dia bercakap-cakap.
Terbuka pada saudara
Akhir 2007, Yosef mulai memberitahukan keadaan diri yang sebenarnya kepada keluarga besar, kakak, adik, dan keponakan. Ia punya cara sendiri untuk itu. Ia tidak langsung bicara. Tapi, pertama-tama, ia memasang kalender tentang sosialisasi HIV/AIDS di tembok rumah, ia juga menempelkan poster-poster HIV/AIDS, kemudian meletakkan brosur-brosur tentang HIV/AIDS di meja. Dengan demikian, memungkinkan bagi semua orang rumah untuk mengetahuinya.
“Lama-lama kakak jadi penasaran. Setelah itu mereka tanya. Emang kenapa sih?. Emang lo kena HIV?” ujar Yosef.
Lalu Yosef menjawab pertanyaan itu. “Ya itulah gw sekarang. Terserah elo, kalau elo mau care ama gw ya bantu gw, bantu apaan kek, materi juga bisa, moril juga bisa.”
“Ya udah gw bantu sejauh manapun keperluan lo, asal lo benar-bener tobat, tidak ngulangi lagi,” kata kakak yang ditirukan Yosef.
Keluarga besar Yosef bisa menerima Yosef. Tidak ada hal yang berubah setelah mereka tahu dirinya positif HIV. Kemudian Yosef bercerita tentang semua hal tentang HIV/AIDS, mulai dari penyebab dan cara penularannya. Yosef merasa beruntung sekali gabung dengan LSM pemerhati masalah HIV/AIDS itu karena dengan begitu ia bisa berbagi informasi ke orang lain. Penerimaan dan pemahaman dari keluarga, bagi Yosef, merupakan anugerah luar biasa. Itulah kunci penting semangat hidupnya.
“Aku terangin ke kakak-kakak, lo jangan takut ama gw. Karena gak gampang penularan HIV. Cuma dua kemungkinannya, jarum ama seks. Jadi kalo lo takut, lo salah,” kata Yosef. “Kalau makan ama gw. Bekas gw tidak bakal nulari. Tenang aja. Akhirnya seisi rumah anggap kita seperti biasa saja. Tidak ada diskriminasi dan lain-lain.”
Kemauan untuk mau membuka diri semacam itu, dirasakan Yosef juga menjadi semacam terapi agar tetap tegak beridiri. “Karena bisa ngomong dan berani ngomong. Itu jadi semangat hidup. Aku ingin kayak yang lain (ODHA), positif HIV, tapi tetap bisa sehat, sembuh, berdaya. Kenapa gw enggak bisa. Jadi, saya punya keinginan seperti itu.”
“Sekarang semua orang sudah tahu saya.”
Terbuka pada teman
Yosef juga terbuka tentang keadaannya kepada teman-temannya, terutama yang juga pemakai narkotika, di awal 2008. Ternyata, semua teman-temannya bisa memahami. Mereka tidak ada yang menjauhi Yosef. Tidak ada yang takut tertular darinya. “Biasa aja. Paling cuma bilang, ya udah lo, berhenti aja lo. Tinggalin aja narkotik. Jadi mereka malah mendukungku,” katanya.
Bahkan mereka salut dengan aktivitas Yosef sekarang, yakni menjadi orang yang ikut berkampanye untuk pencegahan penularan HIV/AIDS.
Menurut Yosef, tujuan dirinya memberi tahu teman-temannya itu semata-mata untuk menyadarkan mereka agar lebih hati-hati lagi sehingga tidak sampai tertular HIV seperti dirinya. Yosef tidak ingin teman-temannya terlambat menyadari kesehatannya, seperti dirinya dulu.
“Kan orang-orang tongkronganan itu, walau tidak pakai putaw seperti aku, tapi kan ada ngeseknya. Abis mabok pengen ngeseks ke lokalisasi tanpa pelindung,” kata Yosef. “Jadi, aku kasih tahu bahwa HIV nular lewat jarum suntik sama sex. Jadi ati-ati lo kalau main di lokalisasi.”
Yosef juga mewanti-wanti semua teman-teman agar mereka tidak menggunakan jarum suntik secara berjamaah. Itu sangat… sangat… sangat… berbahaya.
Yosef akan bangga sekali bila ada teman yang kemudian sadar, lalu mengikuti sarannya untuk tes VCT. Dengan senang hati, Yosef akan memfasilitasi dan mendampinginya. “Kan kalau tes, bisa lebih tahu tentang diri sendiri. Negatif apa positif. Kalau negatif pasti bangga karena tidak ada penularan,” katanya.
Selain memberi tahu teman-teman, Yosef juga mengabarkan kondisinya yang tertular HIV ke tetangga rumah. Di antaranya kepada ibu temannya yang dulu mengenalkan dirinya ke dunia narkotika. Teman yang sudah dijadikan Yosef sebagai abang-abangan itu, kini sudah meninggal.
“Berarti sama dengan A (anaknya) ya. Gimana kok lo bisa sehat?” kata ibu itu yang ditirukan Yosef.
“Ya berobatlah, mah,” jawab Yosef.
Yosef curiga kematian temannya itu juga karena terkena HIV. Sayangnya pada waktu itu, tidak banyak informasi tentang HIV seperti saat dirinya positif. Jadi, penyebab kematian teman Yosef itu hanya dianggap karena serangan hepatitis.
Ibu tetangga yang anggota keluarganya juga sangat dekat dengan dunia narkotika itu, kemudian bersemangat untuk mencari tahu tentang HIV dari Yosef. Karena itu, Yosef juga senang hati menceritakannya. “Aku bawain gambar-gambar tentang HIV/AIDS dan lain sebagainya agar ia belajar,” kata Yosef.
“Baguslah ente berhenti. Berobat. Yang penting sehat. Jangan patah semangat lo,” kata ibu tetangga itu yang ditirukan Yosef.
Proteksi penularan
Sampai sekarang, terkadang Yosef masih memakai putaw. Tapi, ia melakukan itu supaya bisa mudah masuk dan menyatu dengan kelompok-kelompok berisiko tinggi tertular HIV yang menjadi sasaran sosialisasi pencegahan penularan HIV/AIDS. Tapi, saat sedang nyuntik bersama mereka, Yosef sangat menjaga alatnya agar virusnya tidak menularkan ke orang lain.
“Kalau kebetulan lagi make bareng temen, ya kita pakai sendiri aja jarumnya supaya tidak nular,” katanya. “Semua orang harus pakai suntikan sendiri-sendiri. Jangan mau dipenjemin.”
Sehabis jarum suntik itu dipakai, Yosef tidak membuangnya secara sembarangan. Tapi, ia menyimpannya untuk kemudian diserahkan ke puskemas atau rumah sakit supaya dapat dihancurkan.
Berdaya dengan Pendampingan
Masa kritis telah lewat. Kini, Yosef aktif memberi sosialisasi di berbagai tempat. Tugasnya, antara lain, memberi pemahaman kepada masyarakat, terutama anak remaja yang hidupnya cenderung suka mencoba-coba gaya hidup yang tanpa disadari berisiko tinggi tertular HIV.
Yosef juga aktif mendampingi teman-teman ODHA agar mereka lepas dari rasa depresi. Ia akan membantu kawan-kawan ini untuk mendapatkan layanan kesehatan, rujukan, dan sharing kapan pun dimana pun.
“Awalnya sharing dulu sampai sejauh mana kita kenal diri dia, riwayat risiko tinggi dia apa. Narkoba atau seks. Kita harus tahu, biar tahu arahnya penanganan kita nanti,” katanya dengan nada bersemangat.
Umumnya, di awal-awal pendampingan, sebagian ODHA masih bersikap tertutup. Supaya bisa diterima dan dipercaya oleh mereka, kata Yosef, bukan hal yang mudah. Tapi, ia punya cara sendiri. Yaitu: “Open status ama yang didampingi,” katanya.
Open status yang dimaksud Yosef ialah mengakui kepada ODHA bahwa dirinya juga positif HIV. Dengan keterbukaan seperti ini, biasanya teman-teman ODHA yang ia dampingi akan lebih mudah dan cepat menerima Yosef. Sebab, mereka akan merasa dirinya tidak sendiri di dunia ini.
“Aku ceritakan bahwa aku dulu juga ngedrop. Tapi akhirnya bisa sehat, bangkit, dan berdaya. Aku ceritakan pengalaman-pengalamanku,” kata Yosef selalu tersenyum sepanjang pertemuan dengan saya. “Biar dia berpikir ODHA bisa berdaya, bisa sehat. Kita sama-sama sependeritaan dan senasib, tapi ayo kita bersemangat hidup dan berkarya.”
Yosef paham dengan sikap tertutup teman-teman ODHA itu. Karena mereka masih menganggap bahwa positif HIV/AIDS sebagai suatu aib di tengah masyarakat. “Jadi tidak berani muncul.”
Setelah berhasil masuk ke ODHA yang didampingi, Yosef akan mudah menggali apa yang mereka rasakan, pikirkan, dan keluhkan. “Dalam pendampingan itu, caranya kita seperti curhat. Sharing. Beri kekuatan. Tujuannya untuk memberi motivasi. Menemani mereka mencari pelayanan, rujukan dan lainnya. Biasanya pendampingan seperti itu bisa tiap hari. Tapi bisa juga seminggu sekali atau dua kali,” katanya.
Pesan
Yosef yang sekarang berdaya bareng teman-teman Mitra Sehati ini ingin mengatakan bahwa positif HIV/AIDS bukanlah qiamat. Bukan akhir segala-galanya. Itu sebabnya, kepada teman-teman ODHA lain, ia berpesan agar tetap bersemangat. Tetap berpikir positif. Tetap maju. HIV/AIDS bukan malikat pencabut nyawa. Hidup dengan HIV/AIDS, kita tetap bisa berdaya dan bermanfaat bagi sesama.
Tapi, yang lebih penting lagi, Yosef minta kepada semua ODHA agar jangan menularkan lagi ke orang lain. “Misalkan kalau masih adiksi (kecanduan), stop adiksi itu. Stop penularan. Jangan sampai menyebar kemana-mana.”
Yosef juga berpesan kepada anggota masyarakat agar jangan menjauhi ODHA. “Jauhi virus boleh. Tapi, jangan ada diskriminasi. Jangan ada stigma.”
Kepada pemerintah, ia pun berharap agar layanan di rumah sakit, biayanya tidak memberatkan masyarakat. “Kalau bisa sih gratis layanannya. Supaya ODHA tidak terbebani. “
Penutup
Demikianlah hasil pertemuan saya dengan Yosef selama sekitar tiga jam. Yosef mengungkapkan itu semua dengan senang hati kepada saya. Mazsyant yang juga pendamping ODHA khusus kalangan gay ikut mendengarkan.
Selesai bincang-bincang, hujan deras datang. Jadi, sambil menunggu berhentinya hujan, kami sempat merokok dan minum kopi bareng di teras rumah. Mazsyant dan beberapa teman dari komunitas gay lainnya kebetulan juga sedang di sana sehingga suasananya ramai sekali. Kami juga sempat narsis-narsisan dengan berfoto bersama. : )
Sumber : http://singkatcerita.blogspot.com/2011/11/kisah-yosef-bangkit-dari-frustrasi.html