Ourvoice.or.id – Laki-laki atau perempuan. Lain dari itu tidak mungkin di Iran. Itu menjelaskan mengapa pemerintah menyubsidi operasi kelamin, kata dokter Bahram Mir-Jalali, tokoh terkemuka di bidang operasi kelamin. Iran menempati urutan kedua negara di dunia yang paling banyak melakukan operasi kelamin. Ini menarik sekali, melihat Iran adalah negara Islam konservatif.
Penampilan Somayeh (23), super feminin. Bulu mata lentik, bibir merah, rambut panjang berombak yang hanya sebagian ditutupi jilbab ungu. Sebelumnya ia bernama Afshin, laki-laki. Dan menurut Somayeh, dulu ia sama sekali tidak bahagia.
“Saya selalu merasa sebagai perempuan. Sejak kecil, saya suka main boneka Barbie. Hanya penampilan saya yang tidak cocok. Saya lega sekali ketika mendengar orang bisa mengubah jenis kelamin melalui operasi. Saya langsung berpikir, itu jalan keluar bagi saya!”
Seperti banyak orang, Somayeh meninggalkan desa kelahiran di Iran utara dan bertolak ke ibukota Teheran, mendatangi klinik swasta milik profesor Bahram Mir-Jalali, pelopor dan tokoh terkemuka di bidang operasi kelamin. Dalam kurun waktu 12 tahun, pakar ini telah membantu sedikitnya seribu orang.
Setelah serangkaian kunjungan dokter, sebelum operasi, Afshin juga secara fisik merasa sebagai perempuan.
Menarik bahwa justru negara Islam konservatif Iran, di mana homoseksual dapat dihukum mati, merupakan negara kedua yang paling banyak melakukan operasi kelamin. Thailand menduduki urutan pertama.
Undang-undang Iran memperbolehkan operasi kelamin. Pemerintah menyubsidi dan menanggung hingga separuh dari total biaya operasi, yang bernilai sekitar enam ribu euro (sekitar Rp 72 juta).
Pemerintah beranggapan, biaya dan kerugian – dalam bentuk bunuh diri dan kriminalitas – semakin besar bagi masyarakat, jika orang-orang seperti ini tidak diakui atau dibantu. Sebelum operasi, pasien diperbolehkan berpakaian perempuan atau laki-laki di tempat umum. Setelah operasi mereka mendapatkan KTP baru.
Ada juga yang beranggapan, Iran menyubsidi operasi kelamin untuk mencegah homoseksualitas. Namun, menurut dokter Mir-Jalali, masih ada alasan lain. “Negara yang mengenal segregasi kelamin, negara hanya membedakan antara laki-laki dan perempuan. Yang lainnya tidak ada. Tubuh yang disesuaikan bisa memberikan kejelasan bagi masyarakat.”
Hal sama dialami Hamed, laki-laki muda berahang lebar yang dulunya bernama Sjirien. “Perempuan berpakaian laki-laki selalu ditertawakan orang di jalan. Orang tidak tahu Anda ini sebenarnya apa.”
Kebijakan Iran berasal dari pertengahan tahun 1980-an. Ketika itu, Ayatollah Khomeini, perintis Republik Rslam, mengeluarkan fatwa yang mengizinkan perubahan kelamin. Kendati demikian, transgender masih tabu di Iran.
Dokter Mir-Jalali sudah bertahun-tahun berjuang agar fenomena ini diterima masyarakat. “Dibandingkan 15 tahun lalu, situasi sudah sangat membaik. Ini memang perjuangan panjang. Sampai sekarang saya masih tetap memberi ceramah di seantero Iran, membahas masalah transgender, sehingga tidak lagi dianggap tabu.”
“Dalam beberapa kesempatan juga hadir Kariminia, ulama dari Qom (kota suci bagi kaum Syiah, Red.). Orang masih suka mencampuradukkan antara transgender dan homoseksualitas. Penting untuk mendengar dari seorang ulama terkemuka bahwa Allah tidak menganggap transgender dosa. Namun demikian, tetap sangat sulit untuk menyampaikan kepada seorang ayah bahwa putranya ingin hidup sebagai perempuan. Terutama bagi keluarga sangat religius di pedesaan, itu sangat memalukan. Mereka sangat takut apa kata tetangga. Seringkali orang dikucilkan keluarga.”
Nasib sama menimpa Somayeh. “Orangtua tidak mendukung saya. Mereka berkata, kalau kamu bertindak seperti laki-laki, kamu dengan sendirinya merasa diri laki-laki.” Saya berharap mereka berubah pikiran setelah saya dioperasi, tapi tidak demikian. Saya tidak berhubungan lagi dengan keluarga. Kadang-kadang saya masih menelepon ibu saya. Dia selalu menangis. Saya sangat sedih sudah putus hubungan dengan keluarga, tapi tidak menyesal telah dioperasi. Mereka harus menerima saya apa adanya, walaupun saya tahu itu sangat sulit. Untung tunangan saya menerima saya apa adanya.”
Mir-Jalali jarang menemukan pasien yang menyesal setelah dioperasi. “Kami melakukan pembicaraan paling tidak satu tahun, untuk memastikan pasien kami benar-benar transgender.”