Ourvoice.or.id – Di tengah paham fundamentalis agama yang masih menganggap homoseksual adalah dosa, tentu saja coming out atau pendeklarasian diri sebagai Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) menjadi amat sulit. Apalagi jika lingkaran terdekat LGBT yakni keluarga, sahabat dan teman masih awam akan keberagaman seksualitas. Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta bersama Ardhanary Institute berusaha menjadi jembatan antara kelompok LGBT dengan gereja beserta jemaatnya untuk memahami dan menerima keberagaman seksualitas tersebut. Usaha itu bertajuk Pekan LGBTIQ, dengan mengusung tema “Citra Allah Dalam Sesamaku”, sebuah acara maraton yang dimulai sejak 12-17 November 2012.
Kamis, 15 November 2012, dalam rangka Pekan LGBTI, STT Jakarta mengadakan diskusi terbuka tentang pengalaman coming out LGBT di lingkungan gereja. “Menjadi homoseksual adalah karunia terindah dari Tuhan.” ujar Erwin (31), seorang gay asal Bandung. Dalam proses coming out-nya Erwin menjelaskan bahwa awalnya dia memberikan tanda dengan memajang banyak DVD film drama bertema gay. Tujuannya agar orang tua tidak terlalu kaget bilamana nanti Erwin coming out, sekarang orang tua Erwin tidak masalah dengan orientasi seksualnya meskipun Erwin adalah anak tunggal. Kemudian dia menceritakan seksualitasnya ke teman-teman dekat di Gereja, “Puji Tuhan tidak pernah didiskriminasi oleh Gereja,” sambungnya. Yakin adalah kata kunci yang diberikan Erwin kepada teman-teman LGBT yang hadir, “Yakin adalah kata kunci dalam menjalani hidup, jadi kalo kamu mau coming out, ya kamu mesti yakin dulu.”
Pengalaman lain diceritakan oleh Olivia Lauren, seorang Transeksual asal Jakarta. Olivia mengungkapkan bahwa dari kecil dia tidak suka dipuji ganteng, tetapi lebih senang bila dipuji cantik. Dan Olivia yang sekarang adalah buah dari perjalanan selama 27 tahun. Olivia mengakui bahwa tidak mudah coming out karena orang tuanya aktif di Gereja. Pernah suatu ketika, sang Ayah mengajak makan malam Oliva dan mereka pun berbicara empat mata. Sang ayah bertanya kepada Olivia, mau jadi laki-laki atau perempuan, dan Olivia pun menjawab laki laki, “Saat itu saya berpikir saya harus bijaksana, makanya saya jawab seperti itu.” kata Olivia. Kini Olivia sudah mantap dengan jati dirinya, “Hidup harus menjadi berkat diri sendiri dan orang sekitar, serta berdamai dengan Tuhan.” ungkapnya.
Pengalaman coming out yang amat berbeda diceritakan oleh Inno, “Aku coming out tidak melalui pergumulan yang berat, mungkin karena Aku coming out sewaktu masih SD (Sekolah Dasar).” ujar Inno, seorang lesbian asal Solo. Inno mengakui bahwa dia tidak memikirkan risiko atas pengakuannya, untunglah sang Ibu menerima orientasi seksual Inno. Namun bidikan tekanan sosial tidak lagi mengarah ke Inno melainkan ke Ibu Inno, Mariana, yang juga hadir di acara diskusi ini. “Apapun keputusan Inno, Saya dukung. Sebagai orang tua saya hanya berdoa saja.” Ujar Mariana.
Sesungguhnya Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda agar manusia saling mempelajari. Tuhan merencanakan harmoni kehidupan dengan keanekaragaman bukan keseragaman. Dia-lah pencipta langit dan bumi beserta isinya. Dan rasa ketertarikan sesama jenis juga datang dari-Nya bukan dari siapa-siapa. (Guhtee Gaidar)